Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari bicara tentang musik klasik. Berani taruhan, komponis zaman Barok Johann Sebastian Bach (1685-1750) tidak akan mengobral senyum lebar-lebar bila mendengar karyanya, Toccata dan Fugue in D Minor, dimainkan seorang gadis blasteran Asia, Thailand campur Cina, bernama Vanessa Mae.
Bach dan Vanessa ibarat air dan minyak. J.S. Bach, komponis beranak sembilan yang banyak menelurkan komposisi musik religius itu, senang berpenampilan serius dan konon sedikit congkak. Sedangkan Vanessa, cewek pemain biola bermata sipit, bertubuh langsing, dan berbibir sensual, adalah sosok yang tengah melangsungkan pemberontakan kecil-kecilan terhadap adat-istiadat musik klasik.
Sebagai solois, Vanessa lebih suka mengenakan setelan hot-pant dan kaus singlet daripada gaun panjang anggun berwarna gelap. Dalam konser-konsernya yang riuh-rendah, segenap sopan-santun yang telah beratus tahun membentengi dunia musik klasik tak diberi tempat. Bila berminat, para penonton yang kebanyakan kaum muda itu diperkenankan berjingkrak-jingkrak mengikuti beat disko yang mengalir dari drum set. Dan manakala kesempatan untuk memainkan konserto atau sonata duo terbuka, misalnya, ia memilih berpasangan dengan gitar listrik, instrumen yang jadi belahan jiwa musik rock, ketimbang dengan piano atau gitar klasik.
Tapi, terus terang saja, jika Vanessa kelihatan seperti orang yang mengambil keuntungan dari karya-karya Bach, itu semata-mata karena dia anak zamannya, anak peradaban modern yang hanya mengajarkan hal-hal praktis, bersikap ekstrapragmatis. Hasilnya, seorang Vanessa dengan pikiran sederhana: daripada capek-capek memikirkan perubahan komposisi di sana-sini, lebih baik ambil bulat-bulat, kemudian cepat kenakan "baju" musik pop pada nomor pilihannya. Seperti diketahui, dari zaman Barok hingga sekarang, Toccata dan Fugue in D Minorterdapat dalam album The Violin Player (1995)tetap menyimpan potensi ritmis yang amat kuat. Dan sebagaimana dimaklumi, ritme merupakan bagian yang dominan dalam kehidupan musik pop.
Memang, sepandai-pandainya Vanessa memilih nomor musik yang bakal dibawakannya, sekali-sekali ia terpeleset juga. Ketika menggarap Leyenda, sebuah karya ciptaan Isaac Albeniz untuk gitar klasik, pelan-pelan kita bisa menangkap bahwa kerja kerasnya mengawinkan flamenco dengan gesekan biola tidak berakhir sempurna. Sejumlah pemain gitar yang diberi tugas khusus mengiringi alunan biola tetap berpegang teguh pada rel flamenco. Vanessa sendiri tak kurang keras kepala: tak bergerak keluar dari warna pop-klasiknya, seraya menolak masuk ke suasana etnik flamenco. Praktis, kedua pihak hanya bertemu dalam suasana canggung, gagal berdialog, apalagi bersentuhan.
Tapi cerita tentang Vanessa Mae adalah sebuah success story. Pertama, barangkali kita bisa merasakan denyut kreativitas musiknya yang cukup mempesona dalam Summer Haze, dari album Storm (1997). Lain dari biasa, di sini ia mencoba "menerjemahkan" sebuah blues lama yang populer pada 1970-an, Summertime, ke dalam permainan biola bergaya Barok. Hasilnya memang tidak luar biasa. Tapi itulah sebuah penguasaan dan penjiwaan yang bagus terhadap garis-garis melodi dasar lagu itu.
Kedua, dengan caranya sendiri Vanessa telah mengambil bagian dalam menghapuskan kesan angker yang selama ini meliputi dunia musik klasik. Otomatis dengan meniupkan erotisisme ke tengah-tengah panggung, ia telah menempuh jalan yang telah berpuluh tahun dilakoni rekan-rekannya di blantika musik pop: seks bagian dari musik (atau menurut seorang Sigmund Freud: musik bagian dari naluri seksual). Dan perlahan-lahan, penggemarnya pun kerasukan pikiran jernih: tak ada ruginya berkenalan dengan karya J.S. Bach, Paganini, atau Mozart, yang kualitasnya rata-rata di atas kebanyakan musik pop.
Dengan sebab tak begitu jelas, selama ini musik klasik memang selalu tertarik untuk berpenampilan sangar. Buah dari peradaban Barat yang telah bercokol sepanjang ratusan tahun ini punya segerobak aturan dingin, termasuk larangan bertepuk tangan di antara dua gerakan/bagian (movement). Di samping itu, ada juga sederet istilah asing seperti opus, nomor-nomor komposisi yang dibikin rumit dengan keterangan tentang nada dasarsesuatu yang pada akhirnya cuma menambah-nambah bingung dan takut.
Kini, "keajaiban" Vanessa tampak dalam sejumlah album, keberhasilannya sejak penampilannya yang kesohor: memainkan biola dengan kostum kaus basah di bawah terang matahari Laut Tengah dalam klip video The Violin Player (1995). Setelah dikeluarkannya The Classical Album (1996), bermunculan album-album selaris pisang goreng: Classical Album 2 "China Girl" (1997), I Feel Love (1997), Storm (1997), Subject to Change (2004). Prestasi ekonomis yang sangat besar: seorang Vanessa, jutaan kopi album terjual.
Alhasil, di antara tetek-bengek kaku yang menguasai musik klasik, tiba-tiba kita dapati Vanessa yang bisa mengerling, memoles bibirnya dengan lipstik warna eksotis, menggeliat lemah dan pelan-pelan merebahkan tubuhnya. Ada sejumlah imajinasi yang bisa terbang. Tapi ada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab: siapa sesungguhnya Vanessa Mae? Adakah ia seorang agent of change yang hendak merobohkan keangkuhan musik klasik? Atau sebuah kemasan dagang? Atau sebuah hologram .
Matahari sudah lama tenggelam. Malam itu, suatu hari di tahun 2002, di panggung Royal Albert Hall, London, empat perempuan muda, empat instrumen gesek elektrik, larut dalam musik yang dibawakannya.
Kita tahu mukadimah yang digambarkan Overture 1812 Op. 49 itu: musik yang berkisah tentang pernyataan perang di sebuah gereja di Rusia abad ke-19. Tapi keempat wanita berparas cantik, berkostum seksi, dan bertubuh padat itu punya pemahaman sendiri akan buah karya komponis Rusia, Tchaikovsky, yang teramat dikenal itu.
Di atas partitur, perlahan Tchaikovsky membangun suasana melalui sepotong melodi: nada-nada awal yang rendah, berat, dimainkan berulang-ulang. Ada suspens, ada ketulusan berkorban. Perang tak dapat dihindari dan dua pasukansatu menyerang, satu lagi mempertahankan dirisegera berbenturan. Ya, Tchaikovsky memperlakukan karyanya layaknya sebuah rekonstruksi sejarah epos besar, sebuah kemenangan pasukan Rusia atas gempuran serdadu Napoleon, di awal abad ke-19.
Overture 1812 adalah musik yang bergemuruh. Diawali dengan intro lambat, lalu perlahan-lahan terseret berkembang jadi perubahan-perubahan dramatis, diakhiri dengan ledakan-ledakan kanon dan lagu kebangsaan Rusia. Sebuah visualisasi musikal fantastis! Tapi malam itu, di hadapan ribuan penonton, empat serangkai anggota kuartet gesek BondHaylie Ecker, Gay-Yee Westeroff, Tania Davis, dan Eos Chatermuncul dengan satu kesimpulan: era Romantik itu berakhir sudah. Empat wanita, pada usia 20-an tahun, bagian dari generasi MTV, enggan menyentuh gumpalan emosi yang meluap-luap. Mereka bermain dengan santai, enteng. Duet bas dan drum bergerak dalam beat disko mencolok, seakan memimpin di depan; biola, biolin, serta cello yang digesek datar beriringan di belakang. Permainan yang encer, tanpa salah, juga tanpa emosi. Kita tahu gejala seperti ini: bukankah dalam suasana pop terkadang melodi harus mengalah pada ritme?
Matahari sudah lama tenggelam, tapi inilah Bond, kuartet gesek dengan serangkaian sensasi, sekaligus ironi. "Pemberontakan kecil" Bond yang pertama adalah saat keempat perempuan itu difoto bugil untuk sampul album mereka pada 2000. Pemberontakan yang cepat dipadamkan oleh perusahaan rekaman Decca. Sampul tersebut tak pernah muncul lagi.
Pukulan kedua bukan lagi soal seks, melainkan musik. Datang dari Chart Information Network (CIN), sebuah organisasi yang mengikuti penjualan rekaman-rekaman musik klasik di Britania Raya. Pukulan dari sekelompok orang yang mencoba membubuhkan garis batas pemisah tegas antara musik klasik dan musik pop. Bond populer dan menempati anak tangga kedua dalam persaingan di antara seniman klasik. Tapi mereka memutuskan mencoret Bond dari daftar. Dosa Bond satu: cara-cara kelompok ini memperlakukan irama lebih mendekati musik pop ketimbang klasik. Mereka kemudian menyalahkan beat disko yang dinilai tak berkepribadian klasik.
Dunia, termasuk dunia musik klasik, banyak berubah. Tapi nomor musik Allegretto dalam album Shine mengajak kita kembali ke zaman Barok: musik sederhana, ritme yang tegas, garis melodi patah-patah. Ya, melodi yang juga menguatkan irama. Haylie Ecker, Gay-Yee Westeroff, Tania Davis, dan Eos Chater menggesek instrumen serempak, berhenti serempak. Semua bergerak, naik-turun, mengikuti garis melodi yang irit nada, tapi cukup berlimpah irama. Allegretto nomor yang tidak istimewa, tapi mendapat sambutan meriah. Ia mudah tertangkap kuping-kuping yang biasa mendengarkan musik pop.
Bond tak begitu ambisius, tapi para personelnya mengibaratkan mereka sebuah jembatan penyeberangan. Keempat instrumentalis perempuan itu menyampaikan melodi yang mereka petik dari dunia musik klasik ke telinga-telinga yang lebih akrab dengan musik pop, meski terkadang mereka tak terang-terangan mengakui bahwa beberapa buah karya mereka sangat mirip dengan potongan-potongan komposisi komponis klasik. Oceania, misalnya, menyerupai karya komponis Saint Saens, Aquarium, bagian dari Carnival of the Animals. Nomor Victory, yang populer di mana-mana, tidak berbeda jauh dengan lima nada pertama karya Rossini, Barber of Sevilla.
Bond lahir pada tahun 2000. Tapi di tahun-tahun berikutnya tiket konser-konser di Inggris dan negara-negara Eropa terjual habis. Viva dan Victory, dua nomor musik mereka, dimainkan dalam Olimpiade Musim Dingin 2001. Setelah konsernya di Asia Tenggara, album-album Bond mendapat predikat platina di Hong Kong, Singapura, Korea, dan Indonesia. Di samping album Born (2001), Shine (2002), dan Remix (2003), keempat perempuan itu telah mengantongi sejumlah penghargaan.
Bond mungkin tak menyerupai sebangsa sejumlah seniman dangdut yang suka "meminjam" komposisi pemusik India tanpa permisi. Tapi Bond seperti dangdut, sosok primadona pasar rekaman di negeri ini. Sebuah dunia yang dimanja para penggemar: ada popularitas menjulang, tuntutan untuk terus kreatif, godaan-godaan untuk menempuh jalan pintas, dan ada goyang.
Wanita cantik, instrumen gesek berdawai empat. Secepat kilat nama-nama ini, Bond, Vanessa Mae, Hillary Hahn, The Planets, Lara St. John (masih banyak lagi yang disebut) meraih popularitas. Kita melihat gejala ini di mana-mana. Para "pemberontak" pro-pembaharuan bersorak, pencinta klasik konservatif melengos, sisanya berpikir panjang: haruskah ayunya wajah, seksinya potongan tubuh, berkaitan dengan musik yang bagus? Teori tak berkata begitu. Tapi, dalam praktek pemasaran, musik klasik, klasik ringan, atau klasik pop sama saja dengan sabun, pembersih lantai, atau sampo. Seks adalah bagian dari ramuan yangtentu sajamenjual produk-produk itu.
Pemasaran bergerak, tapi sejarah tak pernah lelah mencatat: tak ada angka fantastis dalam penjualan rekaman musik klasik. Di mata Leon Botstein, konduktor utama sekaligus direktur musik The American Symphony Orchestra, penjualan musik klasik tidak pernah menyamai musik pop. Musik klasik tidak seperti makanan cepat saji. "Dan seks bukanlah majalah Playboy atau Penthouse," katanya.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo