PELUKIS nyentrik Salvador Dali ada di Blok M. Benar. Di Oet's
Gallery, tak jauh dari terminal bis Blok M, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, 25 karya litografi Dali dipamerkan. Karya-karya
itu dikumpulkan pihak Oet's dengan susah-payah, satu per satu
dibeli dari berbagal galeri di Eropa. "Selagi Dali masih hidup,"
kata Gumilang, 61, pengusaha pemilik Oet's. "Kalau dia sudah
meninggal, tentu karyanya mahal sekali."
Tapi suasana pameran tetap seperti yang pernah digambarkan dalam
satu anekdot. Di sebuah rumah makan, tahun 1950-an mengabaikan
peringatan pelayan, Dali justru minta kursi yang patah pernya.
"Dengan per yang patah mengancam di punggungku," katanya kepada
teman-temannya yang ikut makan, "aku akan selalu menyadari
kenyataan luar biasa dari peristiwa dudukku ini."
Memang, suasana "duduk di kursi yang patah pernya" itulah citra
yang diberikan karya-karya Dali umumnya - paling tidak menurut
Michel Tapie pengamat seni rupa dari Prancis yang menulis buku
tentang Dali. Maksudnya, yang sebenarnya digambarkan pelukis
kelahiran Figueras di wilayah Gerona, Spanyol, itu adalah
hal-hal yang bisa dilihat sehari-hari. Tapi hal-hal yang lumrah
itu diguncangnya hingga muncul kenyataan yang lain, yang luar
biasa. Jerapah yang terbakar punggungnya, jam dinding yang
meleleh, kuda dan gajah berkaki belalang, bukit-bukit
berbenjol-benjol membentuk kepala orang.
Di Blok M, memang, Dali tak diwakili karya-karya yang banyak
dibicarakan orang. Tapi bukan pula karya di bawah standar.
Misalnya Bulu Domba Keemasan di Cahaya Fajar. Sebuah pemandangan
biasa di sebuah pangkalan perahu. Tiba-tiba muncul di cakrawala
seorang wanita telanjang yang memamerkan punggungnya. Wanita itu
ternyata berambut bulu domba berwarna keemasan. Sepotong tangan
yang muncul di langit menarik-narik rambut itu. Suasana
pangkalan perahu itu jadi aneh, sesuatu yang bukan duniawi.
Karya lain, penyaliban Kristus, Cobaan untuk Santo Antonius, dan
Onani Agung, seorang wanita yang digambarkan sepert berpusing
dan meletus, tiga wanita surealis pemain orkes. Tapi ada juga
gambar yang biasa-biasa saja. Misalnya Don Kisot dan Jembatan
memang mirip ilustrasi buku. Pun, gambar bidadari turun ke bumi
menolong dua gelandangan, seperti bukan datang dari tangan Dali,
tokoh surealisme yang diakui dunia. Tapi Dali memang bukan cuma
melukis. Ia membuat apa saja: ilustrasi buku dekorasi panggung,
dan kostum sandiwara.
Sebenarnya, sebiasa-biasa karya Dali, tetap ada sesuatu di balik
yang nyata - selain teknik yang rapi. Karya-karya awalnya,
sebelum ia pindah ke Paris pada 1929, bisa saja disebut
dipengaruhi Picasso, Braque, Juan Gris, bahkan realisme Vermeer.
Lewat lukisan Gadis Menjahit, 1926, yang terasa ada Picasso-nya,
Dali kala itu sudah diramal bakal menjadi pelukis besar. Bukan
saja kepersisan anatomi yang begitumeyakinkan pada lukisan itu,
tapi juga gelap-terang yang seolah menyembunyikan misteri,
mengundang perhatian para pengamat seni rupa, dan guru-gurunya
di sekolah seni rupa di Madrid.
Misteri itu menjadi nyata setelah ia mengunjungi Paris, untuk
kedua kalinya, pada 1929. Pada saat subur-suburnya seni
nonfiguratif, Dali justru menilai seni rupa di Paris sudah
"tenggelam dalam kekacauan dan kemalasan." Ia menyangsikan karya
seni rupa yang cuma menyuguhkan unsur-unsur "tanpa isi", cuma
garis dan warna.
Dali kembali mempersoalkan isi atau cerita. Itu berarti hadirnya
kembali obyek pada kanvas. Tapi obyek yang dihadirkan Dali bukan
lagi figur atau pemandangan alam atau alam binatang seperti
realisme Rembrandt, atau ekspresionisme van Gogh. "Saya
menyuguhkan kembali obyek sedemikian rupa hingga nama Dali akan
sinonim dengan simbol irasionalitas yang kongkret," katanya. Dan
anak seorang notaris ini benar-benar meraih yang diimpikannya.
Pada pertengahan 1920-an di Perancis surealisme memang sedang
tumbuh. Tapi bila kemudian Dali masuk dalam gerakan surealisme
-mazhab dalam kesenian yang memuja-muja keirasionalan bawah
sadar dan dunia mimpi - mungkin hanya suatu kebetulan. Paling
tidak, surealisme Dali bukan semata-mata lahir lantaran gerakan
itu muncul. Buktinya, seusai Perang Dunia II, ketika surealisme
surut, Dali tetap melukis surealistis dan tetap melahirkan
karya-karya kreatif. Salah satu litografi dalam pameran ini,
Bulu Domba Keemasan itu, adalah karyanya pada 1977. Tentang
kekukuhannya ini, ia memang punya pegangan. "Dunia mimpi memang
berakhir ketika orang terbangun dari tidur," katanya. "Tapi,
bukit-bukit imajinasi itu tetap hadir."
Apa maksudnya? Suasana surealistis, suasana mimpi dalam
karya-karya Dali bukan sesuatu yang hanya ada dalam
angan-angannya. Bukit-bukit yang aneh, padang pasir yang sunyi,
dan pantai yang misterius adalah pemandangan yang diserap Dali
sejak kecil. Wilayah Gerona di sudut timur laut Spanyol, tempat
Dali dibesarkan, suasana bukit, padang pasir, dan pantainya
konon memang mirip yang ada dalam karya Dali.
Mungkin dalam upaya mempertahankan kehadiran "bukit-bukit
imajinasi" itulah gaya hidup sehari-hari Dali memang
"surealistis". Pernah seorang wartawan yang mencoba
mewawancarainya, di akhir 1970-an, diajak Dali ke sebuah pantai.
Di situ ia persilakan si wartawan menanyakan apa saja. Tapi,
pantai itu ramai dikunjungi orang, sementara di jalan rayanya,
di pinggir pantai, derum kendaraan tak henti-hentinya.
Tapi kini Dali, 79, memang sudah sakit-sakitan. Sejak Gala,
istrinya yang konon juga menjadi sumber ilhamnya, meninggal
tahun lalu, kesehatannya terus memburuk.
Toh, masih ada yang tega mengganggunya. Beberapa waktu lalu
seorang pelukis muda Prancis mengaku telah memalsukan ratusan
karya Dali. Konon, tanda tangan dalam karya itu asli. Pelukis
muda itu, katanya, memang dekat dengan Dali, datang dengan
kanvas dan kertas kosong, minta tanda tangan Dali. Tak jelas
mengapa Dali mau menandatangani kanvas dan kertas blangko itu.
Tapi, memang, sejauh ini belum terbetik berita penemuan lukisan
Dali yang aspal. Juga, tanda-tanda meragukan dalam pameran di
Oet's Gallery tak terasa, meski karya litografi Dali ini
kebanyakan produksi yang kesekian ratus dan dicetak pada awal
1980-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini