ON THE SOCIOLOGY OF ISLAM
ceramah-ceramah Ali Shari'ati, diterjemahkan ke bahasa Inggris
dengan pengantar Hamid Algar, Mizan Press, Berkeley, 1979,
125 halaman.
TIAP revolusi di abad ini nampaknya dituntut untuk punya
pemikir. Pada revolusi Oktober di Rusia 1917, kita melihat Marx
serta Lenin. Kemudian, di Cina, Mao. Maka bila di Iran terjadi
revolusi, siapa gerangan yang jadi sang filosof dan ideolog?
Dengan niat membantah, atau tak hendak percaya, bahwa revolusi
Iran hanya letupan kekolotan kaum mullah yang menentang
"modernisasi" Syah Iran, seorang cendekiawan Iran pun
disebut-sebut. Dia adalah Ali Shari'ati. Di hari-hari permulaan
revolusi Iran menggemuruh, seolah sudah jadi keharusan para
wartawan asing dan pengamat luar (yang bersimpati kepada
revolusi) untuk menyebut-nyebut nama itu.
Ali Shari'ati sendiri telah meninggal di tahun 1977. Ada
anggapan kuat di antara para pengagumnya bahwa ia mati, dalam
umur 44 tahun, karena dibunuh agen Savak, organisasi mata-mata
Syah Iran yang ditakuti itu. Ada juga dugaan bahwa sebenarnya ia
kena serangan jantung, di Inggris.
Apa pun sebabnya, tokoh yang dikubur di Damaskus, Suriah,
ini--di dekat sebuah makam tokoh sejarah Syi'ah -adalah anak
dunia Islam sekarang: ketika kaum intelektual berhadapan dengan
ketidakbebasan, bahkan penindasan, dan ketika pemikiran Islam
berhadapan dengan hegemoni Barat.
Kepicikan
Shari'ati lahir di desa di dekat Sabzavar (600 km di agak timur
laut Teheran), di tahun 1933. Dia dididik ayahnya sendiri,
seorang guru dan mujahid penting di Mashhad. "Ayahku membentuk
dimensi-dimensi pertama rohaniku. Dialah yang mengajariku
pertama kali seni berpikir dan seni menjadi manusia," tulisnya
kemudian. Kedua "seni" itu ternyata kemudian penting baginya.
Dia masuk Fakukas Sastra Mashhad di tahun 1956, lalu belajar ke
Paris. Ketika kembali dari Paris di tahun 1964, dia ditangkap
pemerintah.
Beberapa waktu kemudian dia bebas, dan diangkat jadi pengajar di
Universitas Mashhad, almamaternya, di kota yang terletak 800 km
di timur Teheran itu. Tapi tak lama. Hamid Algar, yang memberi
pengantar untuk buku itu, menyebut bahwa universitas itu menolak
Shari'ati, ketika kuliah-kuliahnya memikat banyak mahasiswa.
"Pendek-pandangan, kepicikan, rasa iri dan dengki bergabung
menghalangi jalannya," tulis Algar.
Mungkin Algar berlebihan: biografi Shari'ati yang
diikhtisarkannya di bagian awal buku ini terlalu bersantan
kental dengan pujian. Betapa pun, kepicikan dan rasa iri, juga
permainan kekuasaan, bukan hal asing di dunia akademi, dan
Shari'ati sendiri nampaknya memang tokoh yang menantang.
Bagaimana sbenarnya pemikiran Shari'ati? Islam sudah tentu jadi
dasar pertama--meskipun harus dicatat, bahwa dia tak selalu satu
pojok dengan kaum ayatullah. Dia misalnya menyebut para ulama
yang tak mengenal- zam kini sebagai bi zaman, ali. orang-ora
yang tak berwaktu. Dia, menurut Shah rough Akhavi dalam buku
Religionan Politics in Contemporary Iran (Stat University of New
York Press, 1980), punya jago dalam diri tokoh sperti Muhammad
Abduh, pembaharu Islam dari Mesir itu, dan Muhammad Iqbal, sang
penyair dan pemikir dari Punjab. Tak heran bila banyak ulama tak
menyukainya. Terutama ketika Shari'ati memberi kesan bahwa ia
menuduh kekolotan dan kepasrahan ulama itulah yang menyebabkan
imperialisme Barat menang. Satu tuduhan yang tidak baru dan
tidak orisinal. Namun dari sini nampak, betapa Shari'ati--dalam
konteks keyakinan Syi'ah -- menjangkau jauh ke luar. Ia misalnya
menyebut, sebagai contoh semangat demokrasi dalam Islam, cara
pemilihan khalifah stelah Nabi wafat. Sudah tentu bagi kaum
ulama Syi'ah ini tak benar: bagi mereka khalifah yang sah adalah
Ali, berdasarkan keturunan.
Michael M.J. Fischer, dalam Iran, From Religious Dispute to
Revolution bahkan membuat satu tabel khusus tentang "kesalahan"
Shari'ati menurut sebagian mullah. Di antaranya ketika ia
menganggap Sultan Saladin sebagai pahlawan. Bagi sbagian mullah,
Saladin justru musuh yang membakari buku dan membunuhi orang
Syi'ah.
Ayatullah Khomeini
Shari'ati, kemudian, disebut-sebut telah mengoreksi kembali
pandangannya yang tak cocok dengan para ulama. Tapi jika kita
baca On the Sociology of Islam, yang terdiri dari delapan
ceramahnya dan mencerminkan pikiran pokok Shari'ati, nampak
masih jauh agaknya jarak antara dia dan kaum ulama yang pegang
peranan di Iran. Hamid Algar sama sekali tak menyebut kaitan ide
Shari'ati dengan Ayatullah Khomeini, tapi dari Akhavi kita tahu
bahwa kontak antara mereka praktis nol. Persamaan mereka
terutama ialah nasib dalam menghadapi'tekanan despotisme Syah,
dan dalam seruan perlunya keterlibatan politik orang yang
beriman.
Tapi sementara itu, perbedaan mereka bisa besar skali. Dalam
"Manusia dan Islam" (Insan va Islam) Shari'ati mengatakan, agama
perlu bicara dalam lambang dan imaji-imaji, agar "dapat
dimengerti dengan berkembangnya pikiran manusia dan ilmunya"
Dengan kata lain, agar ia bisa selalu ditafsirkan kembali sesuai
dengan generasi yang ada. Khomeini, sebaliknya, cenderung
menghindari hal itu dalam konsep pemerintahan Islamnya, parlemen
tak punya fungsi legislatif. Alasan: smua hukum yang perlu sudah
diletakkan oleh Nabi dan para imam.
Shari'ati tak ayal lagi seorang humanis: seperti Iqbal, ia
menganggap Islam sebagai agama yang memberi manusia
kemerdekaan. Manusia wakil Allah di bumi. Ia bertanggungjawab
atas nasibnya-sendiri, "karena ia punya kemauan bebas".
Demikianlah dalam Islam, kata Shari'ati, "manusia tak merendah
di depan Tuhan, sebab ia adalah partner-Nya."
Yang agak kurang jelas bagi saya ialah, di manakah Shari'ati
meletakkan .tekanannya ketika ia berbicara tentang "manusia"
itu: kepada individu, atau kelas sosial, atau kesatuan yang
lain. Dalam Ravish-i Shinakht-i Islam, yang diceramahkannya di
tahun 1968, ia menyebut kata al-nas dalam Qur'an. Menurut dia,
makna kata ini ialah "massa". Baginya Islam adalah "mazhab
pemikiran sosial pertama yang menganggap massa sebagai basis,
faktor yang asasi dan yang sadar dalam menentukan sjarah dan
masyarakat." Bukan aristokrasi, bukan tokoh-tokoh besar, bukan
kaum rahib ataupun intelektual, melainkan massa.
Mencari Harmoni
Tapi smentara itu toh Shari'ati menyebut--dalam ceramah yang
sama-bahwa Islam menghendaki baik tanggungjawab masyarakat
manusia maupun tanggungjawab individu-individu yang membentuk
masyarakat itu. Untuk yang terakhir ini ia bahkan mengutip
Qur'an surat 74 ayat 38. Agaknya ia, sperti banyak pemikir lain
di abad ini, mencoba mencari harmoni antara tekanan pada
individu dan pada kolektivitas. Tapi kenapa ia bicara dengan
begitu tegas tentang "massa"?
Kesan saya ialah, seperti banyak cendekiawan Dunia Ketiga di
zamannya, bahasa Shari'ati adalah bahasa kaum revolusioner
Marxis, meskipun isi pikirannya baru satu ekspresi pencarian
identitas. Dia mengagumi Franz Fanon, orang Martinique yang jadi
warga Aljazair, menulis Les Damnees de la Terre dan jadi buah
bibir para intelektual kiri di Paris. Dan agaknya dalam cuaca
revolusioner itu pula, apalagi dengan keadaan Iran yang
gemerlapan palsu di bawah Syah, Shari'ati mengambil Abu Dharr
Ghiffari sebagai tokoh idealnya dari sejarah Islam.
Abu Dharr Ghiffari, salah satu sahabat Nabi, memang lambang kaum
komunis dan sosialis di negeri-negeri Islam di Timur Tengah.
Dikatakan bahwa dialah yang menganjurkan orang mukmin
membelanjakan hampir seluruh hartanya, untuk ibadat. Shari'ati
memilih tokoh ini sebagaimana ia memilih tokoh Abil dalam
riwayat Adam: baginya Abil adalah lambang manusia sebelum ada
sistem milik pribadi.
Benarkah itu suatu jalan pikiran Islam, seperti dibayangkan kaum
bazaari dan kaum mullah, entahlah. Dan adakah dengan itu
Shari'ati bisa menawaran Islam bukan sebagai ideologi
totalit, juga belum bisa dijawab. Dia mati muda. Dia tak
sempat melihat revolusi terjadi dan menyaksikan banyak kata-kata
revolusioner kian jadi kabur, berlumur darah.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini