PANJI-panji perancang grafis Indonesia belum berkibar benar.
IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) yang untuk kedua
kalinya mempergelarkan karya-karya anggotanya, 22-31 gustus di
Taman Ismail Marzuki, tak menampakkan gairah baru. Rancangan
logo, kop surat, sampul buku, poster, masih tak jauh berbeda
dengan pameran pertama IPGI, tiga tahun yang lalu.
Logo dan kop surat misalnya, deformasi huruf menjadi gambar
masih merupakan kecenderungan utama. Cuma bisa dicatat adalah
kop surat karya Gauri Nasution, untuk sebuah biro arsitek. Gauri
merancangkan kertas surat untuk biro itu bukan kertas polos,
tapi berkotak-kotak warna tipis, mirip kertas milimeter.
Rancangan itu memberikan imaji dunia arsitektur. Ide Gauri ini
termasuk jarang.
Juga sampul buku. Rata-rata kesederhanaan disain yang cukup
dengan menampilkan komposisi huruf ditambah komposisi garis dan
bidang seperlunya, masih menjadi kegemaran para perancang sampul
buku. Sebuah buku tentang rumah tinggal misalnya, cukup
menampilkan judul, nama pengarang, inisial nama penerbit.
Ditambah komposisi bidang yang mengesankan gambar rumah.
Rancangan pelukis But Mochtar ini menonjol di antara
sampul-sampul buku yang lain.
Sebuah buku berdasar hijau berjudul tulisan hitam, mengesankan
niat bereksperimen perancangnya. Judul yang terdiri dari dua
kata itu, Darul Islam, ditulis pada dua sisi, atas dan samping.
Ini komposisi yang punya daya pikat kuat. Sayangnya, dalam
rancangan sampul buku T. Ramadhan Bouqie ini bentuk huruf agak
susah dibaca. Membuat orang dari tertarik untuk mengetahui buku
apa itu, menjadi enggan mengamatinya.
Yang juga sederhana adalah kecenderungan rancangan bungkus
rokok. Karya Iwan Soetrisno, bungkus rokok 567 produksi Malang,
adalah contohnya.
Dari rancangan grafis untuk produk yang tidak sangat komersial
sifatnya itulah -- logo, kop surat, sampul buku, kalender --
bisa ditemukan karakter masing-masing perancangnya. Tapi dari
rancangan iklan terasa sang perancang berdiri di belakang,
kurang terampil. "Boleh dikata 50% disain iklan ditentukan
pelanggan," tutur Han Kardinata, 30 tahun, salah seorang
pengurus IPGI.
Pernyataan itu memang bukan hal baru. Tiga tahun lalu, ketika
para perancang menggebu-gebu ingin bersatu, salah satu karena
ingin bisa lebih mendapatkan hak menentukan disain. Cerita
bagaimana perancang grafis iklan (atau yang lain) hanya dianggap
sekadar tukang gambar bisa didengar dari banyak para perancang
itu.
Seorang perancang misalnya, pernah dengan susah payah membuat
rencana etiket untuk sebuah kaset album penyanyi tenar. Produser
kaset menyetujui ide-idenya. Tapi apa kata para agen penjual?
Disain macam itu membuat kaset tak laku. Mesti ada gambar
penyanyinya yang jelas, jangan cuma tulisan dan gambar
lenggak-lenggok begitu -- begitu kira-kira kata para agen. Jadi
jangan cepat menuding para perancang grafis, bila sampul kaset
tidak menarik.
Padahal benarkah disain yang "aneh-aneh dan baru" membuat
dagangan tak laku, belum ada bukti-bukti. Di sini prasangka dan
kebiasaan, ambil peranan lebih kuat daripada akal sehat.
Itu pula yang menyebabkan sejumlah rancangan iklan berkarakter
sama, meskipun berbeda perancangnya. Lihat saja dalam pameran
ini. Tiga disain iklan untuk pabrik jamu Air Mancur yang
masing-masing dibuat Taufik Rambe, Trisumo Adjie, dan Harto
Sumiyanto rasanya dibuat oleh satu tangan. Ketiga disain itu
berfokuskan wajah cantik. Fokus ini tampaknya dipertahankan
mati-matian -- dan itulah yang membuat ketiga iklan yang
berbeda itu berkarakter sama. Lebih mengherankan lagi iklan
kosmetika Sari Ayu produk Martha Tilaar -- yang tak ada
hubungannya dengan Air Mancur -- berkarakter sama dengan iklan
Air Mancur. Supaya dikira produk dari pabrik yang sama? Mungkin.
Ciri iklan-iklan kita dari dulu pun masih belum berubah: sarat
dengan kata-kata, hingga gambar menjadi tak penting. Maka sebuah
poster Toyota Corolla karya Hendro menjadi menonjol. Poster ini
menggambarkan dua mobil lagi ngebut. Satu yang di belakang agak
tertutup debu yang beterbangan. Posisi mobil pun tak statis,
agak miring. Ada dinamika. Poster ini langsung menawarkan
barangnya dengan lugas lewat bahasa gambar yang menarik.
Bandingkan misalnya dengan gaya iklan Corona yang bergambar
mobil sedang berhenti di depan sebuah rumah mewah. Mau jual
mobil atau rumah? Tapi konon gaya iklan yang belakangan itulah
yang kini lagi model. Yang ditawarkan jadinya gaya hidup (yang
mahal) bukannya langsung menawarkan produknya.
Dan entah mengapa, terasa kurang sekali bumbu humor dalam dunia
iklan kita. Dalam pameran ini kecenderungan humor hanya ada pada
iklan Perumtel. Digambarkan seorang bos, barangkali, lengkap
dengan dasinya sedang santai berayun di tempat tidur yang
tergantung di angkasa, menelepon entah ke mana. Ini gambar
goresan tangan, bukan foto, yang sederhana tapi lucu. Inilah
bikinan Priyanto dan Harianto I.R.
Apa sebenarnya yang terjadi? Dunia rancangan iklan seperti
kurang imajinasi. IPGI agaknya belum berhasil membujuk pelanggan
untuk lebih besar mempercayakan segalanya kepada perancang
grafis. "Pelanggan sebenarnya harus juga dididik," kata Nuradi
dari biro iklan Inter-Vista beberapa lama yang lalu.
Ada gagasan kemudian muncul: tidakkah sebaiknya kesempatan
pameran seperti ini tidak melulu menyajikan karya jadi?
Misalnya, sebagian rancangan grafis yang seratus persen
dicitakan si perancang sendiri dan bukan orang lain. Dari situ
barangkali bisa ditarik perbandingan baik-buruknya sebuah
rancangan. Dari situ barangkali pula apresiasi pelanggan bisa
terbuka.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini