BEGITU memasuki ruang kerjanya, suatu pagi pekan lalu, Anton
Sudjarwo tersenyum melihat dua karangan bunga kecil di atas
mejanya yang berlapis kaca. Tidak jelas siapa pengirimnya.
Mungkin orang luar atau kawan sekerjanya yang enggan menyebutkan
identitas. Tetapi ia tahu, itulah pernyataan simpati dan ucapan
selamat atas keberhasilannya meraih hadiah Magsaysay dari
Pemerintah Filipina.
Hadiah uang bernilai US$ 20.000 itu diberikan dalam suatu
upacara di Manila, 31 Agustus. Anton sendiri sampai saat
berangkat ke Manila hari Minggu lalu, masih tetap
bertanya-tanya. "Saya tak tahu, apa alasan panitia di sana
memberikan hadiah itu," katanya. Ia hanya membaca di koran-koran
hadiah Magsaysay ini dikaitkan dengan Yayasan Dian Desa yang
dipimpinnya, untuk bidang kepemimpinan dalam masyarakat. Ia
dinilai berjasa menggerakkan penduduk pedesaan agar mampu
berdiri sendiri dengan penerapan teknologi tepat guna.
"Hadiah itu berarti beban," ujar lelaki 36 tahun ini. Ia sendiri
merasa petualangannya dalam memecahkan pelbagai persoalan
pedesaan bukanlah keberhasiannya secara pribadi. "Itu adalah
hasil kerja bersama penduduk desa juga," kata laki-laki asal
Pekalongan ini.
Petualangan Anton di desa-desa bukanlah barang baru. Sejak kecil
ia suka keluyuran, keluar masuk desa. Bersama beberapa temannya,
kalau liburan sekolah tiba, anak tertua bekas pengusaha batik
ini pergi ke lereng Bukit Pagilaran, selatan Pekalongan yang
terkenal dengan perkebunan teh. Bahkan sampai ke Batur dan
Dieng, berhari-hari. "Saya sendiri tidak tahu, kenapa dulu suka
keluyuran ke desa-desa," kata Anton.
Tamat dari SMA di Semarang, tahun 1964 ia menjadi mahasiswa di
Fakultas Teknik Sipil UGM. Ketika pecah peristiwa G30S/PKI dan
mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan, Anton merasa sumpek di
kota. Ia mengaku kurang tertarik pada aksi-aksi politik. Karena
itu ia kembali keluyuran ke desa-desa, mengitari lereng Gunung
Merapi. Di Desa Turgo, ia berhenti. "Saya terpaku melihat
masyarakat yang miskin, pertanian yang kering karena daerahnya
gersang," kenang Anton. Ia segera menyadari betapa susahnya
penduduk memperoleh air minum.
Tak lama setelah itu, tahun 1967, Anton kembali ke Desa Turgo.
Bersama teman kuliahnya, Anton Lowa dan Didiek Pariyono, ia
menyelusuri lereng Merapi mencari sumber air. Sebuah sumber air
akhirnya mereka temukan juga, walau tidak begitu besar. Sekitar
4 km dari Desa Turgo.
Anton dan kawan-kawan mulai mengumpulkan penduduk desa.
Kesepakatan diambil, sumber air itu akan dimanfaatkan. Setelah
mencari bantuan sana-sini akhirnya Departemen Kesehatan
menyumbangkan pipa asbes. Kerja keras bersama rakyat desa selama
tujuh bulan, akhirnya berhasil membawa air ke desa. Debitnya
kecil, cuma dua liter per detik. Tapi cukuplah untuk kebutuhan
500 penduduk. "Biayanya tidak banyak, sekitar Rp 175.000 dan itu
bantuan Asrama Realino tempat saya mondok," kata Anton. Bahan
lain yang dipakai semuanya yang ada di desa, seperti bambu dan
kayu.
Itulah karya Anton pertama. Keberhasilan ini diulangi lagi di
Desa Ngandong, masih di lereng Merapi. Proyeknya lebih besar.
Pipa mendapat bantuan dari pemerintah. Biaya lain didapat dari
sumbangan para dermawan. "Buruhnya adalah masyarakat desa,
dibantu beberapa mahasiswa," katanya.
Selanjutnya mereka menuju proyek yang lebih besar, di Desa
Cangkringan, juga di lereng Merapi, perbatasan Jawa Tengah dan
DI Yogyakarta Air yang akan dlmanfaatkan cukup besar, 60 liter
per detik. Untuk mencapai desa harus dipasang pipa induk 12 inci
sepanjang 4 km. Kemudian pipa distribusi yang lebih kecil
sepanjang 16 km. Desa Cangkringan berpesta air, setelah proyek
yang dikerjakan 20 bulan, 1972, ini selesai dikerjakan. Anton
tak pernah ingat berapa biaya yang dihabiskan waktu itu,
karena katanya, belum ada administrasi yang teratur. Proyek
inilah yang kemudian mengantarkan Anton Sudjarwo meraih hadiah
Kalpataru, hadiah tertinggi di Indonesia untuk program
lingkungan hidup -- yang ia terima langsung dari Presiden
Soeharto, 1980.
Dari pengalamanan mengerjakan tiga proyek ini, Anton dan
kawan-kawannya mulai menyadari, ternyata mereka banyak berurusan
dengan masalah administrasi. "Kegiatan yang asal jalan itu makin
lama perlu admimstrasi yang rapi. Kami juga perlu mesin ketik,
perlu surat-surat, bahkan perlu stempel," kata Anton. "Kami
sadar waktu itu, jika program pengabdian ini dilanjutkan perlu
organisasi, tidak hanya asal kerja."
Menjelang akhir 1974, Anton dan kawan-kawannya sepakat
mendatangi notaris untuk membentuk sebuah badan usaha atau
lembaga yang bisa menampung kegiatan itu. "Lha, di depan
notaris, kami berempat bingung, mau membuat organisasi macam
apa," tutur Anton. "Dari pembicaraan yang mendadak itu dan atas
petunjuk notaris, disepakati sebuah yayasan. Entah siapa yang
waktu itu memberi nama, Yayasan Dian Desa."
Itulah proses kelahiran Yayasan Dian Desa yang modalnya hanya Rp
6.000. Semula kantornya menumpang di sebuah garasi mobil tempat
Anton Sudjarwo kos, di bagian timur Kota Yogya. Organisasi mulai
ditata, program mencari sumber air bersih diteruskan ke beberapa
tempat, termasuk di kawasan Gunung Kidul. Karena sudah punya
"stempel", berbagai lembaga, pemerintah maupun swasta dimintai
bantuan dana, sekadar membiayai proyek bila bahannya tak bisa
didapat di lokasi. Pengerjaannya tetap secara swadaya bersama
masyarakat setempat.
Setelah berusia delapan tahun, Yayasan Dian Desa kini bekerja
sama dengan berbagai organisasi di luar negeri, seperti UNICEF,
IDRC (International Development Research Centre) dan Novib,
sebuah lembaga di Belanda. Kantornya sudah berupa bangunan
berlantai dua di atas tanah 3,5 ha, terletak 7 km dari
Yoyakarta menuju arah Kaliurang. Tidak memakai papan nama --
sehingga Menteri Emil Salim, konon, pernah bingung mencari
kantor yayasan ini -- di kantor ini terdaftar sekitar 100
karyawan dan sebuah mesin komputer.
Para karyawannya berstatus honorer. Di sini tidak ada istilah
gaji -- yang ada uang saku. Mereka kebanyakan mahasiswa,
beberapa orang di antaranya sedang menempuh Kuliah Kerja Nyata.
Jangan heran, kalau beberapa tenaga inti itu keluar setelah
berhasil memperoleh gelar kesarjanaannya.
Dian Desa, kemudian, tak hanya mengurusi air minum. Ada seksi
pertanian, teknologi bahan makanan, energi, industri kecil,
urusan sosial, bengkel, dan publikasi. Setiap bulan, Anton harus
menyediakan dana sekitar Rp 5 juta untuk kegiatan yayasannya
itu, dan membeli alat tulis sampai membayar uang saku. "Cukup
memusingkan," katanya. Dana itu terutama berasal dari beberapa
penyumbang.
Tak semua proyek Yayasan Dian Desa berhasil. Ini diakui Anton.
Proyek pertanian di Wonosobo, membudidayakan tanaman apel dengan
pupuk buatan, gagal total. "Pohonnya tumbuh normal, namun
buahnya jarang sekali. Kepala saya sampai pusing mencari
sebabnya, sampai sekarang belum ketemu," kata insinyur yang
belum juga diwisuda ini.
Proyek yang setengah gagal terdapat di Desa Cangkringan,
Kabupaten Sleman, peternakan ayam. Sejumlah penduduk diberi
kredit dan diajari beternak ayam secara praktis. "Produksi
telurnya sukses, tapi harga telur turun, sehingga proyek saya
nilai gagal," cerita pemakai kaca mata minus 2 itu. Banyak
peternak menunggak kredit. "Rupanya saya perlu juga belajar
menjadi penjual telur," gurau ayah seorang anak kelas 2 SD itu.
Program yang menyangkut energi banyak yang sukses. Misalnya,
pemanasan air dengan tenaga matahari yang sudah dipakai beberapa
restoran di Yogya. Juga di bidang publikasi termasuk lancar
dengan terbitnya Majalah Tarik, sejak tiga tahun lalu. Majalah 1«
bulanan ini berisi pengetahuan praktis tentang teknologi tepat
guna, kini beroplah 4 ribu eksemplar.
Rumah Anton Sudjarwo berhadapan dengan kantor yayasan yang
dipimpinnya. Tidak begitu mewah, rumah itu dihuni empat anjing
ras, selain seorang istri dan anak lelakinya, Edo Djarwo, 7
tahun. Ruang tamu rumah itu penuh buku dan beberapa di antaranya
tergeletak begitu saja di sebuah meja belajar. Anton yang suka
rokok kretek ini ke kantor sering hanya memakai sandal jepit,
walau harus menerima tamu seorang pejabat penting.
Pengagum Mahatma Gandhi ini akhirnya punya kesimpulan. "Orang
desa jangan terlalu dimanja dengan berbagai bantuan. Bantuan
yang diberikan mestinya hanya untuk mendorong semangat mereka
bekerja," katanya. Karena bantuan yang berlebihan selain
akhirnya bisa merepotkan pemerintah sendiri, juga akan membuat
warga desa hanya berleha-leha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini