JAVANESE LITERATURE SINCE INDEPENDENCE
J.J Ras, Martinus Nijhoff, The Hague 1979, 442 hal.
KESUSASTRAAN Jawa, biasanya berkisar pada masalah alam
pewayangan, babad-babad, filsafat mistik atau etik dan estetik
dalam tembang macapat. Semua itu mempunyai cap klasik dengan
patokan penilaian yang sudah maton.
Bagi generasi tua dan kebanyakan ahli sastra Jawa, kesusastraan
Jawa sesungguhnya berhenti pada karya Ronggowarsito (1802-1874).
Pengarang itu mendapat julukan "pujangga penutup"--ia dianggap
penutup suatu zaman yang tidak ada taranya di dalam kesusastraan
Jawa. Diam-diam terselip di sini harapan semoga tidak ada yang
sanggup membandingi lagi hasil sastra yang sudah ada.
Meskipun kemudian berkemban juga kesusastraan baru dengan isi
pengalaman yang sezaman pada abad ke-20 ini, perhatian dan
pedoman tetap terpaku kepada yang lama. Pengarang dan peminat
lebih getol memamah biak ucapan dan pikiran abad-abad yang lewat
daripada mengikuti dan mengolah anganangan sastra masa kini.
Dengan sengaja atau tidak orang Jawa cenderung mengabaikan
potensi dan vitalitas kehidupan sastranya sendiri.
Petikan Majalah
Kurangnya pemeliharaan dan minat itu punya juga sebab di luar
dunia sastra Jawa sendiri. Sistem pendidikan di sekolah-sekolah
yang sampai kini tidak mengutamakan jenjang pengajaran bahasa
daerah, telah memutuskan kelanjutan perhatian kepada yang
bergolak di dalam kesusastraannya. Juga, lajunya dan giatnya
kehidupan sastra nasional dalam bahasa Indonesia cenderung
menyisihkan kedudukan sastra daerah.
Namun, unpa bimbingan pengajaran formal ataupun dorongan
ahli-ahli sastra --dan tanpa pula ramai-ramai program sastra --
penulisan karya-karya sastra daerah terus berlangsung. Buku
antologi kesusastraan Jawa semenjak kemerdekaan yang disusun
oleh J.J. Ras ini memperlihatkan kenyataan itu. Kesusastraan
Jawa modern yang dimulai oleh Padmasusastra dengan romannya
Serat Ransang Tuban (1912 menemukan kelanjutannya pada buah
karangan penulispenulis kemudian, khususnya yang muncul sejak
kemerdekaan. Bunga rampai ini terdiri dari karangan berbagai
jenis: cerita pendek, sajak, lakon, artikel budaya dan penggalan
roman. Suatu icipicip dari hidangan besar yang dipaparkan secara
kronologis dari tahun 1945 sampai tahun 1975.
Bahwa berbagai karangan sebagian besar dipetik dari majalah,
bisa disimpulkan betapa besar peranan majalah umum bahasa Jawa
dalam memungkinkan penulis bertahan sebagai sastrawan. Bulanan
dan mingguan seperti Panyebar Semangat, Jaya Baya, Kunthi,
Parikesit, Mekar Sari, Jaka Lodang, Dharma Kanda, Dharma Nyata
dan Kumandang, berdampingan dengan penerbit buku seperti Balai
Pustaka, telah memberi napas lanjut pada kehidupan sastra Jawa
modern.
Adapun tujuan pokok buku ini adalah untuk mendapatkan gambaran
sosiologis masyarakat Jawa. "Peneliti sastra terlalu mudah
menyibukkan diri dengan karya sastra semata-mata sebagai karya
seni," kata J.J. Ras dalam kata pengantarnya. Memang, membaca
karangankarangan yang termuat dalam antologi ini, orang dapat
memperoleh bahan pengetahuan mengenai berbagai segi dan masalah
kehidupan yang sedang dihadapi masyarakat itu setelah mencapai
kemerdekaan nasionalnya.
Tapi biasanya pendekatan sosiologis semacam itu mengandung
maksudtersembunyi: untuk mengelakkan diri lari penilaian seni
pada sastra atau pendebatan sastra sebagai sastra. Memang ng
terakhir itu jarang dilakukan secara" tepat dan mendalam
terhadap kesusatraan Jawa modern.
Padahal, mengikuti karya demi karya yang tersusun berdasarkan
penurtan waktu di dalam bunga rampai ini, sudah bisa diperoleh
pengetahuan mengenai sastra Jawa yang cukup pelik. Disambutnya
bentuk roman sebagai acuan pengucapan, membawa sastra Jawa
menjurus pada realisme yang lebih teliti dan bertanggungjawab
menyiasati gerak kehidupan .
Sikap Priayi
Corak romantik masih bisa dibaca pada karangan-karangan
permulaan. Corak itu membedakan nilai baik-buruk secara absolut,
seperti di dalam cerita wayang. Moral di sini masih berpangkal
pada sikap priayi yang burgerlijk dan cenderung memandang segala
sesuatu dari satu sudut belaka.
Pada karangan-karangan yang kemudian kita lihat betapa lebih
tajam penelaahan terhadap watak, kejadian dan pengalaman,
sehingga yang tampil adalah kehidupan yang lebih wajar, lengkap
dan bersegi. Berbareng dengan itu lebih kuat kecenderungan untuk
mendekati kenyataan yang dihadapi rakyat jelata di kampung dan
ladang. Konsekuensinya, pemakaian bahasa dalam dialog dan
penuturan disesuaikan dengan lingkungan budaya yang sederhana
itu.
Dalam hubungan itu ada gejala menyolok apabila dibandingkan
dengan kesusastraan Indonesia modern. Di dalam kesusastraan
Indonesia modern ilham bagi dunianya didapat dari kehidupan arif
di tengah kota besar, khususnya Jakarta. Di dalam kesusastraan
Jawa modern ilham itu lebih banyak diperoleh dari keakraban
pergaulan di kota kecil dan desa, yakni pusat-pusat tempat
bahasa daerah masih berkembang secara wajar dan tak
terhambat-hambat oleh keinginan hendak nampak arif.
Pendek kata, dengan buku antologi ini sastra Jawa modern
sesungguhnya sudah patut didekati sebagai obyek sastra dan
dijadikan bahan studi serius. Fakultas sastra yang sampai kini
membatasi perhatiannya pada sastra Jawa klasik dan tradisional
saja, perlu - meluaskan perhatian ke arah ini.
Subagio Sastrowardoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini