KITA cemas, lingkungan hidup akan rusak, dan kita ingin berseru.
Lalu kita pun bikin poster. Dan tanpa humor.
Itulah kesan hasil dari sayembara poster tentang lingkungan
hidup yang diselengarakan majalah Gadis dan Walhi Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia) beberapa waktu lalu. Sekitar 80
poster bisa diseleksi dari 400-an buah yang diikutkan pada
sayembara itu. Tanggal 25-30 November, mereka dipamerkan di
Galeri Baru Taman Ismail Marzuki.
Poster memang bukan lukisan. Tuntutan pertama pada jenis karya
senirupa ini tentulah: bisa atau tidak menggugah suatu tindakan.
Agaknya karena hal itu poster lantas tak begitu diamati bagaikan
lukisan. Tak bisa dikritik secara ketat berdasar artistik garis,
bentuk, warna dan komposisi. Jenis karya ini lebih mempunyai
kebebasan dalam membentuk, tanpa banyak mengundang heboh.
Tapi, sayang sekali, satu cetusan bentuk yang mengundang
perhatian ternyata tak bisa dilihat dalam pangeran ini. Para
peserta sayembara rupanya begitu terikat pada yang konvensional.
Pengambilan sudut pandang boleh dikata kurang kreatif. Nyaris
semua kalimat pada poster itu menyatakan keluhan. Misalnya,
Kehidupan selalu dalam ketakutan. Atau Bebaskan kami dari
polusi. Yang lain, Inikah bumi titipan yang kaui terima
kembali?
Pun gambarnya sendiri kebanyakan kurang membuat kejutan.
Kemampuan berkomunikasi yang kita minta dari poster, tentulah
tak berarti menutup lahirnya bentuk kreatif yang menyebal dari
konvensi. Gawatnya kerusakan lingkungan, dalam gambar datang
berduyun-duyun secara klise tanah gundul, hewan-hewan berkumpul,
minta dilindungi.
Tak Menggertak
Ada yang mencoba lain, memang. Ialah: gambar raksasa bertaring
panjang berkepala gundul. Kalimat pada poster berlatar belakang
warna merah ini berbunyi: "Awas! Setan tanah gundul ancam . . .
jiwa!"
Dibanding yang lain poster ini punya daya gertak. Dengan
catatan: pesan yang dicorengkan di dalamnya kurang jelas, andai
poster ini tak dipajang dalam pameran poster tentang lingkungan.
Bisa dikira cuma poster iklan film horor.
Ada yang sedikit mengundang senyum. Ada gambar tunggul-tunggul,
dan seekor bekicot lewat. Ia menengokkan kepalanya ke arah
tunggul-tunggul itu seperti terkejut. Dan poster ini, tanpa
sepatah kata, justru memberi kebebasan interpretasi. Pantas
memang hanya dari Yogya ini menjadi pemenang II (pemenang I tak
ada) sayembara Walhi.
Adapun majalah Gadis rupanya lebih memilih pemenang yang necis
yang juara pertama, datang dari Yogya juga, punya gambar yang
cukup sederhana: tangan memegang ranting yang rimbun, dan tiga
burung terbang melayang. Kalimat pada poster: "Lestariku ada di
tanganmu." Dengan latar belakang hijau tua sementara daun-daun
pun hijau pula, poster ini memang tak menggertak. Tapi lebih
membujuk. Dan enak dipandang.
Pemenang kedua, dari Bandung menggambarkan sebatang pohon yang
dikerubuti pabrik-pabrik. Dibanding pemenang pertamanya, ini
lebih berbicara langsung. Bagi kebanyakan orang tentulah yang
kedua ini yang lebih cepat bisa ditangkap.
Tapi semaraknya pameran ini rupanya datang dari Si Jon,
ilustrator Gadis yang menampilkan sejumlah karikatur. Tak
terbatas pada protes atau keluhan, karikaturis yang mungkin
terbaik di Indonesia ini membuat antisipasi: andaikata
lingkungan hidup memang sudah telanjur musnah. Maka para pemburu
begitu kecewa, meskipun berhasil menembak sejumlah binatang
buruan. Ia, pemburu itu, termenung memandangi hasil buruannya
yang ternyata hanya binatang tiruan yang digerakkan secara
mekanis.
Atau, perburuan hanya menjadi masa silam. Maka dua orang pemburu
berpose untuk dipotret di samping seekor gajah yang tergeletak
dengan kepala bercucuran darah. Selesai pemotretan sang pemburu
pergi, gajah pun bangkit dan menghitung honorarium. Luka-luka
itu hanya bohong-bohongan.
Rupanya, dari pameran poster ini, pesan yang disampaikan dengan
humor lelih gampang mengundang rasa simpati dan lebih lama
berkesan. Betapapun gawatnya soal lingkungan hidup, poster yang
hanya menampilkan ketakutan mungkin bisa meletihkan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini