SUARA kereta api lengkap dengan lengkingan peluitnya, terdengar lamat-lamat. Makin lama semakin keras. Ketika semuanya memuncak, detak roda besi menghantam rel gemuruh mengguncang dada. Penonton yang memenuhi Stadion Utama Senayan, Jakarta, pada Pagelaran Pensi 83 - tergetar. Tempik sorak massa pun pecah bercampur teriakan-teriakan histeris. Panggung gelap. Dan tiba-tiba seluruh lampu pentas menyala. Rhoma Irama berdiri dengan gagahnya, melafalkan salam. Gelegar massa pun pecah bagai huru-hara. Tapi tak lama. Serta-merta sang superstar mengangkat kedua tangannya, dan stadion pun senyap. Pertunjukan dimulai: seraya mengutip ayat-ayat Alquran pada kata pengantar yang singkat, sang raja ini berdendang. Demikian lagu demi lagu. Ini pertunjukan Rhoma yang terakhir akhir November tahun lalu - setelah dalam jangka yang panjang tidak naik panggung. Tokoh yang bukan main terkenal ini, yang berada di hati jutaan rakyat, pada pertunjukan itu tampak benar kebesarannya. Dan ini bukan kebesaran yang, seperti pada Rendra atau tokoh-tokoh teater lain, disebabkan terutama oleh prestasi penampilan di panggung. Daya tarik Rhoma, agaknya, diberikan pertama kah oleh kekuatannya dalam merangsang dan menggerakkan - lewat melodi yang mengalun tapi energetik dan populer dikenal sebagai dangdut itu. Suara Rhoma sendiri sangat dikenal: tidak merdu, tidak pula kasar seperti suara penyanyi rock, tapi cenderung panas atau gelisah dengan gelombang kecil-kecil yang merayu, melantunkan kejujuran dan, entah bagaimana, bayangan kesengsaraan. Ini adalah jenis suara aktif yang khusyuk alias hanyut, yang selalu saja terasa ingin mengungkapkan isi hati. Kelebihan Rhoma dari yang lain-lain ialah karena ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu cinta dan berbagai impian "masyarakat bawah" - konsumennya yang paling besar. Melainkan juga keinginan-keinginan atau "aspirasi" mereka. Rhoma memang terasa berdiri di sana - di tengah penduduk yang, seperti disebut dalam satu liriknya, berjumlah sekitar "seratus tiga puluh lima juta" (waktu itu). Bahkan sikap politik Rhoma Irama, pilihannya kepada PPP untuk dikampanyekannya, lebih terasa sebagai perwujudan sikapnya yang bulat untuk "bangkit dari bawah" atau mewakili lapisan itu. Di situ jugalah faktor agama dalam musiknya bukan hal yang aneh. Nasihat budi pekerti, anjuran beribadah, petuah untuk bersikap adil, juga dalam pengertian sosial, yang semuanya kemudian menjadi lebih jelas bersosok sebagai ajaran agama dengan membacakan ayat Alquran dalam pengantar atau menyanyikannya sebagai saduran, dalam dunia musik di kalangan rakyat ternyata tidak mengejutkan untuk berada di jalan yang juga ditempuh lagu-lagu cinta, mimpi duniawi, dan roman-romanan. Rhoma bukan yang memulai tradisi ini: syair-syair lisan di kalangan Muslimin, termasuk dan sebagian grup dendang atau kasidah, umumnya dikarang begitu bebas - dengan melodi yang sekaligus dianggap cocok buat khayalan cinta dan nasihat keagamaan. Kelebihan Rhoma: dari latar belakang yang langsung atau tak langsung itu, ia telah meneguhkan sebuah tradisi yang samar-samar - ke dalam sebuah perwu)udan baru yang "otonom", sebuah "musik dangdut dakwah" atau "musik agama versi dangdut". Dan ini musik modern. Di samping itu, sebelum Rhoma juga sudah muncul cukup banyak seniman yang mengambil ilhamnya dari agama atau yang secara lebih terang-terangan berdakwah lewat seni: sejumlah sastrawan, pelukis, penyanyi, orang teater. Di dunia yang paling dekat dengan Rhoma sendiri ada grup Bimbo, di samping kelompok-kelompok kasidah yang hilang muncul. Tapi memang harus dikatakan bahwa Rhoma-lah orang terpenting yang berdakwah lewat musik secara benar-benar massal - mengingat jumlah konsumennya yang memang paling besar. Seperti dikatakan William H. Frederick, orang Amerika yang membuat riset tentang dangdut, berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film Rhoma, penggemar raja musik ini bisa diperkirakan berjumlah 15 juta, bahkan mungkin lebih. Itu berarti sekitar 10%, penduduk Indonesia. Patut dicatat, tak ada jenis kesenian mutakhir (produk baru) yang memiliki lingkup demikian luas. Apalagi bila diingat bahwa Rhoma Irama bukan satu satunya raja jenis musik ini meskipun bisa juga diperkirakan bahwa tidak ada (atau sedikit sekali) pencinta bintang-bintang dangdut lain yang tidak menyimpan kaset Rhoma, scperti juga dalam hal Elvy Sukaesih. Bisa disimpulkan bahwa dangdut sudah salah satu jenis musik nasional kita, malah mungkin yang terbesar. Toh ironis: kalangan musik formal tetap saja setengah hati menerima jenis irama ini. Dangdut seperti ditepiskan dari pembicaraan serius. Bila pun sudah ada diskusi, riset atau penelitian (oleh orang sendiri) belum pernah terdengar - di tengah usaha serupa yang dilakukan untuk musik pop, novel pop, atau kesenian rakyat. Dangdut dianggap "tak berbobot". Padahal, dengan premis bahwa dangdut adalah "musik kalangan rakyat", sudah dengan sendirinya musykil menyeret-nyeret bobot dengan ukuran musik kalangan elite. Kesenian rakyat dari jenis apa pun cenderung tidak canggih - berbeda dari musik "akademis", yang pada usia tuanya kadang-kadang disebut klasik, yang biasanya rumit dan membutuhkan kritik bertubi-tubi untuk menemukan nilainya. Makin kental ia, makin sedikit para pendukung. Justru musik seperti dangdut mampu mencerminkan ciri dan irama perubahan masyarakat luas. Bila jenis-jenis kesenian rakyat, terutama dari masa lalu, memantulkan kehidupan masyarakat suku-suku yang terpecah-pecah atau lingkungan-lingkungan yang dibatasi bahasa dan dialek, dangdut mengatasi kesemuanya dan menunjuk pada munculnya sebuah era baru. Tak Jadi soal bahwa musik ini dipengaruhi dengan kuat oleh irama India, sebagaimana tak jadi keberatan bahwa musik pop kita - yang sebenarnya toh sederhana saja - tumbuh setelah akulturasi dengan cita rasa Eropa. Tapi agaknya faktor India itulah (yang tak dikatakan) yang menyebabkan Tim Peneliti Lagu-lagu Melayu Radio Republik Indonesia cenderung menolak dangdut masuk ke lingkungan irama Melayu. Mereka menyebut jenis itu "orkes tabla" - dan tabla adalah gendang India. Penjenisan yang agak mengejutkan ini sudah tentu terbit dari semangat menjaga "keaslian Melayu" yakni sekitar Melayu Deli - dari satu pihak yang kebetulan merasa terancam. Yang menarik, Rhoma sendiri berkeras menyebut orkesnya "Melayu". Hanya, yang menarik, ia cenderung menolak istiiah "dangdut". Ia menyebutkan istilah itu diberikan mereka yang tak suka irama Melayu untuk menghina. Rhoma agaknya percaya pada pendapat William H. Frederick yang menyebut dangdut sebagai gejala onomatopoeia - pembentukan kata berdasarkan bunyi - yang punya kecenderungan meremehkan. Barangkali benar - setidaknya pada mulanya. Tapi bagaimana bila yang "meremehkan" itu justru yang memakai? Orang toh bisa mencintai sesuatu sambil memberinya istilah yang sekaligus mencerminkan sikap yang mempersetankan formalitas atau "dunia mapan", termasuk di dalam musik. Semacam pemberontakan. Dan baik bernama dangdut maupun Melayu, dangdut itu memang "pemberontakan". Betapa longgarnya ikatan sebuah nama bisa terlihat ketika dr. A.K. Gani - tokoh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang diketahui sebagal orang yang pertama menggunakan istilah "Melayu" dalam musik - menyelenggarakan festival keroncong pada 1938. Ia melihat kemungkinan memanfaatkan musik rakyat - "Melayu" untuk membangkitkan nasionalisme. Yang disebutnya "orkes Melayu" itu meliputi keroncong, orkes harmonium, dan irama Malaya. Dengan kata lain: pribumi alias asli. Tidak aneh bila pada masa awal kemerdekaan jenis musik ini mendapat prioritas. Lewat Radio Republik Indonesia, yang ketika itu satu-satunya media hiburan masyarakat, "orkes Melayu" pun merakyat. Dan itulah pangkal pamornya sampai kini. Sekitar 10 tahun kemudian barulah salah satu corak Melayu itu mencuat - dan dikenal sebagai "Melayu Deli". Musik yang didukung antara lain akordeon, suling, bas, serta kadang-kadang gambus dan rebana (pengaruh musik Arab) ini sangat menekankan hentakan gendang. Pada tradisi, hentakan gendang ini irama pengiring tarian yang mengutamakan gerak kaki. Pada masa inilah istilah "orkes Melayu" seperti mengalami transformasi arti - tiba-tiba identik dengan irama "Melayu Deli". Sekitar tahun 1955, misalnya, sangat dikenal Orkes Melayu Chandralela pimpinan Mashabi dengan penyanyi-penyanyi Said Effendi, Ellya Agus, Juhana Satar, dan Elvy Sukaesih. Juga Orkes Melayu Bukit Siguntang pimpinan Abdul Chalik dengan para penyanyi Hasnah Thahar dan Husaimi. Perlu juga dicatat nama A. Haris yang mencipta lagu yang sangat terkenal (sampai kini), Kudaku Lari. Tapi tahun 60-an datanglah perubahan yang cukup mendasar - tak bisa lain karena keadaan yang mempengaruhi irama perubahan masyarakat. Dalam masa Demokrasi Terpimpin itu film India membanjir: impor film Barat dibendung. Citra India pun muncul, dan orkes Melayu yang dinamis tiba-tiba menampilkan sisi sentimental yang meratap macam film India. Tanda-tanda zaman yang bisa dicatat: film-musik Seroja, dengan pemeran utama Said Effendi, tidak cuma menampilkan lagu-lagu sentimental. Cerita film itu sendiri melantunkan ratapan. Yang lebih nyata, lagu-lagu yang dibawakan Ellya Agus, penyanyi yang sangat terkenal dengan Boneka dari India ciptaan Husein Bawafie itu. Ellya-lah yang seakan-akan memproklamasikan sifat India Melayu itu. Warna baru ini membawa sejumlah perubahan pada formasi "orkes Melayu". Gendan yang mendekati bentuk rebana digantikan perkusi dengan warna suara tabla. Irama yang lahir pun tidak lagi merangsang gerak kaki, tapi campuran dari liukan tari India dan gerak doger yang kini dikenal sebagai jaipong. Orkes dangdut tak bisa lain "orkes Melayu" juga - yang sudah berubah. Tapi yang kiranya lebil penting, perubahan itu seperti mengesahkan sifat kesenian rakyat: peka pada sekeliling. "Orkes Melayu" menjadi elastis terhadap keadaan, dan kaya. Dan Rhoma Irama punya andil besar dalam "metamorfose" itu. Rhoma seorang penyanyi dan pencipta lagu yang sarat dengan gagasan Dangdut, pada pendapatnya, harus menjadi musik yang disukai "semua lapisan masyarakat, dari bawah ke atas". Juga harus mempunyai misi. Mengandung "pesan", walaupun sederhana. Harus memiliki bahasa yang "cukup sederhana, agar dimengerti kelompok muda". Dan akhirnya, harus mempunyai "warna Indonesia" yang bebas dari pengaruh asing - paling tidak bernada "Timur". Yang terakhir ini kurang jelas maksudnya. Pada awal debutnya, tahun 60-an sampai 70-an, Rhoma menegaskan warna dangdutnva. Seperti juga orkes melayu lamanya. Ia pun larut ke ratapan model India. Filmnya Oma Irama Penasaran - yang dibuka dengan latar belakang musik dangdut bergaya India, mengiringi seorang gadis yang menari dengan gerakan dlnamis punya napas yang sama dengan film Seroja. Ia mengisahkan nasib seorang pemuda miskin yang jatuh cinta kepada gadis keluarga kaya dan feodal. Ratapan pun jadi jelas. Tapi yang lebih penting ialah inl: lewat film yang menggambarkan biografinya, ada kesan Rhoma ingin memberikan sugesti bahwa ia - sang superstar - adalah bagian dari kelompok jelata yang biasanya dihinakan. Lewat penyelesaian yang digampangkan pada akhir film, ia menampilkan "kemenangan kaum jelata". Meskipun demikian Rhoma tak terusmenerus meratap. Pada periode selanjutnya, ia tiba-tiba muncul di panggung yang gemerlapan meneriakkan kemajuan dan modernisasi. Musiknya bukan lagi orkes Melayu konvensional. Grupnya, Soneta yang didirikan tahun 1971 - memang memungkinkan, karena peralatannya sudah tak bisa dibedakan dari combo yang biasanya mengiringi lagu-lagu pop. Ia mencoba memasukkan musik keras hard rock ke dalam komposisi dangdut. Mengolah pertunjukan panggung dengan menampilkan atraksi-atraksi aneh. Di samping memasukkan efek-efek vokal pada komposisi lagu - ciri rock yang dirintis grup Deep Purple - juga terdengar break yang dengan baik sekali diisi irama tabla. Tahun-tahun 1971-1975 Rhoma mengembangkan sayap dangdut. Jenis ramuannya menggedor dan menyusup ke mana-mana. Maka, pada masa inilah dangdut tercatat mendapat cercaan paling banyak. Sejumlah pengamat menggalakkan istilah "musik kampungan" atau yang lebih menghina dari itu. Rhoma Irama muncul sebagai pemenang. Seperti dikatakannya, "Kebangkitan Soneta karena banyak cemoohan yang waktu itu muncul dari kalangan rock." Pada tahun 1975 itu musik Indonesia mencatat "wabah dangdut". Hampir semua pemusik Indonesia - "dari pop sampai klasik", meminjam ungkapan salah satu lagu Rhoma - mencoba memasukkan unsur dangdut kedalam musik mereka. Dan, sebagian besar tidak berhasil. Dangdut ternyata tidak mudah, bukan? Dan kemenangan Rhoma itu seperti kemenangan rakyat saja. Ia pun muncul sebagai "pendekar". Pada filmnya Rhoma Irama Raja Dangdut (1977), jabatan "pendekar yang bersimpati pada kaum kebanyakan" itu terlihat. Pada posisi itu Rhoma seolah menjadi pembangun keseimbangan: memonitor kehidupan kaum elite, dan mendistribusikannya ke kaum kebanyakan. Seperti dikatakannya dalam lirik lagunya: Bagi mereka yang punya uang, berdansa-dansa di night club. Bagi kita yang tak punya uang, cukup berjoget di sini. Terdengar pahit, memang. Dengan lirik itu Rhoma sebenarnya bukan menganjurkan joget, melamkan seperti meneriakkan hak orang kecil untuk juga merasakan kesenangan, dan bahwa Rhoma ada di pihak mereka. Tak heran bila teriakannya mendapat sambutan antuslas, salamnya dijawab dengan gemuruh, doanya diaminkan, dan dakwahnya mendapat tempat. Rhoma Irama, tokoh yang tak pernah bisa ditangkap wajahnya lewat layar TVRI itu, bukan hanya seorang penyanyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini