KAPTEN Raden Burda Anggawirya, pemimpin Batalyon Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, suatu hari pulang lebih cepat. Bangsawan yang pada masa penjajahan tak tergiur dengan jabatan-jabatan bupati, seperti saudara-saudaranya, malam itu bermaksud mengajak istrinya menonton sandiwara Sunda yang dipentaskan grup Irama Baru. Ny. Tuty DJuariah, sang istri, sedang hamil tua. Tetapi perempuan yang menunggu kelahiran anak kedua ini tidak menolak. Ia tahu, suaminya sangat suka pertunukan panggung. Sepulang dari menonton inilah Ny. Tuty merasa sakit perut. Dan, tak lama kemudian, melahirkan. Raden Burda secara spontan memberi nama Irama untuk sang bocah, sebagai pelampiasan kekagumannya pada grup Irama Baru. Irama, putra kedua Raden Burda ini, ketika mulai belajar bicara lebih senang memanggil ibunya Oma. "Yah, akhirnya sepakatlah, diberi saja nama Oma Irama. Jadi itu nama asli," Ny. Tuty berkisah. Anak itu, yang lahir 11 Desember 1946, kini telah jadi raia musik dandut dengan nama yang dipermaknya sendiri: Rhoma Irama. Ini singkatan dari Raden Haji Oma Irama, nama yang disandang secara resmi sepulang dari naik haji, 1976. "Pada waktu saya mengandung Oma, saya bermimpi menggendong mawar yang indah," tutur Ny. Tuty pula. Si mawar yang indah, kenyataannya, memang suka yang serba rapn Ketika d sekolah dasar (sekolah rakyat) - sampai kelas III di Tasikmalaya dan kemudian di Tebet, Jakarta Selatan - Oma selalu memamerkan kamar tidurnya yang resik, tidak seperti kamar tidur saudara-saudaranya. Oma suka menyendiri, tetapi ia anak yang patuh, selalu minta izin kepada ibunya jika meninggalkan rumah untuk bermain. Tetapi ia sudah menunjukkan bakatnya menyanyi. Pernah satu kelas tiba-tiba kosong karena muridnya pergi ke kelas lain. Di kelas ini Oma Irama mendendangkan lagu dengan gayanya yang memikat, kepalanya bergoyang-goyang dan matanya terpejam-pejam. Sekarang Rhoma Irama membatasi membicarakan masa kecil itu, karena ia mengaku banyak yang ia lupa. Tapi ia membenarkan, sejak SD bakat keseniannya, khususnya menyanyi, sudah ada. Di sekolah menengah anak ini sudah gemar memetik gitar. Tetapi kepada ibunya ia tak pernah menyebutkan punya cita-cita menjadi penyanyi. Oma tetap memelihara dan menyebut cita-citanya sejak kecil: menjadi hakim. Ia kuat dalam mata pelajaran sejarah dan ilmu bumi, tetapi jatuh pada pelajaran berhitung, aljabar, dari ilmu ukur. Tidak jelas nilai pelajaran kesenian, mengingat ketika di SMA Oma sudah sering kali menyanyi, juga di luar sekolah. Agak di luar dugaan, dan tak banyak yang tahu, ketika lulus SMA Oma berniat memperdalam agama di Pesantren Tebuireng, Jombang. Diam-diam ia berangkat ke Bandung, maksudnya dengan kereta api akan bertolak ke Jombang. Tapi kakaknya, Benny, menyusul ke Bandung bersama Haris, temannya sejak kecil. Keduanya bermaksud mengantar Oma ke Tebuireng. Celakanya, uang tak cukup. Di kereta api, ketiga orang inl main kuclng-kucingan dengan kondektur karena tidak punya karcis. Bahkan untuk makan Haris mencuri tahu. Ketika kereta tiba di Solo, ketiganya turun dan hidup menggelandang. Haris, kini salah seorang staf di PT Rhoma Film, bisa menuturkan lebih lanjut kisah suram Oma selama menjadi "gelandangan" di Solo. Mereka membeli nasi dengan terlebih dahulu menjual baju secara bergiliran. Suatu malam, selesai makan di sebuah warung pinggir jalan, Oma memetik gitar dan mengalunkan sebuah lagu. Rupanya ada orang yang memperhatikan an tersentuh, kemudian memberikan uang. Bahkan si pemberi uang itu, lelaki kekar yang tangannya penuh tato, menawarkan rumahnya yang berdinding bambu dan berlantai tanah untuk tempat penampungan. Ketiga "gelandangan Jakarta" ini bagai mendapat durian runtuh, walau rumah di tepi Bengawan Solo itu jauh dari sehat. Esok hari setelah ditampung Gito - lelaki bertato itu - mulailah . profesi baru bagi tiga remaja ini, Benny, Oma Irama, dan Haris. Yakni, ngamen keliling Kota Solo. "Ketika menerima uang hasil ngamen, kami benar-benar terharu setelah Oma berkata, ini profesi kita sekarang," kata Haris. Hidup waktu itu pas-pasan untuk makan. Pakaian yang tinggal hanya yang melekat di badan. Oma mencuci pakaiannya malam hari dan dipakai lagi pagi harinya, kadang masih sedikit lembab. Periode menggelandang di Solo ini berakhir menjelang G-30-S/ PKI - dan mereka kembali ke Jakarta. Sebenarnya ada pula penuturan tentang masa prihatin lain yang dialami Oma Irama sebelum episode Solo, yakni ketika di Medan. Menurut sumber TEMPO, di Medan Oma diangkat sebagai anak oleh seorang keluarga yang menemukan Oma sebagai penyemir sepatu. Kemudian di kota inilah Oma ikut grup band Varia Irama Melody. Kisah ini agak sulit dikonfirmasikan sekarang, juga dari Rhoma sendiri. "Saya tak ingat," jawab Rhoma tentang kisah-kisah perihal Medan. Tetapi ia membenarkan, pernah menetap beberapa lama di kota itu dan ikut grup band. Keprihatinan di masa remaja, kehilangan ayah ketika masih di sekolah dasar (1957), membentuk pribadi Oma menjadi keras dan kukuh dalam prinsip dan pendirian. Kekerasan itu tampak dalam beberapa hal. Di bidang musik, ia berkali-kali pindah grup karena tiada kecocokan, akhirnya melahirkan Soneta Group. tahun 1971. Itu belum cukup. Ketika irama Melayu disudutkan sebagai musik kampungan, Oma tampil dengan "revolusi" di bidang musik dangdut, mencampurinya dengan rock. Kekerasan jiwa Oma juga dibawanya ke luar musik. September 1970, ia mengawini Veronica, penyanyi band cewek The Beach Girl, dengan liku-liku perjuangan yang menunjukkan betapa kerasnya hati Oma. Maklum Veronica lahir dari keluarga Katolik dan lamaran Oma sempat diabaikan. Keluarga Rhoma Irama kini dikaruniai tiga putra. Debby Veranasari lahir 1971 dan sedang merampungkan album ketiga lagu anak-anak. Anak kedua, Vicky Zulfikar, lahir 1976. Dan menyusul Romi Syahriali lahir 1977. Setiap hari ketiga anak ini dengan tekun mengaji kepada seorang guru dl lantal atas sebuah bangunan terbuka. Lantai bawah digunakan tempat latihan Soneta Group dan Soneta Girl. Kebisingan dan suara ingar bingar tak membuat ketiga anak Rhoma Irama terganggu mengaji. Bukan cuma anaknya sendlri, tapi juga seluruh personil Soneta diharuskan punya dasar agama yang kuat. Dan sebagai orang yang gagal memasuki dunia pesantren, Rhoma mendatangkan guru agama, Ustad Said Ubeid Elly, sejak 1974. "Sebenarnya saya hanya mengajarkan bahasa Arab kepada Haji Oma. Tapi sering juga kemudian terlibat diskusi tentang agama. Saya mengagumi Oma, ia begitu bergairah mempelajari agama," kata Ustad Said. Dua tahun setelah mendatangkan guru Rhoma naik haji. Napas agama makin terasa dalam sepak terjang pemusik ini. Soneta Group diproklamasikan sebagai The Sound of Moslem, bahkan belakangan mau diganti menjadi Haji Sembilan, mengabadikan tokoh Walisongo yang menyebarkan Islam dengan wayang dan gamelan. Lagu-lagu Rhoma makin gencar membawakan pesan-pesan agama. Rumah Rhoma yang besardan bertembok tinggi di Kebon Baru, Tebet, bersuasana pesantren. Bahkan kehidupan sehari-hari sedikit berbau Arab. Bukan saja setiap saat muncul sapaan Assalamualaikum, juga istilah-istilah bahasa Arab lainnya, seperti ta faddal bila ada tamu, atau alafu untuk meminta maaf. Unsur keagamaan ini mau tak mau menyeret Rhoma ke kancah politik setidaknya setiap ada pemilu. Rhoma Irama punya pandangan tegas dengan sikapnya yang keras itu "Sejak 1971 saya memilih kampanye untuk PPP karena ia beraspirasikan Islam," kata Rhoma. Perjalanan sang waktu mencatat aktvita. Rhoma Irama berkampanye dan jumlah korban yang jatuh karena tergencet menyaksikan raja dangdut ini naik ke mimbar kampanye. Ibu Rhoma, yang juga tinggal & Tebet tetapi terpisah dengan rumah keluarga Rhoma, menggigil ketakutan dan menangis saat-saat kampanye pemilu. Tetapi Rhoma selalu minta izin dan sambil mencium tangan ibunya, ia berkata, "Tak perlu khawatir melepaskan saya untuk kampanye. Kalau saya tak ada lagi, bukankah masih banyak adik saya yang bisa menggantikan saya?" Sang ibu hanya bisa berdoa. Akibat pilihan politiknya bukan tak ada. Izin pementasannya dipersulit. "Pernah pula saya dilarang bicara, ketika panitia perkawinan mengundang saya untuk memberi nasihat-nasihat," tutur Rhoma. TVRI, dengan alasan yang tak pasti, tak pernah memunculkan Rhoma. Bahkan ketika FFI Medan, 1983, yang seluruh peralatan panggung dan musik kepunyaan Rhoma Irama dipergunakan dan acara itu disiarkan langsung TVRI, pada saat Soneta Group muncul TVRI mendadak berganti acara lain. "Semuanya itu saya terima dengan tabah," jawab Rhoma. Tetapi Rhoma tak pernah menyebut dirinya politikus. Karena itu, dalam pemilu yang akan datang, ia tak akan bergabung dengan PPP lagi, apalagi kampanye. Kenapa? "PPP dan lain-lainnya sama saja, tidak lagi memperjuangkan Islam," katanya. Ia kemudian menegaskan bahwa sejak dulu ia tak suka jabatan di politik apalagi di pemerintahan. Kadang kala, seperti diakuinya, Rhoma juga bertanya dalam hati, pengucilan masih terus dikenakan, sementara ia merasa sebagai pembayar pajak yang setia. Pada tahun 1981 Rhoma membayar pajak Rp 5 juta, dan tahun lalu Rp 20 juta. Ini pajak penghasilan pribadi. Artinya di luar pajak penghasilan perusahaan yang didirikan bersama keluarganya, seperti PT. Rhoma Film dan Soneta Record. Tahun lalu ia juga membayar zakat sebesar Rp 6 juta. Orang kayakah Rhoma Irama? "Anda lebih kaya dari saya," kata Rhoma kepada TEMPO. Yang pasti, di rumah pinggir Kali Ciliwung itu, memang bertengger paling tidak empat mobil, salah satu bermerk Mercy, mobil yang biasa dipakai Rhoma. Dan di rumah ini sekitar 100 orang diberi makan setiap hari, dan pembantu, pemusik, penjaga pintu, sopir, dan tamu. Untuk makan setiap hari Ny. Vera mengaku mengeluarkan uang Rp 75.000 sampai Rp 100 000. Setiap bulan dikeluarkan uang sekitar Rp 7 juta untuk pos gaji: tujuh pembantu rumah tangga, empat sopir, dua petugas pintu, seorang penerima tamu, 10 anggota Soneta Group, 10 anggota Soneta Girl, dan 15 teknisi. Dengan orang sebanyak itu, di luar tamu yang lalu-lalang, rumah Rhoma Irama memang tak pernah sepi. Dan memang mustahil kalau ada yang menyebutkan rumah Rhoma "tertutup". Rhoma sendiri selalu minta kepada siapa saja di rumah itu untuk tidak berbohong. Misalnya, Rhoma ada di rumah, tetapi dikatakan tak ada. Tapi tak berarti orang mudah menemui pemusik itu. Siang hari ia lebih banyak tidur. Sore dan malam ia berkutat di perusahaan rekamannya di Cimanggis, Depok. Tak jarang, di tengah malam buta itulah Rhoma menerima tamunya. Kapan waktunya untuk anak-anak? "Secara khusus kadang kala tak ada waktu. Jika ada show, itu kesempatan terbaik bagi kami untuk jalan-jalan membawa anak," kata Ny. Vera. Dan Rhoma selalu minta maaf atas sempitnya waktu untuk anak-anaknya. "Kadang kala saya sempatkan untuk pulang subuh dan bersembahyang berjamaah di rumah dengan anak-anak, setelah itu ngobrol membicarakan persoalan mereka," kata Rhoma. Sosok seperti inilah yang juga membesarkan Rhoma. Tapi apa pun julukan orang kepadanya, Rhoma adalah orang yang sederhana sehari-hari, bahkan ada kesan lugu. "Sejak naik haji Kang Rhoma banyak diam. Ia hanya menjawab kalau ditanya," kata Dedy Irama, 28, satu-satunya dari sebelas saudara Rhoma yang ikut memakai nama Irama. Keluarga ini tak pernah guncang oleh gosip seperti dialami artis lain. Pernah ia digosipkan dengan teman duetnya seperti Elvy Sukaesih, Dedeh, Rita Soegiarto, dan Ricca Rachim. Rhoma dan Vera tetap rukun. Tetapi Rhoma pernah mendatangi kantor media massa yang secara gencar menggosipkan dirinya ada main dengan perempuan laib. Masalahnya karena Debby, si kecil itu, langsung membawa koran ke depan ayahnya dan protes, "Apa-apaan sih ini, Papa? Koran ngeributin Papa, Papa diam saja." Itu tiga tahun yang lalu, dan kini Debby semakin "dewasa" dengan persoalan seperti itu. Bagi Rhoma, setiap ada gosip tentang pribadinya, ia melakukan introspeksi. "Saya selalu bertanya kepada-Nya, apa salah saya belum bisa jadi sahabat mereka yang suka memfitnah itu?" ujarnya. Yang langsung dirasakan masyarakat, terutama di sekitar Tebet, adalah kedermawanan keluarga Rhoma. Ia banyak menyumbang untuk musala, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung. Sumbangan itu diambilkan Rhoma dari honor-honor filmnya. "Rhoma tak pernah makan dari uang film. Ia hanya makan uang dari kaset lagu," kata Haji Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Dunia film ternyata dunia yang penuh tanda tanya untuk menilai Rhoma secara utuh. Film-film Rhoma terdahulu adalah kisah tentang orang miskin, cinta yang ditolak atau sekitar itu. Tetapi dalam film terbarunya, Satria Bergitar, Rhoma seperti bermimpi. Ia tiba-tiba bermimpi menjadi nabi, dengan namanya sendiri, pada suatu masa yang tak jelas juntrungannya. Film yang payah jalan ceritanya ini terlalu sarat oleh pesan-pesan dakwah, sehingga terkesan penonton sebagai orang dungu yang harus dicekoki. Begitu kontras, Rhoma, yang sehari-hari sederhana, tak banyak bicara, dan menolak disebut sperstar, tiba-tiba "berangan-angan" sedemikian besar di dalam Satria Bergitar. Suatu hal yang sulit diterka. Apa jawab Rhoma? "Itu urusan sutradara," katanya. Tidak salah, memang, tetapi orang tahu Rhoma selalu menulis skenario untuk film-filmnya dan begitu dominan dalam menentukan jalan cerita. Mungkinkah film itu dibuat dengan pertimbangan pasar? Sampai pekan lalu Satria Bergitar memang sudah memasukkan Rp 300 juta uang dari peredaran di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Belum "di daerah pinggiran", pasaran terbesar film-film Rhoma. Tak ada film Rhoma yang biaya pembuatannya tidak kembali. Cinta Kembar, film yang tengah diproses yang melibatkan keluarga Rhoma dari adik sampai ibunya, "hanya" menelan biaya Rp 250 juta (bandingkan dengan Satria Bergitar yang memakan biaya Rp 750 juta) - tapi sudah dibeli pialang Rp 400 juta. Mungkin ini yang disebutnya rezeki dari Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini