ADALAH Irwan Susanto, alias Rhe Oen Yang, yang dengan sengaja menembak mati dua ekor bangau hitam, seekor merak jantan, dan dua ekor kijang Semuanya binatang langka yang dilindungi di hutan Purwodadi, Jawa Tengah. Tapi Irwan, yang izin berburunya sudah kedaluwarsa, pertengahan bulan lalu hanya dihukum 1 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan. Padahal, Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982 tentang lingkungan hidup memberi ancaman yang sungguh berat bagi yang merusakkan lingkungan dengan sengaja. Yaitu: pidana penjara selama-lamanya 10 tahun, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Apalagi Irwan bukannya tak tahu bahwa yang dihabisinya itu binatang yang dilindungi. Ceritanya, malam 28 Oktober tahun silam, bersama dua temannya ia pergi berburu babi hutan. Di hutan Purwodadi itu, yang luasnya 200 ha, semalam suntuk Irwan tak menjumpai buruannya. Maka, ketika subuh ia melihat dua ekor kijang, Irwan segera saja membidikkan senapan Mauser kaliber 308. Dua dari hanya 25 ekor kijang di hutan itu terkapar seketika. Irwan, 39, pemilik bioskop Siliwangi, Semarang, rupanya pemburu yang tak mudah puas. Begitu melihat dua ekor bangau hitam, ia pun men-"dor"-nya dengan Winchester kaliber 22. Burung dengan tinggi 60 cm itu mampus. Lantas Irwan masih pula menghabisi seekor merak Jantan yang bagus: tinggi 75 cm, dengan ekor sepanjang satu meter. "Padahal, kedua jenis burung itu hanya tinggal sepuluh pasang," kata Sunarno, kepala Kantor PPA Resort Semarang. Saksi Kasiyanto dan Karmoni, dari PPA Resort Semarang, memergoki perbuatan Irwan itu. "Setelah kami periksa, semua yang ditembak itu binatang yang dilindungi," kata Kasiyanto. Di pengadilan, 12 dan 13 Juni lalu, Irwan mengaku terus terang, "Saya semula hanya ingin berburu babi hutan," katanya. Tapi ia tak ingin pulang tanpa melepaskan peluru. "Saya berburu untuk menguji kemahiran saya menembak," kata anggota Perbakin Semarang sejak 1980 ini." Meski demikian, majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang, yang diketuai Tony Hartono, hanya memvonis Irwan 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan dan menanggung ongkos perkara Rp 2.000. "Ringan sekali, tidak membikin jera pemburu," kata petugas PPA. Hakim Tony mengakui bahwa putusannya itu "kurang mendidik". Staatsblad 377 Tahun 1931 yang dijadikan dasar hukum tuntutan jaksa, diakuinya ketinggalan zaman. "Tapi saya tidak bisa memutus di luar pasal yang dituntutkan jaksa," ujar Tony. Jaksa Hariri Sahlan, sebaliknya, merasa puas. Berdasarkan peraturan zaman Belanda itu, ia memang hanya menuntut Irwan 1 bulan penjara. "Itu sudah lebih baik, daripada saya menuntut denda Rp 7.500," katanya pula. Tapi, mengapa tak memakai UU No. 4 Tahun 1982 yang mengancam lebih berat? Dengan UU itu, kata Hariri, sulit membuktikan bahwa terdakwa merusakkan lingkungan hidup. "Batasan merusakkan lingkungan hidup dalam UU itu masih kabur," katanya. Ia memberi contoh: membakar hutan jelas merusakkan lingkungan. "Tapi memburu binatang yang dilindungi apakah bisa dikatakan merusakkan lingkungan?" Lagi pula, "Staatsblad itu 'kan masih berlaku. Jadi, sah digunakan," katanya. Jaksa Hariri sendlri hanya meneruskan dasar tuntutan dalam berita acara yang dibuat polisi selaku penyidik. "Undang-Undang Lingkungan Hidup itu masih mengambang," ujar sang penyidik dari Poltabes 98 Semarang, yang tidak mau disebut namanya. Staatsblad Tahun 1931, katanya, lebih gamblang menyebut ikhwal pelanggaran karena menembak binatang-binatang liar yang dilindungi. Kesan bahwa UU Lingkungan Hidup mengambang tak sepenuhnya keliru. Berbagai hal tentang perlindungan lingkungan hidup - misalnya ketentuan tentang konservasi sumber daya alam, perlindungan cagar budaya - memang masih akan diatur dalam undang-undang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini