Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prince of Persia: The Sands of Time
Sutradara: Mike Newell
Skenario: Boaz Yakin, Doug Miro
Pemain: Jake Gyllenhaal, Ben Kingsley, Alfred Molina
Kisah ini dimulai dari sebilah pisau. Pisau purba itu adalah sebuah Pisau Waktu bergagang gelas pasir yang menentukan detik-detik perjalanan dunia. Syahdan, Raja Persia Sharaman (Ronald Pickup), yang berputra dua orang, Garsiv (Toby Kebbell) dan Tus (Richard Coyle), suatu hari melihat seorang anak yatim piatu yang sigap, cerdas, lincah, berbakat bela diri dan gemar meloncat dari atap ke atap, dan sungguh berbudi. Sang Raja kemudian mengangkat sang yatim sebagai putranya. Dastan, yang tumbuh menjadi kesatria yang tampan (Jake Gyllenhaal), dipercaya menjadi panglima perang rencana penyerangan Kota Alamut yang indah.
Sang Raja hanya memerintahkan menduduki dan merebut kota itu; tapi adiknya, Nizam (Ben Kingsley), penasihat Raja, menyatakan Alamut menyimpan senjata pemusnah. Dastan malah menyelusup ke puri, menemui Putri Tamina (Gemma Arterton), yang kepentingannya melindungi sang Pisau Waktu. Jika ada yang menyalahgunakan sang Pisau, yang mampu membawa seseorang terbang ke masa lalu—cukup dengan menekan tombol di ujung gagang—dunia bisa hancur berkeping-keping.
Film yang disutradarai Mike Newell (Four Weddings and a Funeral, Mona Lisa Smile, Donnie Brasco, Harry Potter and the Goblet of Fire) ini diangkat dari permainan videogame yang sangat populer. Namun kisah purba yang dibuat relevan dengan problem masa kini itu (senjata pemusnah umat manusia, misalnya; ingat kasus weapon of mass destruction versi Dick Cheney yang katanya bertumpuk di Irak?) menunjukkan para produser dan sutradara ingin dongeng yang mengambil setting Persia ribuan tahun silam ini tetap bersikap progresif.
Lihatlah misalnya tokoh pelempar pisau Seso (Steve Toussaint), anak buah Syekh Amar (Alfred Molina), seorang tokoh yang memiliki nurani untuk mengorbankan diri menyelamatkan sang Pisau, meski dirinya harus tewas. Lalu bagaimana konsep keluarga kerajaan—yang biasanya kita kenal selalu berebut takhta—diperlihatkan sungguh kompak dan saling cinta (meski awalnya masih saling mencurigai). Jalan cerita memang dijaga agar tetap ”ramah keluarga” sembari tetap mempertahankan adegan laga yang seru, riuh, dan tidak kalah dengan gedebak-gedebuk kebisingan videogame.
Tapi yang menarik dari konsep Pisau Waktu ini (yang tampaknya menjadi salah satu inti permainan videogame itu) adalah, saat Pisau melempar sang tokoh ke masa lalu, orang yang mengalaminya bisa ”mengoreksi sejarah”. Karena itu, tokoh kita, Dastan, yang selama perjalanannya bersama Putri Tamina menyadari betapa tidak bermoralnya penjajahan, akhirnya bisa memperbaiki sejarah. Tidak hanya menemukan pengkhianat dalam kerajaannya yang membunuh ayahnya, dia juga berhasil menghalangi keinginan pasukannya menduduki Alamut.
Dastan berpidato soal kemerdekaan sebagai hak segala bangsa (pokoknya yang bagus-bagus yang ada di preambul PBB-lah), yang secara ajaib dan cepat dipatuhi oleh seluruh isi kerajaannya. Dan setelah segalanya dikoreksi dan diletakkan pada posisi yang tepat, damailah dunia, tanpa kekurangan suatu apa pun. Alangkah beresnya dunia kita jika kita memiliki Pisau Waktu. Saban kali ada kejahatan, kesengsaraan, kekejian, dan pemimpin yang lalim, kita tinggal memencet tombol pisau itu dan kita hapus darah yang telanjur muncrat.
Sebagai film musim panas untuk keluarga, Mike Newell sudah berhasil membuat sebuah film berondong jagung yang renyah, kriuk-kriuk. Tapi ya itu saja yang kita peroleh: kriuk-kriuk renyah, setelah itu selesai.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo