Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pasien-pasien Gandrik

Di Salihara, Jakarta, Teater Gandrik memparodikan penanganan korupsi.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkenalkan, Dremis, Orapas, Miwir, Nemai. Mereka pasien penghuni Panti Idola (Pandol), Kota Bulus. Inilah panti tempat perawatan keluarga-keluarga pelaku korupsi. Mereka sinting, karena mengetahui anak, suami, bapak, atau istrinya adalah koruptor.

Para pemain Gandrik menampilkan trauma mereka dengan berbagai ekspresi. Ada yang nyerocos berpidato, ada yang ingin berpuisi tapi selalu menangis, ada yang berteriak-teriak histeris. Jujuk Prabowo, yang memerankan pasien bernama Orapas, misalnya, tiba-tiba jongkok mematung.

Inilah sisi lain dari pemberantasan korupsi yang diparodikan Gandrik. Selama ini media cenderung menyorot sosok koruptor. Sedikit diekspos kisah-kisah keluarga atau kenalan mereka yang sesungguhnya tak ikut ambil bagian dalam ”pembagian rezeki” akhirnya ikut menderita. Banyak dari mereka yang ternyata terkena stroke, lumpuh, mendapat serangan jantung, shock berkepanjangan, atau mengalami gangguan jiwa.

Sesungguhnya, bila memfokuskan ini saja, pertunjukan akan terasa kontroversial. Banyak materi yang bisa diolah Gandrik secara getir atau nyinyir. Kita pernah menyaksikan Teater Koma menampilkan pasien-pasien gendeng dalam drama Rumah Sakit Jiwa. Atau menyajikan konflik di antara dua orang psikiater yang berbeda metode menangani pasien sinting dalam Ada Apa Leonardo. Gandrik memiliki peluang menggarap materi orang-orang stres secara lain. Apalagi dengan gaya khas pemanggungannya.

Namun Gandrik ingin melangkah lebih jauh dari sekadar problem kemanusiaan. Gandrik selalu ingin menyentil apa yang paling ”hot” dalam politik. Bila dilihat-lihat, pentas Gandrik amat mempertimbangkan sajian dengan berita terbaru. Saat lagi ramai masalah Rancangan Undang-Undang Pornografi, Gandrik muncul dengan Sidang Susila. Kini Gandrik ingin memain-mainkan pemeriksaan para pejabat.

Kita tertarik karena naskah Heru Kesawa Murti berjudul Pandol, katanya, dibangun dari info-info Teten Masduki, aktivis Indonesia Corruption Watch, yang memiliki banyak data off the record. Drama hampir dua jam ini menceritakan bahwa untuk mengelola Pandol ternyata uang diambil dari anggaran dinas. Bupati Kota Bulus yang mengkoordinasi.

Dua petugas pemberantas korupsi, Palaran dan Hasrat (dimainkan Susilo Nugroho dan Sepnu Heryanto), kemudian memeriksa mulai Kepala Pandol (Kusworo Bayu Aji), Kepala Dinas Pendidikan (Heru Keswa Murti), Kepala Dinas Pariwisata (Broto Wijoyanto), sampai Bupati (Butet Kartaredjasa). Di sinilah banyolan cerdas, kritis, dan bernas mengalir.

Tiap aktor Gandrik—seperti Heru Kesawa Murti—memiliki gaya atau taktik pribadi yang khas dalam memunculkan situasi banyolan. Kita sering menjumpai banyolan itu dalam drama Gandrik sebelumnya, tapi tetap segar, tak terasa membosankan. Gandrik membuktikan siasat atau taktik dramaturgi teater rakyat yang sederhana bila diolah akan berbobot kontemporer. Salah satu yang kuat adalah kemampuan Gandrik menyajikan pergantian adegan yang mengandaikan perpindahan lokasi. Terasa perpindahan seperti plot sebuah film.

Kekuatan para aktor juga ditunjukkan dengan keterampilan mereka bercanda dengan properti, baik properti yang mereka bawa maupun set panggung. Kita tertawa melihat Susilo Nugroho mengomel-ngomeli tas di punggungnya yang berisi gulungan karton putih—yang dibuat dari pralon. Adegan Butet berbantah dengan Susilo sembari menumpuk-numpuk bangku di meja juga terasa imajinatif. Dagelan walhasil bukan hanya dari bahasa tubuh antarpemain tapi dari interaksi para aktor dengan prop di panggung. Benda-benda menjadi bagian dari keaktoran.

Tapi, soalnya, akhir drama mudah ditebak. Para pemeriksa dikisahkan tidak berdaya. Bupati mampu mementahkan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bupati pun mengesahkan cara pembiayaan Pandol dengan membeli undang-undang. Dari awal, dua sosok berbalut kostum bodoran para pelawak Bali (dimainkan Citra Pratiwi dan Whani Darmawan) keluar-masuk panggung meneriakkan, ”Uang, uang.” Kita tahu: mereka parodi anggota DPR.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus