Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Ruang di Bukit Pakar

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mei 1998. Saat itu negeri ini dilanda krisis, disergap kekerasan politik. Situasi itu membuat Sunaryo membatalkan rencananya membuka museum seni. ”Rasanya aneh jika harus membuka museum seni dan ’berpameran’ di tengah situasi itu,” ujarnya.

Museum itu akhirnya dibuka empat bulan kemudian, 5 September 1998. Huru-hara politik sudah mereda, tapi hati Sunaryo belum bisa melupakan peristiwa kelam itu, seraya memamerkan karyanya. Ia minta dibelikan kain hitam 15 bal. Lukisan di ruang pameran itu dibungkusnya dengan kain hitam. Beberapa patung dibalutnya rapat-rapat, diikat, dijahit, krek…, krek..., krek…. Semua, tak terkecuali pohon kemang di halaman ruang pamer, juga sebagian temboknya.

Sejak Mei 1998, ia tak doyan makan. Tak bisa tidur dan diare. Berat badan perupa asal Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, itu turun drastis. Tak ada lagi koran ataupun radio. Sunaryo selalu teringat berita pemerkosaan, pembunuhan, dan nyawa manusia yang mudah melayang. ”Saya merasakan katarsis,” katanya. Pameran itu diberinya judul Titik Nadir.

Awal September 2008, peristiwa itu genap sepuluh tahun. Sunaryo menggelar pameran A Decade of Dedication: Ten Year Revisited. Setidaknya 35 seniman, termasuk dirinya, ikut ambil bagian dalam pameran di museum seni Sunaryo di kawasan Bukit Pakar Timur, Bandung, itu. Sebuah lokasi yang berkelok, mendaki bukit, dan terpencil dari keriuhan Bandung.

Berdiri di atas lahan 5.000 meter persegi, tempat istimewa itu ditemukan Sunaryo pada 1986. Tatkala melihat ladang jagung itu, Sunaryo memimpikan sebuah museum seni dengan ruang publik. Di situ ia bisa menyimpan dan memamerkan koleksi karya seni rupanya dan berinteraksi dengan para seniman dan khalayak. Ada diskusi, pementasan, dan komunitasnya. ”Saya bermimpi, orang-orang mengunjungi pameran, duduk di kafe sambil ngopi dan berdiskusi,” ujarnya. Meski dekat listrik tegangan tinggi, tempatnya di kawasan Ciburial enak, pemandangan bagus. Apalagi harganya murah. ”Tapi saya tak punya uang. Saya pinjam bank akhirnya,” ujarnya.

Pada 1993, Sunaryo mengajak arsitek muda Baskoro Tejo, yang pernah menjadi koleganya pada saat Expo ’86 di Vancouver, Kanada, mewujudkan impiannya. Mereka pun berdikusi, bagaimana konsep bangunan yang tak sekadar wadah tapi juga bersinergi dengan ”roh” karyanya. Kontras, terbuka, dan bersih. Juga ada sentuhan Sundanya. ”Saya pengin arsitekturnya menggambarkan keseimbangan,” ujarnya.

Akhirnya berdirilah bangunan di atas bukit itu. Ada ruang pameran, juga ruang pertunjukan amfiteater yang terbuka. Tempat duduknya dibuat undakan, menyesuaikan dengan kontur tanah beserta pemandangan Kota Bandung dari ketinggian. Ada pula bale-bale. Satu untuk diskusi dan seminar, satunya lagi khusus pameran. Lalu ada juga kafe tempat ngopi, toko buku, dan suvenir, juga penginapan seniman ”rumah bambu”. Bangunan itu diberinya nama Selasar, yang artinya beranda tempat orang duduk sambil ngopi dan ngobrol. ”Galeri itu kesannya komersial, museum itu kesannya statis,” ujarnya. Selasar, katanya, lebih relaks. Juga dinamis seperti kebudayaan.

Selasar Sunaryo Art Space bukan hanya tempat rendezvous yang nyaman bagi komunitas seni, wartawan, kurator, dan masyarakat dari dalam dan luar negeri, melainkan juga menjadi tempat para seniman berkreasi. Selasar juga menjadi bagian pengembangan riset manajemen bidang seni rupa. Juga program artist residency tingkat internasional bekerja sama dengan UNESCO. Dengan program ini, Selasar bisa mengundang seniman luar negeri untuk tinggal di Indonesia. Segala fasilitas di Bandung ditanggung Selasar. Program ini sudah berlangsung tiga kali, pada 2001-2003, dengan seniman Polandia dan Korea.

Sunaryo memang sudah telanjur menjadikan Selasar milik publik. Ia ingin karya rupanya tak hanya menjadi bagian dari kemajuan seni rupa modern Indonesia di Bandung, tapi juga menjadi satu dari sekian penanda geliat seni di Kota Bandung, seperti Jeihan, almarhum Barli, Taman Budaya Jawa Barat, Rumentang Siang, juga Galeri Sumarja Institut Teknologi Bandung.

Widiarsi Agustina dan Erick P. Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus