Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang harus dicatat dari Selasar Sunaryo adalah tempat ini memberikan yang selayak-layaknya. Ada ruang pameran seni rupa yang layak, ruang pementasan yang layak, ruang pertemuan yang layak. Secara langsung ruang itu, dengan demikian, menghargai yang bakal dipamerkan, dipertunjukkan, diacarakan di situ. Maka, sejak awal Selasar ini dibuka, 5 September 1998, sejak awal Anda menginjakkan kaki di depan gerbang halaman, Anda menjadi subyek untuk bertemu dengan subyek lain: lukisan, patung, karya drama, karya musik, puisi, karya tari, dan sebagainya yang dipergelarkan di situ.
Begitulah yang tertangkap dari buku Dedikasi Satu Dekade, tebal 188 halaman, berisikan aneka tulisan mengenai galeri itu dari para perupa, kurator, pengamat seni rupa, budayawan, dan lainnya.
Tentu, lukisan yang dipamerkan bisa dibeli. Bahkan pameran rutin Sunaryo sendiri kurang-lebih semacam gerai yang mengundang pembeli. Namun, gerai jualan ternetralisasi oleh acara lain. Secara keseluruhan ruang di sini adalah ruang Anda dan karya. Sunaryo atau Yayasan Sunaryo atau siapa pun penyandang dana itu tak tampak. Ia terasa penting tapi berada di ”belakang” dan rela ”dilupakan”. Inilah yang bisa dirasakan juga di Taman Ismail pada awal 1970-an. Juga di beberapa pusat kegiatan kesenian, misalnya di Bentara Budaya Jakarta, di Komunitas Utan Kayu, di Komunitas Salihara.
Penyandang dana yang tak tampak itulah yang membedakan pusat kegiatan kesenian seperti Selasar Sunaryo dengan, misalnya, galeri seni rupa, atau gedung pertunjukan wayang. Di sebuah pameran di galeri, betapapun bagusnya, pemilik galeri serasa tampil di semua sudut. Di sebuah gedung wayang orang, loket penjualan tiket menjadi menonjol. Demikian antara lain yang termaktub dalam buku yang dicetak khusus untuk memperingati 10 tahun Selasar Sunaryo dan diedit Hawe Setiawan, Agung Hujatnikajennong, itu.
Ini bukan soal yang satu lebih baik daripada yang lain. Masing-masing memiliki fungsi sendiri. Kesenian pun perlu pasar (galeri itu, gedung pertunjukan itu), di samping kesenian memerlukan semacam ruang laboratorium, ruang eksperimen. Ada galeri yang baik, ada yang terlalu komersial. Ada laboratorium yang buruk karena, misalnya, peranti-peranti untuk eksperimennya tak memenuhi syarat, ada laboratorium yang menyediakan apa pun yang diperlukan sebaik-baiknya. Selasar Sunaryo, sampai ulang tahunnya yang ke-10 kini kemungkinan besar telah memberikan yang sebaik-baiknya. Pada 1970-an, Taman Ismail Marzuki di Jakarta dapat dikatakan mencapai masa paling kreatif. Sesudah itu, prasarana kegiatan kesenian yang disubsidi oleh Pemerintah DKI Jakarta ini tertinggal oleh dunia di luar yang berkembang pesat—Bentara Budaya, Komunitas Utan Kayu, dan sebagainya.
Karena itulah Selasar Sunaryo, meski mahal, tidak terkesan sebagai pameran kemewahan. Ia menjadi ruang publik, tempat subyek (Anda) dan subyek lain (karya) bertemu di level yang sama. Atau meminjam kalimat Sardono W. Kusumo dalam buku itu: Selasar Sunaryo menjadi ruang publik karena ”hubungan antara individu dan publik tidak lagi berjarak”.
Sejauh ini yang menonjol dari Selasar Sunaryo, adalah seni rupanya. Mungkin karena pameran seni rupa inilah yang rutin. Pameran ini menjadi penyeimbang yang baik dari hiruk-pikuk pasar seni rupa yang diwarnai oleh akal-akalan untuk mengatrol (atau menjatuhkan) harga di lelang. Pertimbangan kurator seni rupa Selasar (Agung Hujanikajennong) benar-benar hanya soal karya, bukan yang lain. Ia tak peduli terhadap yang sedang mode. Suatu ketika ia pamerkan lukisan yang sangat biasa dalam pameran tiga perupa (Amrizal Salayan, Diyanto, dan R.E. Hartanto): pemandangan laut abu-abu dan sebagainya, ketika di luar lukisan yang sudah berjarak jauh dari ”keindahan alam” menjadi tren dan harga di lelang membubung. Catatan tentang pameran ini disertakan dalam buku ini, ditulis oleh Hendro Wiyanto.
Tak lalu kesenian lain hanya diselenggarakan untuk melengkapi Selasar. Yang saya saksikan, pementasan karya tari Sunken Sea, Juli 2006, oleh Sardono W. Kusumo. Barangkali ini karya terbaik Sardono pada 2000-an. Apalagi didukung tata panggung yang bukan hanya bagaikan karya instalasi yang megah dan mencengkam, tapi yang penting, menyediakan ruang untuk sang penari menghadirkan karyanya semaksimal mungkin. Itulah karya panggung hasil desain Sunaryo.
Juga, dari buku ini tercatat bahwa Selasar Sunaryo bukan hanya dari seniman untuk seniman. Ada foto-foto kunjungan dari anak-anak sekolah. Bukan sekadar berkunjung, ada juga lokakarya buat anak-anak mengenal membentuk dengan tanah liat, membuat gambar, dan sebagainya. Jangan pula dilupakan lokakarya kurator muda internasional yang pernah diselenggarakan juga di Selasar ini. Dengan kata lain, di sini pun pendidikan dalam makna bukan pengajaran dilakukan.
Bayangkan sebuah kota, sebuah kawasan, tanpa ruang semacam Selasar Sunaryo; bukankah itu sebuah kota yang ”kering”. Di sana kesenian bukan hanya wacana dan pergelaran serta pasar. Kesenian menjadi ada dalam hidup kita, mengembalikan dan mengasah kepekaan setiap saat. Di sana hidup menjadi berharga sekaligus selalu menyadarkan kefanaan kita. Ini perlu dijaga keberlanjutannya. Dengan kata lain, ruang-ruang seperti ini (Bentara Budaya, Komunitas Utan Kayu, Komunitas Salihara, juga Taman Ismail Marzuki) mesti dibebaskan dari ketergantungan pada individu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo