Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala

Arkeolog Lambang Babar Purnomo tewas di selokan jalan lingkar luar utara Yogyakarta. Siapa yang membunuhnya?

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Arkeolog Lambang Babar Purnomo tewas ketika menelisik pencurian arca di Museum Radya Pustaka Solo.

  • Ia mengetahui jaringan pencuri arca dan bersaksi di pengadilan.

  • Ada tiga skenario penyebab kematiannya.

SUBUH, 9 Februari 2008. Erni Permatasari bangun. Pembantu di rumah I Made Wibawa, Jalan Ring Road Utara Nomor 151, Yogyakarta, ini bersiap melakukan rutinitas pagi, menyiram bunga dan halaman. Ketika mendekat ke pintu gerbang, perempuan 22 tahun itu menangkap rintihan penuh kesakitan. "Tolong, tolong, ya Tuhan, tolooong...."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erni melongok ke jalan. Sepi. Jalan empat jalur itu masih gelap. Tapi seorang lelaki tampak melangkah bergegas. Bulu kuduk Erni seketika meremang. Ia menyangka lolongan itu hanya suara tipuan seorang perampok. Maklum, sepekan sebelumnya isi rumah sebelah habis digasak maling. Meski suara rintihan masih terdengar, Erni buru-buru masuk rumah untuk membangunkan Made. Si tuan juga ketakutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua jam kemudian, orang berkerumun di depan rumah sekaligus kantor agen perjalanan PT Dewata Lintas Nusantara itu. Polisi tampak sibuk. Beberapa orang mengangkat sepeda motor Honda Astrea 800 dari selokan. Juga seonggok tubuh lelaki separuh baya dengan darah membanjir dari balik helm cakil di kepalanya. Polisi memastikan si mati adalah Lambang Babar Purnomo.

Dia arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Lambang adalah saksi ahli kasus hilangnya enam arca batu Museum Radya Pustaka milik Keraton Surakarta. Lambang, 56 tahun, membikin heboh ketika melansir temuan fosil gading berusia sejuta tahun di rumah pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Ia menemukannya saat mengambil arca yang hilang, sebulan sebelum meninggal.

Lambang orang penting bagi Kepolisian Kota Besar Solo, Jawa Tengah, yang sedang mengusut kasus arca. Sebagai arkeolog senior, matanya tajam menyigi keaslian sebuah benda purba.

Benar ada banyak arkeolog di Balai Pelestarian. Tapi hanya dia yang gigih membongkar kasus itu. Dan rupanya Lambang menyimpan rahasia. Diam-diam, ia mengusut kasus lain yang lebih dahsyat: hilangnya 52 koleksi arca perunggu kuno senilai hampir Rp 1 triliun. Jika kasus ini terkuak, mafia transnasional perdagangan benda purbakala bisa terbongkar.

Kini, delapan bulan setelah kematiannya, polisi Sleman seolah tak bergerak. Mereka tak juga menyimpulkan apakah Lambang dibunuh atau sekadar sial jatuh dari sepeda motor. Padahal laporan visum jelas menyebutkan ia mati akibat kekerasan tumpul. Penelusuran Tempo menemukan ia diduga kuat mati dibunuh dengan cara dipuntir lehernya. "Kematiannya sebuah pesan agar kami tak mengusut penjualan koleksi museum," kata seorang penyidik benda purbakala.

•••

KAMAR mayat Rumah Sakit Umum Dokter Sardjito, Yogyakarta, banjir air mata Sabtu pagi itu. Sri Surayati Supangat, istri Lambang, terisak di samping jenazah. Empat anak mereka tertunduk di dekat pintu. Teman-teman dekat Lambang tercenung. Mereka tak menyangka orang yang bersama mereka semalam sudah tak bernyawa.

Lima jam sebelum meninggal, Lambang bercengkerama riang dengan para arkeolog di rumah Wahyu Indrasana di Piyungan, Bantul. Wahyu menggelar pesta perpisahan karena memasuki masa pensiun dari jabatan Kepala Benteng Vrederburg. Para kepala kantor purbakala dari Bali, Sumatera, dan Sulawesi datang ke rumahnya.

Menurut Wahyu, Lambang tiba pukul 00.30 dengan dandanan tak biasa: rambut klimis, kaus oranye bersalut jaket kulit, jins biru yang digulung, dan kacamata hitam. "Ia segar sekali dini hari itu," kata Wahyu, 55 tahun. Wahyu, Lambang, dan 12 peserta pesta ngobrol gayeng sampai bubar pukul 04.00.

Tak dinyana, itulah pagi terakhir Lambang. Dia bertemu dengan maut di Jalan Ring Road.

Tim forensik Sardjito memperkirakan dia meninggal pukul 04.30. Ini cocok dengan napak tilas Tempo. Dengan laju sepeda motor 50 kilometer per jam, Tempo sampai di titik maut sekitar 15 menit dengan rute yang diperkirakan sama dengan jalan yang ditempuh Lambang.

Namun hanya waktu yang tampak cocok. Kejanggalan ada di berbagai titik. Jasad Lambang tak menunjukkan wujud fisik korban kecelakaan hebat. Helmnya masih terpasang, mulus, utuh. Jaket, kaus, dan jinsnya masih tergulung menunjukkan betisnya bersih (lihat "Perlambang di Tubuh Lambang").

Seorang ahli forensik yang dihubungi Tempo menilai luka Lambang amat minim untuk seorang korban kecelakaan lalu lintas. Biasanya, kata dokter ini, luka pada korban kecelakaan tersebar di seluruh tubuh, dan khas: kulit baret atau lecet. Anehnya, "Luka Lambang terpusat di bagian kepala," katanya. "Saya kira kematiannya bukan kecelakaan murni."

Kepala, tepatnya leher, Lambang memang bagian paling parah. Tulang leher nomor dua dan empat Lambang patah. Sistem sarafnya pun rusak. Kepada wartawan seusai otopsi, ketua tim forensik Sardjito, Yudha Nurhantari, menerangkan patahnya leher itu bisa karena tiga hal: terbentur, dipukul, atau dipuntir. "Seperti di film-film itu, lo, sampai bunyi krek," katanya.

Polisi Sleman memilih kesimpulan pertama: leher Lambang oblak karena kepalanya membentur aspal. Polisi, menurut Ajun Komisaris Iqbal Yudi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sleman, telah menggelar 23 adegan rekonstruksi. Hasilnya, menurut Iqbal, semua mendukung dugaan pertama. "Ada bekas rem 12 meter putus-putus yang cocok dengan ban sepeda motor korban ke arah selokan," kata Iqbal. "Mungkin dia ngantuk."

Ngantuk? Kawan-kawan Lambang menyangsikan hal itu. "Dia biasa lembur. Saat dia pulang, kami masih tertawa-tawa," kata Wahyu. Lagi pula, jika benar kepala membentur aspal, Lambang tentunya tak sempat merintih minta tolong. Buku teks anatomi menyebutkan kerusakan pada lima ruas tulang leher teratas otomatis merusak saraf pusat, yang mengakibatkan diafragma paru-paru berhenti. Seketika. Si korban mati tanpa sempat bersuara.

Pengamatan dan wawancara dengan berbagai sumber, termasuk ahli forensik, membuat Tempo lebih setuju pada kemungkinan ketiga: leher Lambang dipuntir. Begini teorinya.

Lolongan yang didengar Erni menunjukkan saat nyungsep ke got, leher Lambang belum patah. Itu sebabnya, ia masih bisa berteriak minta tolong. Mungkinkah seseorang memuntir lehernya setelah itu? Mari kita lihat luka lain.

Ada pembengkakan pembuluh otak kiri Lambang. Mun'im Idris, ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang kami mintai pendapat, menyebutkan bahwa pembengkakan pembuluh otak menunjukkan kematian yang cepat dan mendadak karena terhentinya pasokan oksigen. "Apalagi ada bercak darah di kelopak mata kiri," katanya.

Maka tinggal kemungkinan dipuntir yang paling cocok untuk luka mematikan di leher itu.

Luka paling janggal adalah robeknya pelipis kanan sepanjang 10 sentimeter. Dari mana asal luka itu, polisi tak bisa menjawab. Luka itu rapi dan aneh. Kenapa pelipis robek, sedangkan helm masih terpasang? Apalagi tak ditemukan benda tajam apa pun di selokan. "Tempat kejadian perkara sudah rusak," kata Iqbal. Satuan polisi lalu lintas Pos Monumen Jogja Kembali yang membawa mayat Lambang ke Sardjito tak mencatat petunjuk apa pun.

Polisi pun menelusuri jejak ancaman yang diduga diterima Lambang sebelum mati. Rekaman percakapan dan pesan pendek di telepon seluler Lambang tiga bulan sebelum meninggal dibongkar. "Tak ada yang mengarah ke teror," ujar Iqbal. Menyadap telepon kolega almarhum juga nihil. "Kami sudah buntu," Iqbal menambahkan.

•••

PERTANYAAN berikutnya siapa yang membunuh Lambang? Seorang reserse berkata kepada Tempo, "Itu urusan lima menit, jika mau," katanya. Polisi bisa melacak identitas lelaki-bergegas yang dilihat Erni pagi itu. "Saya heran, ada orang minta tolong, kok, dia malah jalan buru-buru," kata Erni.

Namun urusan lima menit itu rupanya tak juga dilakukan polisi. Beberapa kolega Lambang, para penyidik benda purbakala, pun mengeluh. "Tak ada perintah menyelidiki kasus yang terkait dengan Lambang." Walhasil, sejauh ini, pernyataan "kami buntu" yang dilontarkan polisi memang terjadi secara harfiah. Pesan kematian itu benar-benar sampai.

Sumber-sumber Tempo yakin Lambang dibunuh karena upayanya membongkar kejahatan menyangkut benda purbakala. Ia dikenal vokal, tak kenal kompromi, dan berani. Publikasi soal stegodon, rekomendasinya tentang pemugaran situs Ungaran, dan kegigihannya membongkar pencurian koleksi Radya Pustaka adalah sederet aktivitas Lambang sebelum meninggal.

Rekomendasi Lambang hampir menghentikan alih fungsi situs Sarkostik di Ungaran, Semarang. Padahal alih fungsi gedung kesenian bikinan Belanda pada 1910 itu menjadi mal sudah berjalan. Pemugaran pun sempat mangkrak. Departemen Kebudayaan kemudian memutuskan pembangunan mal jalan terus asalkan gedung utama tak diusik. "Urusan sarkostik sudah beres," kata Dede Odi, Direktur Umum PT Hardas Bangun Persada, kontraktor proyek.

Ada yang menduga pembunuh Lambang kelompok runner yang tak mau bisnisnya diusik. Runner adalah sebutan khas di dunia arkeologi untuk makelar. Posisinya ada di antara pemilik barang, galeri, balai lelang, dan kolektor.

Sebagai operator lapangan, runner menggarap semua pekerjaan "kotor", mulai membayar informan, memalsukan barang, menyuap pamong, memberi polisi amplop, jika perlu "membungkam" pihak-pihak pengganggu. Pendeknya, runner bertugas menjamin benda kuno sampai dengan aman ke tangan kolektor (lihat "Perkenalkan, Indonesia Jones").

Lambang bukan tak sadar ia bisa terjepit dalam pelbagai kepentingan dalam mata rantai itu. "Aku sudah siap dengan segala risiko," katanya kepada Andrea Amborowatiningsih. Andrea, 25 tahun, bekas pegawai Radya Pustaka yang melaporkan hilangnya koleksi museum ke Balai Pelestarian.

Jika sedang rungsing, Lambang kerap merutuk. "Wis gendheng kabeh," katanya. Andrea juga mengenang, Lambang mengaku sering mendapat ancaman lewat telepon. Tapi ia tak pernah mau mengaku siapa pelakunya. "Dia cuma bilang teman dari Yogya, Solo, Jakarta," kata Andrea. Lambang mencoba mengatasinya dengan mengganti nomor telepon seluler.

Sejak pulang mengambil lima arca dari rumah Hashim di Jakarta, perangai Lambang yang suka guyon sedikit berubah. "Guyonnya sering garing," kata Andrea. Namun Lambang tetap Lambang. Tanpa ragu dia melansir temuan fosil gading purba dan 21 arca tak berdokumen di rumah Hashim.

"Saya beli fosil itu dari kolektor fosil kayu asal Pondok Gede, Jakarta Timur. Namanya Ibu Ipung Muryadi," kata Hashim kepada Tempo, Februari lalu. Ia mengaku membeli fosil 4,5 meter itu karena khawatir benda bersejarah itu lari ke luar negeri. "Fosil itu sedang diburu kolektor Korea dan Jepang."

Ipung Muryadi, yang dimintai konfirmasi oleh Tempo, mengatakan mendapat fosil itu dari warga yang menemukannya secara tak sengaja dari Sungai Bengawan Solo. "Fosil ditemukan di luar situs yang dilindungi. Jadi statusnya bukan benda cagar budaya," kata Ipung. Ia menjual gading purba itu Rp 200 juta.

Sehari sebelum tewas, Lambang berkunjung ke Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Dia menyelisik modus pemalsuan perunggu di kalangan perajin Pasar Trowulan sekaligus melacak jalur penjualan benda kuno.

Lambang, kata Andrea, bersemangat mengungkap perdagangan arca perunggu karena ini kasus besar dalam dunia arkeologi Indonesia. Pada November 2007, inventarisasi Balai Pelestarian menemukan koleksi yang hilang sebagian besar patung langka. Dewi Cunda dan Dyani Bodisatwa Avalokiteshvara, misalnya. Patung dewi kebajikan dari abad ke-8 bertangan delapan ini hanya ada di Indonesia dan India. Seorang kolektor menaksir harga Cunda bisa tembus Rp 20 miliar di balai lelang.

Dari Trowulan, Lambang berharap mengantongi petunjuk penting. Soalnya, Heru Suryanto ketahuan meminta izin membuat duplikat koleksi perunggu ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Heru adalah terhukum penjualan enam arca dan sedang diganjar hukuman 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Solo. Jika benar Heru membikin duplikat arca perunggu, Trowulan tempatnya.

Polisi sudah menyita surat itu. Tapi Balai Pelestarian menyangkal menerima, apalagi memberi izin. "Saya tidak tahu," kata Respati Hardjayanto, Kepala Seksi Perlindungan. "Izin duplikasi mesti diajukan ke menteri." Bagian arsip Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengabarkan tak menerima surat itu.

Faktanya, koleksi perunggu Radya lenyap. "Saya kira hilangnya sekitar 2001-2005," kata Andrea. Puluhan arca itu pastilah sudah tersebar di dalam dan luar negeri. "Beberapa kolektor dari Amerika, Hong Kong, Inggris, menghubungi kami," kata seorang polisi. Mereka menanyakan berbagai hal terkait dengan keabsahan koleksi perunggu mereka.

Wali Kota Solo Djoko Widodo juga mengaku telah dihubungi beberapa kolektor lokal yang memegang patung-patung perunggu itu. "Mereka mau menyerahkan tapi minta jaminan tak diproses secara hukum," ujarnya.

Lalu siapa aktor di balik perdagangan perunggu ini? Polisi yakin salah satu pelakunya Heru Suryanto juga.

Syahdan, pada Oktober 2005, sebelum Andrea dipecat, Heru membawa seorang asing berkunjung ke Radya Pustaka untuk melihat koleksi perunggu. Andrea menolak. "Anda mesti dapat izin Sinuhun," katanya. Andrea, pekerja honorer bergaji Rp 750 ribu itu menyangka Pakubuwono XIII tak akan mengizinkan siapa pun masuk ruang istimewa itu. Ia keliru.

Si orang asing terdengar menelepon seseorang yang menjanjikan kunci ruangan segera diantar. Tiga jam menunggu kunci tak nongol juga. Esoknya Heru datang lagi dengan selembar surat berkop keraton. Isinya, meminta pengelola museum mengizinkan pria asing itu masuk. Dia disebut peneliti Oxford University, Inggris, bernama Alexander Gtz. Andrea pasrah. Sejak itu, hampir setiap bulan Heru datang untuk memotret perunggu.

Heru tak menampik cerita ini. Ia mengaku bahwa surat itu asli dari Keraton Surakarta. "Karena yang saya bawa seorang ahli, keraton juga ingin tahu kualitas koleksi museum," katanya. Gtz juga membenarkan. "Waktu itu saya menelepon Raja," katanya.

Menurut Heru, Gtz menyimpulkan sebagian besar koleksi perunggu Radya Pustaka palsu. Peneliti yang juga pedagang barang antik asal Inggris itu mengaku tak pernah datang lagi ke museum. Heru juga menyangkal jika dikatakan menjual perunggu. "Di perunggu jaringan saya kurang," katanya.

Modus menjarah perunggu diduga sama dengan modus penjarahan arca. Mula-mula Heru membawa Hugo E. Kreijger, bekas kurator balai lelang Christie, Amsterdam, ke museum. Dia terkagum-kagum terhadap arca yang dibuat pada abad ke-6 hingga ke-10 itu. "Kamu kan keluarga keraton, coba hubungi Raja, siapa tahu dia mau jual," katanya kepada Heru.

Hugo begitu percaya diri karena ia pernah menerima buku kuno dari Raja sebagai tanda persahabatan. "Keraton sudah memberi lampu hijau," Heru memberi tahu beberapa hari kemudian seperti tertuang dalam berkas pemeriksaan polisi. Strategi pun dirancang.

Heru menghubungi Kepala Museum KRH Darmodipuro alias Mbah Hadi. Kepada polisi, Hadi mengaku langsung setuju dengan rencana itu. Agar tak mencolok, arca palsu mesti dibuat dulu untuk kemudian ditukar dengan yang asli. Heru memesannya kepada perajin arca di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Beres. Ia menyerahkan Rp 535 juta kepada Hadi untuk enam arca. "Lalu saya hubungi Hugo," katanya.

Hugo setuju membelinya Rp 935 juta, dengan syarat setiap arca dilampiri dokumen. "Saya pusing membuatnya," kata Heru. Sertifikat pun dibuat dengan meniru narasi surat buku kuno persahabatan. Tanda tangan Pakubuwono pun ditiru Heru. Dia juga melampirkan surat "aspal" berkop Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang menyatakan arca-arca itu bukan cagar budaya. Selesai.

Dua bulan kemudian Hugo menghubungi Hashim. Pada 11 Maret 2007, di apartemen Hashim di London, Inggris, harga disepakati Rp 1,96 miliar. Hugo meminta Heru mengirim enam arca itu ke kantor Hashim di Mid Plaza, Jakarta. Transaksi kotor tersebut tercium setelah Andrea melapor ke Balai Pelestarian banyak arca yang tak sesuai dengan buku pedoman. Lambang dan polisi membongkarnya.

Hugo menyangkal semua cerita Heru seraya bersumpah surat-surat itu asli. "Saya berpengalaman dalam transaksi benda kuno," katanya kepada Tempo. "Jika surat itu palsu, berarti saya juga ditipu." Berkali-kali ia menegaskan bertemu dengan Raja, yang menyatakan ingin menjual pusaka keraton.

Pakubuwono XIII membantah tuduhan Hugo. "Bohong," katanya. Dia mengaku hanya sekali bertemu dengan Hugo dalam acara makan malam setelah naik takhta pada 2004. "Heru mengenalkannya sebagai pengusaha makanan," ujarnya. "Kami tak pernah bicara arca, apalagi ada hadiah segala." Tapi dia tak memungkiri harta keraton sudah lama dijual (lihat "Saya Tak Kenal Hashim").

Adapun Hashim tak segera melapor ke pemerintah telah membeli arca, seperti diwajibkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya, karena menyangka surat Balai Pelestarian itu asli. Ia percaya pada reputasi Hugo. "Kalau Heru yang menawarkan, saya pasti tak mau beli," kata Hashim.

Lalu benarkah dalang pemalsuan surat dan arca itu hanya Heru? Beberapa kolektor menilai Heru pasang badan untuk melindungi Pakubuwono XIII dan jaringan perdagangan benda purbakala yang lebih luas. "Dalam dunia arkeologi, Heru itu runner kelas kakap," kata seorang kolektor.

Entah siapa yang dilindungi Heru. Yang jelas, kematian Lambang sebuah pesan agar jaringan perdagangan benda kuno tak diusik. Pesan yang, sayangnya, berhasil membuat para penyidik benda purbakala jeri. "Ada yang ganti nomor telepon, ada yang susah dihubungi," kata seorang sumber.

Untunglah, pesan maut tidak menghanguskan seluruh harapan. Pekan lalu, Kepala Kepolisian Kota Besar Solo Komisaris Besar Akhmad Syukrani mengatakan polisi bersiap mengusut penjualan perunggu. •••


Tiga Sekongkol di Keraton Solo

PERKAWANAN itu berawal dari perkenalan Heru Suryanto dengan seorang kolektor artefak asal Belanda, Hugo E. Kreijger, di balai lelang Christie, Amsterdam, Belanda, pada 2003. Heru adalah "orang dalam" Keraton Solo, yang memiliki akses ke Museum Radya Pustaka yang dipimpin KRH Darmodipuro. Seperti ikan menemukan lubuknya, Kreijger menjadi makelar artefak koleksi keraton yang didirikan pada 1745 itu.

2004
11 Juni
Raja Keraton Solo, Sunan Pakubuwono XII, mangkat.

26 Oktober
Hangabehi naik takhta, bergelar Pakubuwono XIII. Heru memperkenalkan Kreijger kepada Pakubuwono XIII.

2005

Oktober
Heru tak cuma berkawan dengan Kreijger. Ia juga berteman dengan Alexander Gtz, pedagang barang antik Asia dari London, Inggris. Atas izin Raja, ia membawa Gtz memotret koleksi patung perunggu di Museum Radya Pustaka.

Oktober
Pengusaha Hashim Djojohadikusumo berkenalan dengan Kreijger di balai lelang Christie, Amsterdam.

2006
Januari
Heru datang lagi ke museum ditemani Kreijger melihat koleksi arca batu.

Februari
Heru menemui KRH Darmodipuro, Kepala Museum, menyatakan ingin memiliki enam arca koleksi museum.

Juni
Heru memalsukan Ciwa. Tiruannya diserahkan ke museum, yang asli dijual kepada Kreijger Rp 80 juta berikut surat pengesahan dan pernyataan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala bahwa arca itu tak termasuk benda cagar budaya. Ia memberi imbalan Rp 35 juta kepada Darmodipuro.

Juli
Heru memalsukan arca Nandisawahamurti. Arca aslinya dijual kepada Kreijger Rp 150 juta. Imbalan untuk Darmodipuro Rp 90 juta.

September
Giliran arca Durga Mahisaasuramardini dan Agastya dipalsukan Heru. Heru membeli Durga dari Darmodipuro Rp 80 juta dan menjual kepada Kreijger Rp 125 juta. Untuk arca Agastya ia membeli Rp 90 juta dan menjualnya Rp 150 juta.

Oktober
Andrea Amborowatiningsih, kala itu pegawai lepas Radya Pustaka, menemukan pemalsuan itu. Ia melaporkannya ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Jawa Tengah. Ia juga melihat warna arca Ciwa dan Durga Mahisaasuramardini berubah.

November
Heru memalsukan arca Durga Mahisaasuramardini dan membeli yang asli dari Darmodipuro Rp 200 juta. Kepada Kreijger ia menjualnya Rp 270 juta. Sesudah itu, ia melakukan hal yang sama pada arca Mahakala, yang dibeli Rp 100 juta lalu dijual ke Kreijger Rp 150 juta.

Desember
Kreijger menemui Hashim di London dan menawarkan arca kuno milik Pakubuwono XIII yang akan dijual ke luar negeri. Hashim setuju membeli lima arca (minus Mahakala) US$ 100 ribu (Rp 940 juta) untuk menyelamatkan artefak bersejarah tersebut.

2007
Mei
Heru mengirim enam arca ke kantor Hashim di Mid Plaza, Jakarta.

24 November
Balai Purbakala Jawa Tengah mendata koleksi Museum Radya Pustaka. Lebih dari separuh koleksi museum sudah hilang dan dipalsukan, terdiri atas 7 arca batu, 6 keramik, 52 patung perunggu, dan 24 manuskrip.

Desember
Polisi Solo menetapkan Heru, Kreijger, dan Darmodipuro sebagai tersangka perdagangan ilegal benda purbakala.

2008
9 Januari
Lambang Babar Purnomo, Ketua Kelompok Kerja Perlindungan di Balai Purbakala Jawa Tengah, mengambil arca dari rumah Hashim.

28 Januari
Pemeriksaan forensik menyimpulkan dokumen keenam arca yang dikeluarkan Balai Purbakala serta stempel dan tanda tangan Pakubuwono XIII dipalsukan Heru.

6-8 Februari
Lambang bersama pejabat Balai Purbakala Jawa Tengah berkunjung ke Balai Purbakala Mojokerto, Jawa Timur. Lambang memakai kesempatan ini untuk menemui pemalsu patung perunggu di Trowulan, dalam upaya melacak raibnya 52 patung perunggu dari Radya Pustaka.

9 Februari
Lambang menghadiri pesta perpisahan Wahyu Indrasana di Piyungan, Yogyakarta, yang pensiun sebagai Kepala Benteng Vrederburg. Pulang dari pesta menjelang subuh, Lambang kemudian ditemukan meninggal di selokan jalan lingkar luar utara Yogyakarta.

30 Juni
Heru dan Darmodipuro dihukum satu setengah tahun penjara. Kreijger tak tersentuh, karena keburu pulang ke Belanda.

Sumber: Surat dakwaan Heru Suryanto, wawancara, BP3

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala"

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus