Sehelai koran dan sebuah kursi. Betapa sedikitnya "aksesori" yang diperlukan Theodore Sumartana untuk berpamitan kepada dunia. Kematian menjemputnya tiba-tiba. Begitu tiba-tiba sehingga dia tak perlu berurusan dengan dokter atau ampul-ampul suntikan. Sumartana tengah membaca koran di sebuah kursi ketika serangan itu membuat jantungnya bergemuruh. Teman-temannya mengira ia tengah tidur karena mereka mendengar suara dengkuran. Sesaat kemudian, tangannya terkulai, tubuhnya melorot dari kursi. Dalam hawa petang hari yang sejuk di Gadok, Bogor, Sumartana mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan.
Teolog ini meninggalkan keluarganya, teman-temannya, karya-karyanya, dan masa hidup yang belum larut: 59 tahun saja. Dan seperti setiap penabur yang baik, dia membuat orang merasa kehilangan terhadap benih-benih yang pernah dia tebarkan. Rasa kehilangan itu berdenyut dalam setiap ruang yang merindukan kehidupan yang damai, bertoleransi, jauh dari aneka macam prasangka agama.
Sumartana adalah tokoh pluralis sejati. Dia mendirikan dan memimpin Yayasan Dialog Antar Iman (Dian)/Interfidei?sebuah lembaga yang bergerak di bidang dialog antaragama. Dia menginvestasikan ideologi kerukunan itu pada hal-hal kecil yang nyaris luput dari perhatian orang.
Dua tahun silam, dalam perayaan Natal di kantor Interfidei di Yogyakarta, Sumartana mengundang Musa Ansyari. Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga ini memang teman lamanya. Perjamuan Natal sudah siap disantap. Dan Sumartana meminta Musa membacakan doa perayaan sekaligus membuka perjamuan malam itu. "Pluralisme tidak hanya dipahami Tono secara konsepsional, tapi dipraktekkan dalam hidup yang sebenarnya," ujar Musa.
Lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 15 Oktober 1944, Sumartana menyelesaikan sarjana theologinya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada tahun 1972. Studi dialog antaragama dia tekuni selama setahun di Jenewa. Ayah tiga anak ini kemudian menyelesaikan pendidikan doktornya di Freij Universiteit Jurusan Misiologi dan Perbandingan Agama. Tesis doktornya berjudul Mission at The Cross Road.
Berbagai fenomena "persimpangan" sebetulnya dihadapi Sumartana dalam hidupnya. Toh penganut Protestan yang taat ini selalu tenang memilih jalan?termasuk jalan yang barangkali tidak populer. Sekadar contoh: tatkala kelompok Salamullah yang dipimpin Lia Aminuddin membentuk komunitas keagamaan di Megamendung pada tahun 2001, berbagai kecaman mengalir.
Lia dan para pengikutnya mencukur rambut dan "membakar" seluruh tubuh sebagai upaya pensucian diri. Beberapa pemuka agama menilai aliran ini menyesatkan dan memperbudak spiritualitas. Warga di sekitar menyerbu vila itu dengan golok dan arit. Namun Sumartana melihat bahwa aliran yang sedemikian dikecam ini mengandung unsur positif karena menerapkan toleransi di antara pemeluk agama.
Arief Budiman, teman lamanya dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, melukiskan almarhum sebagai sosok intelektual yang antikemapanan. Sifat itu, menurut Arief, sudah muncul sejak di masa kuliah.
Pemimpin Perusahaan TEMPO, Zulkifly Lubis, mengenang Sumartana sebagai orang yang selalu optimistis akan kehidupan damai di antara umat beragama. Sebagai sesama pendiri Interfidei, keduanya kerap mendiskusikan hal itu. "Dia yakin tak akan pernah ada jalan buntu selama masih ada dialog," ujar Zul.
Sumartana juga memberikan banyak perhatian kepada masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, dia meninggal dalam sebuah pertemuan yang membahas hal itu. Di Gadok, sebetulnya Sumartana tengah mengikuti acara internal Demos?sebuah lembaga swadaya masyarakat yang melakukan kajian demokrasi dan hak asasi. Dia ikut merumuskan rencana strategis organisasi tersebut untuk tiga tahun ke depan.
Pada waktu jeda, sembari bercengkerama dengan rekan-rekannya, dia menjangkau selembar koran dan mulai membaca. Lalu datanglah serangan itu, yang menyetop degup jantungnya.
Dalam sebuah peti berwarna cokelat tua berukir yang dipelitur halus, jenazahnya dibaringkan. Beberapa kuntum anggrek dan daun evergreen mempercantik alas tidurnya yang putih gemilang. Dia dibawa dengan ambulans ke Salatiga pada Jumat malam. Para handai-taulan dan keluarganya mengiringi perjalanan akhirnya ke Pakem, Yogyakarta, tempat jasadnya disemaikan.
Dari tanah kembali ke tanah. Dari debu ke debu. Theodore Sumartana menemukan jalan pulang kepada Ilahi dengan cara yang penuh anugerah: sederhana dan dikitari sahabatnya.
Hermien Y. Kleden, Edy Budiarso (Jakarta), Sohirin (Salatiga)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini