Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Secuplik Musik yang Bikin Berisik

Film Ekskul dibatalkan sebagai film terbaik. Ini keputusan yang menggemparkan.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH gebrakan dilakukan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dua pekan silam. Melalui secarik surat keputusan tertanggal 15 Juni 2007, lembaga tertinggi perfilman nasional itu membatalkan Piala Citra Utama Film Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2006 untuk film Ekskul produksi PT Indika Cipta Media.

Selain ditanggalkannya gelar film terbaik, gelar sutradara terbaik yang semula diberikan kepada Nayato Fio Nuala juga dicopot.

”Ini kejadian pertama dalam 42 tahun penyelenggaraan FFI,” ujar Ketua BP2N Deddy Mizwar. Adapun dua piala lain yang diperoleh Ekskul untuk editor terbaik (Azis Natandra) dan penata suara terbaik (Badiel Revaldo) tetap diperbolehkan pada tempatnya, tak diutak-atik.

Sekadar mengingatkan, kontroversi Ekskul meletup pada akhir tahun lalu ketika dewan juri yang terdiri dari Rima Melati (ketua), Noorca Massardi, W.S. Rendra, Remy Silado, Embi C. Noer, Chaerul Umam, dan Eddy D. Iskandar, memenangkan film itu atas pesaing utamanya Denias, Senandung di Atas Awan. Sesungguhnya itu kejutan ”kedua” dari dewan juri, setelah daftar unggulan film terbaik yang mereka keluarkan tak mencantumkan Berbagi Suami dan Opera Jawa—dua film yang justru kerap diputar di festival internasional.

Jika gagalnya dua judul terakhir tak memantik kontroversi lanjutan, lain halnya dengan kemenangan Ekskul yang dengan cepat mengobarkan rasa penasaran banyak pihak. Toh saat itu Noorca Massardi yang menjadi sekretaris dewan juri dengan sigap menyodorkan argumen. ”Kaget? Tontonlah Ekskul, tanpa prasangka,” ujarnya di depan para wartawan seusai pemberian piala, 21 Desember 2006. Jadi, marilah sejenak kita pindai isi ceritanya.

Ekskul berkisah tentang kehidupan seorang siswa SMA bernama Joshua yang sering dikasari orang tuanya di rumah. Di sekolah ia menjadi bulan-bulanan sebuah kawanan geng yang gemar memukulinya hampir tak kenal waktu. Di puncak kekesalannya, Joshua memilih melakukan perlawanan dengan cara menyandera teman-teman sekolahnya di salah satu ruang sekolah, termasuk mantan pacarnya yang jelita.

Meski cerita yang ditulis dramawan senior Eka D. Sitorus itu diklaim berasal dari kisah nyata, agak sulit juga membayangkan bahwa kenekatan itu terjadi di salah satu SMA di pojok negeri ini. Dan rupanya tak semua sineas dan penonton sepakat dengan Noorca. Bukan menyangkut ide cerita atau visualisasi gambar film tersebut—yang di beberapa bagian harus diakui terlihat bagus—melainkan pada ilustrasi musik. Ditemukan indikasi pelanggaran hak cipta yang serius, karena Ekskul banyak mencuplik (bukan menjiplak) musik dari film ternama seperti Bourne Supremacy, Man on Fire, Gladiator, Munich, House of Flying Daggers, sampai film Korea Tae Guk Gi. Sebagai contoh, dari Gladiator yang dipakai adalah komposisi ”Elyseum” karya Hans Zimmer. Sedangkan dari Munich, komposisi ”Remembering Munich” gubahan komponis kondang John Williams dicangkok sekitar 40 detik dari versi aslinya.

Temuan itu menjadi salah satu perekat terbentuknya Masyarakat Film Indonesia pada 3 Januari 2007, yang dimotori antara lain oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. MFI menjadi kelompok yang paling vokal menyatakan ketidakpuasan atas hasil FFI sekaligus menyatakan beberapa poin kritik terhadap sistem perfilman di Indonesia. Sepekan kemudian, terjadi pengembalian 30 Piala Citra dari para sineas yang merasa kecewa terhadap kondisi dunia film Indonesia, termasuk Deddy Mizwar, yang saat itu belum menjadi ketua BP2N.

Ketika terjadi pergantian anggota BP2N untuk periode 2006-2009 pada April lalu, Deddy yang didapuk sebagai ketua—menggantikan Djonny Syafruddin—memilih melakukan pertemuan maraton dengan banyak pihak untuk menuntaskan problem yang terkatung-katung itu. ”Misi FFI adalah untuk menjadikan film Indonesia memiliki kedudukan terhormat di dalam negeri dan mancanegara,” ujarnya mengutip Pasal 3 ayat 2 yang menjadi Pedoman Penyelenggaraan FFI 2006. ”Tapi bagaimana bisa terhormat bila pelanggaran hak cipta yang serius malah dibiarkan?” tuturnya lagi.

Penelusuran Tempo menunjukkan pihak Universal Music sebagai pemegang hak cipta karya musik Gladiator dan Munich menjatuhkan penalti US$ 117 ribu (sekitar Rp 1,053 miliar) kepada Ekskul untuk penggunaan dua potong komposisi itu. Entah mengapa justru Nayato, dan bukan pihak Indika Entertainment, yang mengajukan kesediaan untuk membayar penalti itu Rp 100 juta atau 9,5 persen dari total penalti yang diajukan.

Sayangnya Nayato, yang juga memakai nama Koya Pagayo atau Pingkan Utari dalam filmnya yang lain, memilih bungkam sejak kasus ini meletus ke permukaan. ”Sebelum surat keputusan itu keluar, saya bertemu Nayato. Dia justru berterima kasih dengan keputusan ini karena selama enam bulan terakhir dia depresi berat,” kata Deddy dalam keterangan pers di Gedung BP2N, Kamis silam.

Salah seorang motor MFI, Riri Riza, menyambut pembatalan itu dengan bersemangat. ”Pembatalan Piala Citra Utama untuk Ekskul menyelamatkan wajah perfilman Indonesia,” katanya. Ia melihat hal ini sebagai sinyal positif bagi dialog antarinstitusi perfilman di Indonesia, terutama bagi hubungan tegang MFI-BP2N yang sempat tercipta pada awal kontroversi. ”Bagi saya, yang digugat bukanlah keputusan dewan juri melainkan filmnya sendiri. Keputusan dewan juri yang menjadikan Ekskul sebagai film terbaik akan tetap menjadi sejarah perfilman Indonesia,” ujar sutradara 3 Hari untuk Selamanya ini.

Lain halnya dengan komentar Shanker Rs., produser Indika Entertainment, yang memproduksi Ekskul. ”Tahun lalu kehormatan dewan juri dibela, sekarang malah tidak. Ada apa ini?” tanyanya kepada Tempo. Ia menduga ada kepentingan lain yang bermain di BP2N. Maksudnya? ”Anggota BP2N yang sekarang banyak produser dan sineas, sehingga mungkin ada agenda lain dari pembatalan ini. Anda paham ya maksud saya?” ujar Shanker menolak menjelaskan lebih jauh. Tak jelas siapa yang dimaksud oleh Shanker, tapi dari 22 anggota BP2N periode ini selain Deddy Mizwar adalah Chand Parvez Servia, Raam Punjabi, Slamet Rahardjo Djarot, Yenny Rahman, El Manik, dan Zairin Zain. ”Tapi sudahlah, sekarang saya tak mau lagi dipusingkan dengan urusan Ekskul. Konsentrasi saya hanya untuk membuat film yang bisa ditonton jutaan orang,” ujar Shanker.

Remy Silado, salah seorang anggota juri, mengaku tak memahami logika keputusan BP2N. ”Sejak awal sikap saya sudah jelas, buktikan dulu di pengadilan tuduhan pelanggaran hak cipta itu, tak bisa hanya dengan klaim satu pihak,” ujarnya.

Noorca Massardi lebih jauh lagi menanggapi tentang standar universal mengenai tak bisa diganggu gugatnya keputusan dewan juri. ”Itu berarti SK tersebut dibuat di luar kewenangan BP2N, tidak mempunyai dasar hukum, dan pihak-pihak yang terkena pembatalan tidak perlu menggubrisnya karena tidak ada dasar dan sanksi hukum apapun,” tuturnya.

Tapi argumen Noorca itu ditepis Deddy dengan menunjuk Pasal 11 ayat 4 dan 5 dari Pedoman Pelaksanaan Festival Film Indonesia 2006 sebagai dasar pijakan. ”Pemenang Citra dapat dibatalkan haknya bila di kemudian hari terbukti melakukan pelanggaran persyaratan,” ujar Deddy mengutip pasal tersebut, ”dan pembatalan dilakukan oleh Ketua BP2N setelah mendengar saran dan pendapat panitia yang dibentuk untuk itu.”

Namun, bagi Remy, jawaban itu tetap belum memuaskan. ”Apakah disebutkan jenis pelanggaran persyaratan itu di dalam Pedoman Festival? Kalau masih belum ada perinciannya, justru itu yang harus diuji di pengadilan, supaya jelas bagi semua pihak,” katanya.

Sampai di sini Ekskul sudah berhasil menjadi ”ekstrakurikuler” yang membuat berisik para ”murid” Sekolah Film Indonesia: dari para relawan hingga para begawan.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus