Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sejarah Malin Kundang: Cerita Rakyat Tentang Anak Durhaka dari Sumatera Barat

Sejarah Malin Kundang berasal dari Sumatera Barat yang mengisahkan anak durhaka terhadap ibunya

17 Januari 2023 | 21.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Anda pasti tak asing dengan cerita Malin Kundang. Legenda ini kerap menjadi materi pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berkembang karena adanya suatu peristiwa atau fenomena alam. Malin Kundang sendiri dikenal sebagai anak durhaka yang dikutuk oleh ibunya.

Sejarah Cerita Rakyat Malin Kundang


Setiap legenda atau cerita rakyat biasanya identik dengan daerah tertentu, termasuk Malin Kundang. Legenda Malin Kundang berasal dari Sumatera Barat. Cerita rakyat ini awalnya berkembang karena terdapat suatu batu menyerupai seorang laki-laki sedang bersujud di Pantai Air Manis, Kota Padang. Lokasi itu kini diabadikan sebagai obyek wisata.


Isi Cerita Rakyat Malin Kundang


Cerita Malin Kundang berawal dari adanya seorang ibu dan putranya yang tinggal di pesisir pantai. Ibu dan anak itu bernama Mande Rubayah dan Malin Kundang. Mereka hidup serba kekurangan lantaran sang ayah tak kunjung kembali dari perantauan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Mande Rubayah harus menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi anak sematawayangnya. Sehari-hari, mereka bermatapencaharian sebagai nelayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sering beranjak dewasa, Malin Kundang mulai tak merasa cukup dengan kondisinya saat itu. Ia pun meminta izin kepada Mande Rubayah untuk merantau. Malin Kundang mendengar ada peluang untuk menjadi kaya raya di suatu daerah tersebut.


Mande Rubayah awalnya menolak niat Malin Kundang. Ia khawatir Malin Kundang tak akan kembali seperti ayahnya. Namun, Malin Kundang terus meyakinkan sang ibu bahwa ia bakal pulang ketika sudah sukses di tempatnya merantau.


Sebagai seorang ibu, Mande Rubayah tidak tega jika terus menghalangi impian anaknya. Mande Rubayah akhirnya mengizinkan Malin Kundang untuk merantau. Tanpa pikir panjang, Malin Kundang segera mempersiapkan diri dan pergi ke tujuan rantaunya.


Tahun demi tahun berlalu, Mande Rubayah hidup menua sebatang kara. Ia terus menunggu kabar dari Malin Kundang. Suatu saat, warga setempat membawa kabar burung soal Malin Kundang yang telah menjadi pria mapan dan menikah dengan wanita keturunan bangsawan.


Mendengar hal itu, Mande Rubayah senang bukan main dan terus menunggu kepulangan Malin Kundang ke kampung halaman. Hingga pada akhirnya, ada sebuah kapal besar menepi di Pantai Air Manis dekat tempat tinggal Mande Rubayah.


Turunlah seorang suami dengan istrinya yang tengah hamil. Mereka pergi ke Pantai Air Manis untuk berlibur. Warga yang takjub berbondong-bondong menghampiri kapal besar milik orang kaya itu, termasuk Mande Rubayah.


Tak perlu waktu lama, Mande Rubayah langsung mengenali raut wajah pria kaya raya tersebut. Itu adalah Malin Kundang. Mande Rubayah menangis haru sembari menghampiri Malin Kundang, memeluknya, serta menyampaikan rasa syukur atas kepulangan anaknya tersebut.


Namun di depan sang istri, Malin Kundang malu untuk mengakui Mande Rubayah sebagai ibunya. Mande Rubayah berpenampilan kumal dan lusuh. Malin Kundang pun mendorong Mande Rubayah hingga tersungkur dan berkata, “Kau bukan Ibuku!”


Tangis haru Mande Rubayah berubah menjadi sedu sedan, tak menyangka bahwa anaknya kini telah menjadi durhaka. Mande Rubayah sakit hati atas perlakuan Malin Kundang dan berdoa kepada Tuhan agar anaknya itu dikutuk menjadi batu.


Petir kemudian menggelegar, ombak berderai kencang. Saat itu juga, Tuhan mengabulkan doa Mande Rubayah yang dizalimi oleh Malin Kundang.


Perlahan, tubuh Malin Kundang mulai berubah menjadi batu. Malin Kundang langsung menyadari perbuatannya, tetapi semua sudah terlambat. Sebelum utuh membatu, Malin Kundang bersujud ke arah ibunya dan meminta maaf.


Falsafah Minangkabau


Legenda Malin Kundang yang berkembang di masyarakat sejalan dengan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Pandangan hidup orang Minangkabau itu menunjukkan keharusan untuk memegang teguh syariat Islam, salah satunya patuh kepada orang tua.


Malin Kundang mengajarkan pentingnya menghormati orang tua. Walau ada beberapa versi berbeda dari legenda ini, pesan yang disampaikan tetaplah satu, yakni jangan durhaka kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita.

SYAHDI MUHARRAM

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus