Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sejarah Mural di Indonesia dari Merdeka Ataoe Mati hingga 404 Not Found

Mural menjadi alternatif perlawanan dan protes sosial ditengah-tengah kondisi pandemi dan kualitas demokrasi yang dinilai menurun.

18 Agustus 2021 | 15.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mural bertuliskan " Tuhan, Aku Lapar " terpampang di Jalan Arya Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang yang viral. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ramai dibicarakan soal mural yang bertuliskan 404: Not Found di wajah Presiden Jokowi sebagai bentuk kritik sosial. Mural sendiri merupakan seni urban yang memanfaatkan tembok atau dinding sebagai medianya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain sebagai seni murni, mural biasanya mengandung pesan dari masyarakat urban melalui gaya bahasa visual yang mereka sajikan. Secara umum, bentuk protes melalui seni telah dimulai sejak awal abad ke-20 dan telah berkembang hingga sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sebuah Jurnal yang dimuat di Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika berjudul Street Art Sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, dan Memori Politik, Gede Indra Pramana dan Azhar Irfansyah menyebut mural atau grafiti merupakan salah satu praktik seni jalanan yang mengisi ruang publik. Karya-karya seni grafiti yang awalnya tumbuh di tembok-tembok kota ini kemudian menjadi ikon protes terhadap situasi sosial dan politik di Indonesia.

Salah satu bentuk protes terhadap ketidakadilan yang menggunakan mural adalah sketsa wajah Munir, sosok pembela Hak Asasi Manusia yang meninggal akibat diracun di dalam pesawat, karya seniman Antitank di Yogyakarta. Mural ini menjadi ikonik sebagai simbol perlawanan masyarakat sipil di Indonesia.

Tidak mudah untuk menelusuri sejarah protes menggunakan seni atau Seni aktivis karena banyak variasinya. Berdasarkan data, sejarah mencatat banyak kasus seni protes yang ditemukan pada awal 1900-an, seperti Guernica karya Picasso pada tahun 1937, yang beberapa dekade terakhir telah banyak mempengaruhi seniman mengadopsi seni protes sebagai gaya untuk menyampaikan pesan kepada publik.

Reed, T.V melalui tulisan The art of protest : culture and activism from the civil rights movement to the streets of Seattle yang diterbitkan Minneapolis, University of Minnesota Press, pada 2005, berpendapat seni aktivis penting untuk membentuk dimensi budaya dan pemahaman tentang pentingnya kekuatan politik, ekonomi, dan sosial dalam gerakan dan tindakan perubahan sosial.

Suzanne Lacy, dalam tulisannya Mapping the Terrain: New Genre Public Art, yang diterbitkan Bay Press Inc pada 1995 menyebutkan seni aktivis berawal dari iklim artistik dan politik tertentu. Menurutnya seni protes adalah media yang dapat diakses oleh semua kelas sosial ekonomi dan merupakan alat inovatif untuk memperluas struktur peluang.

Di Indonesia, kemunculan mural dapat ditemukan paling tidak sejak periode revolusi. Mural-mural ini dapat ditemukan di dinding-dinding kota wilayah Republik Indonesia yang sedang bergejolak, seperti tulisan-tulisan di gerbong kereta yang berisi seruan upaya propaganda mendukung kemerdekaan. Secara mencolok, seni protes ini menutupi dinding-dinding kota yang porak-poranda akibat perang yang berkecamuk selama aksi melawan Belanda.

Gede Indra Pramana dan Azhar Irfansyah, dalam jurnalnya menyebut jejak mural dalam sejarah panjang perjalanan Republik, dapat dilacak kehadirannya melalui coretan besar di gerbong kereta pada periode revolusi 1945-1949, “Merdeka Ataoe Mati,” yang tertulis besar-besar sebagai peringatan kedatangan kembali tentara NICA yang mengancam kemerdekaan Indonesia. Kemudian, ketertarikan kembali atas mural tidak dapat dilepaskan dari konteks runtuhnya Orde Baru, yang berkuasa di Indonesia selama lebih kurang 32 tahun.

Sejak runtuhnya Orde Baru, yang menandai dimulainya periode keterbukaan politik, muncul berbagai individu dan kelompok yang merespons era keterbukaan ini melalui karya-karya seni. Di antaranya Lembaga Kebudayaan Kerakyatan Taring Padi, dan Apotik Komik, dua kolektif seniman yang ada di Yogyakarta. Pada 1999, Taring Padi dan Apotik Komik menyelenggarakan pameran seni rupa publik bertajuk “Sakit Berlanjut” yang diselenggarakan di Malioboro, Yogyakarta.

Karya Taring Padi menegaskan aspek kolektivitas dengan pesan yang blak-blakan dan cenderung provokatif. Mereka memasang poster mural tepat di depan kantor DPRD Yogyakarta, menggambarkan sekerumunan babi yang mengenakan topi baja dan sepatu lars militer, dikerangkeng dalam sebuah usungan. Beberapa figur manusia bercaping, berkopiah, dan ada pula yang mengenakan baju kaus bertulisan “Persatuan Buruh Becak”.

Di tengah kerumunan tersebut, muncul sosok berpakaian hitam dengan balon teks berbunyi, “Koalisi rakyat sipil demokratis. Hapuskan 38 kursi gratis di MPR DPR”. Teks lain semakin memperkuat unsur propaganda dari teks ini: “Demokrasi sejati adalah tanpa militer.”

Sementara Apotik Komik berekspresi dengan menggunakan gaya visualisasi komik yang cenderung tidak konvensional. Mereka membentuk figur-figur manusia yang sudah diideformasi dari bahan karton yang digambari dengan tinta cina, sehingga menghasilkan figur yang terkesan aneh.

Individu-individu Apotik Komik inilah kemudian yang membawa mural di tembok-tembok kota Yogyakarta. “Peristiwa-peristiwa ini boleh jadi menandai napas seni publik yang muncul pada dekade-dekade berikutnya”, sebut Gede Indra Pramana dan Azhar Irfansyah dalam jurnalnya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus