Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harry Potter and The Deathly Hallows Penulis: J.K. Rowling Penerbit: Bloomsbury, London, 2007 Tebal: 607 halaman
Seolah dari kegelapan, kedua lelaki itu tiba-tiba saja muncul. Begitu saja. Dan hanya beberapa detik, sekejap, mereka langsung saja saling merentangkan tongkat sihir ke dada lawan. Ternyata, setelah sekelebat sinar berkilatan, kedua lelaki itu menghela napas lega. Mereka adalah kawan, bukan lawan. Tongkat sihir dikembalikan ke dalam jubah dan keduanya berjalan di bawah percikan sinar bulan.
”Ada berita?”
”Berita terbaik…,” jawab Severus Snape.
Inilah pembukaan buku Harry Potter and the Deathly Hallows, buku seri terakhir yang sudah ditunggu-tunggu selama dua tahun oleh seluruh penggemar fanatik Harry Potter. Begitu fanatiknya hingga sudah ada dua juta orang yang memberikan uang muka jauh sebelum buku ini diterbitkan, terutama karena pada buku ke-6 Harry Potter and the Half-Blood Prince memberikan sebuah akhir yang melukai hati pembaca. Severus Snape melontarkan ”Avada Kedabra” kepada penyihir sepuh yang baik hati, guru tua Harry Potter, Albus Dumbledore, yang langsung terjengkang. Mati. Dan kematian Dumbledore membuat Potter dan kedua kawannya, Ron dan Hermione, memutuskan untuk tidak kembali ke pendidikannya di Hogwarts. Seperti dalam kisah-kisah wayang, ada mereka yang sudah memiliki garis takdir yang tak bisa dihindarkan. Bisma harus mati di tangan Dewi Amba. Perang Baratayudha harus terjadi dan diakhiri kemenangan Pandawa. Dalam mitologi Yunani, Kassandra mendapat anugerah memiliki kemampuan melihat masa depan, tapi dia juga ditakdirkan bahwa tak akan ada orang yang percaya pada ramalannya. Begitu juga Harry Potter, ”the boy who lived” telah ditakdirkan sebagai satu-satunya penyihir yang harus berhadapan dengan Kekuatan Hitam Voldermort.
Rasa luka, penasaran, fanatisme, dan kegairahan yang gila-gilaan itu sudah terjadi jauh sebelum hari peluncuran buku itu, yakni Jumat 20 Juli lalu. Meski sudah diumumkan secara resmi bahwa hari Jumat pukul 12 malam waktu setempat, toko buku akan dibuka, toh para penggemar Harry Potter sudah mulai antre sejak Rabu 18 Juli lalu. Seperti yang dilaporkan wartawan Nezar Patria dari Tempo, puluhan orang dari penjuru Eropa, Belgia, Skotlandia, Finlandia sudah mulai mencaplok tempat di depan toko buku Waterstone, Picadilly, London. Semakin mendekati hari peluncuran, barisan antre itu semakin panjang dan mirip ular yang berkelok-kelok. Hingga dua jam sebelum peluncuran, antrean sepanjang satu kilometer itu dimulai dari Jalan Picadilly, berbelok ke Jalan Jermyn, lalu membentuk kelokan menembus Jalan Pall Mall, London. Pada pukul 11 malam, sudah sekiar 5.000 orang berkerumun menanti di depan toko buku itu. Tentu saja mereka mengenakan kostum para tokoh: Harry Potter, lengkap dengan kilat di jidatnya, Hermione dan Ron, serta Dumbledore dan juga Sang Angkara Murka Voldermort.
Lindorm Errikson, 20 tahun, datang jauh-jauh dari Stockholm karena ”kecewa dan patah hati setelah mengetahui Dumbledore tewas di buku jilid keenam.” Sembari ikut antre, gadis yang membaca Harry Potter sejak dia berusia 14 tahun itu mengaku mengharapkan tokoh Dumbledore dihidupkan kembali pada buku terakhir karya Rowling ini.
Apa yang dinyatakan Lindorm memang salah satu alasan buku ketujuh dari seluruh seri Harry Potter ini ditunggu-tunggu. Ini memang novel seri yang menggegerkan dunia karena enam seri terakhir sudah terjual 625 juta di dunia dan diterjemahkan ke dalam 64 bahasa. Adakah buku lain di dunia yang sudah ditandingi Harry Potter?
Tetapi sebetulnya bukan hanya persoalan ”duka Dumbledore”. Pada The Deathly Hallows, kepada kita disajikan sebuah peristiwa yang sudah lama dinanti-nanti; sebuah takdir yang sudah disebut sejak awal terbitnya Harry Potter and The Philosopher’s Stone, yaitu peperangan besar antara Harry dan Voldermort. Bukankah sudah diramalkan bahwa di antara mereka hanya satu yang akan bertahan?
Melihat kejamnya Rowling karena tega menewaskan tokoh-tokoh baik di setiap seri, tentu saja pembaca sangat dikuasai paranoia bahwa Harry akan kalah melawan kekuatan hitam yang memang sakti mandraguna itu. Tidak mengherankan bila pihak penerbit dan para toko buku menyediakan psikologi anak yang siap menerima keluhan anak-anak yang mungkin saja terguncang jika salah satu pujaan mereka tewas dalam buku terakhirnya ini. Bukan main!
Buku ini kini menghantar Potter mencari ketujuh nyawa Voldermort yang berhasil dibelah, dan salah satunya disimpan di dalam sebuah bandul kalung. Dalam pencarian yang panjang dan berliku ini, kita mengikuti petualangan Harry dkk tanpa dunia Hogwarts, tanpa aroma pendidikan dan minim romansa ABG. Kini Harry, Hermione, dan Ron sudah menghadapi persoalan dewasa, dunia nyata. Perang sudah dimulai! Bahkan babak satu buku ini saja sudah dimulai dengan peperangan di antara kedua kekuatan—kekuatan para penyihir putih melawan pasukan Voldermort—di langit London. Jika ingin dibuat analogi, buku ini kira-kira adalah babak Bharatayudha versi Harry Potter.
Tidak aneh jika elemen fantastis yang biasa kita peroleh dan kenikmatan dunia kanak-kanak yang membuat kita bergairah di Hogwart kini sudah terasa jauh dan minim. Kita tak lagi menikmati permainan Quidditch; atau berkenalan dengan berbagai binatang unik dan aneh di Forbidden Forrest; apalagi berhadapan dengan pohon-pohon bernyawa. Segala mantra, keajaiban, dan kekuatan sihir kini digunakan untuk bertahan, untuk hidup. Bukan lagi seperti panggung pertunjukan sulap.
Dengan Novel yang terasa sudah menjadi novel dewasa—dengan bahasa Inggris yang jauh lebih kompleks dan kosakata yang sangat kaya—Rowling tampaknya sudah siap membawa Harry Potter kepada dunia yang membuat dia menjadi ”tua” karena takdirnya untuk menyelamatkan dunia.
Tentu saja Rowling tak hanya asyik sendiri dengan pertempuran para penyihir dan strategi perang yang ruwet itu. Pada saat-saat tertentu, Rowling akan menunjukkan Harry, seorang remaja lelaki yang sungguh rindu akan ciuman Ginny, perempuan yang dicintainya. Ia terpaksa meninggalkan Ginny karena ”terlalu berbahaya jika kita berdekatan saat ini. Voldermort bisa menargetkanmu...,” katanya dengan berat hati. Pada saat lain, Harry terlempar kepada sobekan kecil kenangan ayah dan ibunya, James dan Lily Potter, yang telah mengorbankan nyawanya untuk dia. Untuk menciptakan momen yang mengharu biru seperti ini, Rowling adalah seorang master. Dia menggunakan saat dan kata-kata yang tepat tanpa memanfaatkannya menjadi cengeng.
Pertempuran akhir yang penuh misteri itu patut dibaca oleh Anda sebagai sebuah jawaban dari seluruh teka-teki yang dibangun sejak seri pertama hingga keenam. Rowling sudah menyiapkan pemenangnya sejak awal. Bagi mereka yang tak sabar, pastilah sudah mengintip bab terakhir buku ini (yang tentu saja tak boleh kami bocorkan atas nama daya kejut).
Rowling mengaku menangis tersedu setelah menyelesaikan halaman terakhir buku ini. Saya rasa, para pembacanya ikut menangis bersamanya. Setelah Harry Potter, apa lagi yang bisa membawa kita ke dunia lain yang begitu fantastis?
Leila S. Chudori dan Nezar Patria (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo