Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Si Mempu dan Si Memu

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Si Mempu dan Si Memu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ayu Utami

Saya kira, terutama sejak reformasi, fundamentalisme tak hanya menjadi gejala kelompok agama tapi juga kaum linguis. Terutama editor bahasa. Mereka mengira menemukan hukum yang lebih murni, lalu buru-buru mengubah praktik yang lazim menjadi berdasarkan pemurnian itu—seperti seorang pejabat MUI mengatakan bahwa pakaian tradisional yang menampakkan aurat sepantasnya ditinggalkan dalam museum saja.

Bahasa dan pakaian adalah kebudayaan. Dalam kebudayaan, eksekusi yang buru-buru adalah sombong dan tak bijak. Sedangkan kasus pembantaian saja bisa membutuhkan bertahun-tahun persidangan, mengapa para editor suka tergesa memancung suku kata?

Contoh yang pernah saya ajukan dalam kolom ini adalah perihal pengubahan akhiran ”kan” menjadi ”i” dalam ”memenangi pertandingan”. Dulu, Gabriella Sabatini ”memenangkan” pertandingan. Sekarang Venus Williams ”memenangi”. Amin. Sebab, demikianlah tafsir mutakhir (yang saya sesali): yang ”memenangkan” adalah juri yang menentukan pemenang, sedangkan yang ”memenangi” adalah yang menjadi pemenang. Perhatikan, bentuk ”memenangi” sebelumnya tidak lazim.

Kini, seolah-olah setiap arti hanya bisa diwakili oleh satu bentuk. Seolah, ”kan” tidak boleh memiliki dua arti atau lebih sekaligus. Catat: sikap ini, jika konsekuen, tidak mengizinkan homonimi, polisemi, maupun makna ganda (aha, betapa setara sikap ini dengan para fundamentalis!) Bambang Kaswanti Purwo, dalam kolom Bahasa! ini pula, menunjukkan salah satu kelemahan keputusan amputasi dan transplantasi ini. Saya kira, penelitian linguistik yang lebih dalam (tentang tata bahasa kasus, misalnya) akan menunjukkan betapa perubahan itu setara dengan sikap menyederhanakan, jika bukan menyepelekan kompleksitas bahasa. Sikap hitam putih hukum.

Sekarang saya ingin memberi contoh lain. Dengan kecepatan yang sama, para editor juga mengubah, misalnya, ”mempunyai” menjadi ”memunyai”, ”memperhatikan” menjadi ”memerhatikan”. Ini sejenis sikap melihat hukum umum, menafikan hukum khusus. Padahal dalam hukum ada semboyan lex specialis derogat legi generali. Atau, bahwa beberapa kitab hukum harus dipertimbangkan sekaligus. Marilah kita coba lihat kemungkinan hukum yang lain, yang membela praktik tradisional.

1) Perkara ”mempunyai” vs ”memunyai”. Pertimbangan mutakhir berdasar hukum peluluhan ”p” menjadi ”m”, seperti dalam ”me+patung” menjadi ”mematung”. Juga, ”memikirkan”, ”memagari”. Baiklah kita bertanya, kenapa selama ini ”mempunyai” lolos dari hukum peluluhan bunyi itu? Adakah semua penggunanya, nenek moyang kita itu, begitu tolol?

Saya ingin mengajukan satu tafsir. Perhatikanlah, ”ny” adalah bunyi sengau. Demikian pula ”m”. (Linguistik mengenal pembagian bunyi berdasarkan cara artikulasi.) Pemaksaan hukum peluluhan ”p” -> ”m” menghasilkan ”memunyai”, yang mengandung dua konsonan sengau berturutan yang menyebabkan pengucapan tersendat: ”memunyai”. Saya kira bunyi letup ”p” dibutuhkan untuk mempersiapkan konsonan sengau dan vokal tinggi yang mengikutinya: u-nya-i.

Jika tujuan peluluhan bunyi adalah untuk melancarkan ucapan, maka hukum ”p” -> ”m” seharusnya batal demi hukum. Kita harus kembali kepada praktik semula: ”mempunyai”!

2) Perkara ”memperhatikan” vs ”memerhatikan”. Pembelaan saya pada praktik tradisional ”memperhatikan” bukan berdasarkan hukum artikulasi atau pembunyian. Melainkan berdasarkan proses morfologi atau pembentukan kata. Sebetulnya pakar morfologi Harimurti Kridalaksana telah memerikan adanya kombinasi imbuhan ”memper”. Bukan ”memer”.

Tapi, marilah kita lihat, sebagai bandingan, perbedaan ”perumahan” dan ”pengrumahan”. Kita tidak mengenal awalan ”peng”. Apakah lantaran ”peng” tidak masuk dalam daftar awalan—me.ber.di.ke.ter.pe.per.se. itu—lantas kita membunuh kata ”pengrumahan”?

Tak seperti ”pe+rumah+an”, ”pengrumahan” datang dari dua proses. Stemnya adalah nomina: ”rumah”. Proses satu: dijadikan verba: me+rumah+kan. Proses dua: Verba ini dijadikan nomina lagi: pengrumahan. ”Ng”-nya menyerupai proses ”menghijaukan”, ”penghijauan”. Demikianlah. Kita bisa melihat ”memperhatikan” datang dari proses yang lebih bertingkat. Jelas ia tidak sama dengan ”memikirkan” di mana ”p” luluh jadi ”m”.

Praktik lama ”memperhatikan”, ”mempersamakan”, ”mempersatukan” bukan kesalahan atau ketololan pendahulu kita. Mereka adalah tertib yang lebih kompleks.

Marilah kita, para penerus mereka, jangan pongah dengan hukum secuil.

Hukum untuk bahasa. Bukan bahasa untuk hukum.

Saya tidak hendak mengajukan kebenaran saya sekarang. Saya hanya ingin agar kita bertanya dan berpikir sungguh-sungguh sebelum membunuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus