Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA tidak sedang bermimpi. Sedikitnya dua ratus gedung jangkung baru bakal berlomba merobek langit Jakarta. Puluhan menara sudah tegak menjulang setahun terakhir. Sebagian lainnya masih terus merangkak menuju puncak. Proyek properti, yang pernah lunglai terkena badai krisis ekonomi, kini tampaknya kembali perkasa.
Tak percaya? Coba saja tengok kanan-kiri sepanjang jalan Ibu Kota. Ratusan hektare lahan sudah dikapling. Crane sibuk berputar mengangkut bahan bangunan. Truk pun hilir-mudik keluar-masuk lokasi pembangunan hingga larut malam. ”Properti sedang booming,” kata Presiden Direktur Lippo Karawaci, Viven G. Sitiabudi, pekan lalu.
Tren pembangunan properti yang tengah digandrungi para taipan adalah pembangunan kawasan terpadu. Konsepnya menyatukan apartemen, kantor, hotel, dan pusat belanja. Mereka menyebutnya dengan beragam nama, dari superblok, mix use development, hingga kota baru.
Menurut pengusaha properti kawakan Trihatma K. Haliman, konsep kawasan terpadu ini bakal terus menjamur hingga lima tahun ke depan. ”Sekarang sedang tren warga back to city,” ujarnya. Pemicunya adalah sarana transportasi menuju pinggiran Jakarta yang tak kunjung beres, yang bikin hidup kian tak nyaman.
Ratusan ribu mobil yang keluar-masuk Jakarta saban hari membuat jalanan makin sumpek. Belum lagi harga bahan bakar minyak yang kian mahal, yang membuat tinggal di luar kota memboroskan waktu, energi, dan duit. ”Jadi tak ada lagi pilihan,” kata Lucy Rumantir, Chairman Jones Lang LaSalle Jakarta. ”Masyarakat urban mulai memilih tinggal di apartemen.”
Peluang inilah yang kemudian tertangkap oleh para raja properti. Apalagi tanah di Jakarta semakin sempit dan mahal. Mengoptimalkan lahan menjadi pilihan para pengusaha properti setelah krisis. Dengan menerapkan konsep superblok, para pekerja atau pebisnis yang tinggal di sini sangat dimudahkan. Mereka cukup berjalan kaki atau turun dari lift sekadar untuk berbelanja, ke kafe, ke kantor, atau menonton hiburan.
Karena itu, jangan heran jika taipan ramai-ramai turun gunung mewujudkan ”kota baru” di seantero Jakarta. Kecuali di Jakarta Timur yang daya belinya rendah, mereka menyasar tanah-tanah kosong dan strategis di Jakarta Barat, Selatan, Pusat, dan Utara. Mereka adalah Grup Lippo, Grup Agung Podomoro, Grup Bakrie, Grup Ciputra, Grup Djarum, hingga Grup Pakuwon Jati dari Jawa Timur.
Awal Agustus nanti, Grup Lippo akan memulai gebrakannya dengan peletakan batu pertama pembangunan Kemang Village. Di area seluas 12 hektare, kelompok usaha milik keluarga Riady ini tidak sekadar menawarkan hotel, kondominium, kantor, dan mal, tapi juga melengkapinya dengan Sekolah Pelita Harapan dan Rumah Sakit Siloam Gleneagles. Grup ini juga bakal menyiapkan landasan helikopter untuk memudahkan para eksekutif yang ingin tancap gas ke bandara atau kawasan bisnis lain.
Berbekal investasi US$ 880 juta atau sekitar Rp 8 triliun, grup bisnis yang dikomandani James T. Riady ini bermimpi menjadikan Kemang Village sebagai pusat komunitas internasional yang bisa menampung 10 ribu orang. ”Kami membawa konsep The Ultimate Landmark of Life Style atau simbol gaya hidup mewah,” kata Viven. Tak aneh bila harga unit apartemen yang ditawarkan mulai Rp 800 juta hingga Rp 2 miliar.
Jopy Rusli, Direktur Lippo Karawaci, berkeyakinan bisa merebut pasar kalangan atas di kawasan elite Jakarta ini. Alasannya, Lippo memiliki kelebihan yang tidak dipunyai pengembang lain. Selain aktif di proyek properti, grup ini mempunyai unit bisnis rumah sakit, sekolah, dan retail. ”Semua kelebihan itu kami satukan di sini,” ujarnya.
Meski persaingan berat, Pakuwon Jati, yang dikendalikan Alexander Tedja, rupanya cukup percaya diri bermain di selatan. Di sini, bukan cuma Lippo yang ia hadapi. Tak sedikit perusahaan asing merelokasi kantornya ke kawasan ini. ”Contohnya Dupont dan ConocoPhillips,” kata Ivy Wong, Kepala Pengembangan Bisnis Grup Pakuwon, pekan lalu.
Karena itu, setelah menerbitkan obligasi valas US$ 110 juta, Pakuwon mulai mengebut pembangunan Gandaria City di Jakarta Selatan. Proyek senilai Rp 2,1 triliun ini akan mencakup apartemen, mal, kantor, dan hotel dalam satu lokasi. ”Kami beruntung punya lokasi strategis,” ujar Ivy. ”Di sini, jalan raya bebas tree-in-one dan dekat permukiman.”
Agung Podomoro, raja properti yang melejit pascakrisis, tak ikut bermain di pinggiran Jakarta Selatan, tapi mengepung Ibu Kota dari arah barat, utara, dan pusat dengan lima proyek superblok sekaligus. ”Kami tidak bermain di selatan, tapi kami beruntung menguasai wilayah Kepala Naga,” kata Trihatma, pemilik Agung Podomoro. Ia merujuk pada Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang—menurut kepercayaan Cina—secara geografis dianggap sebagai Kepala Naga.
Di Kelapa Gading, Trihatma bekerja sama dengan Agung Sedayu membangun superblok Kelapa Gading Square dengan sepuluh tower. Salah satu andalannya di sini adalah Mall of Indonesia, pusat belanja terbesar di Jakarta. Masih di Jakarta Utara, persisnya di Pluit, ia juga menciptakan pusat bisnis baru bernama Central Business District (CBD) Pluit.
Di Jakarta Barat, Trihatma tak punya banyak lawan tanding. Di Tanjung Duren, ia merintis kawasan terpadu Podomoro City, yang menjadi pertaruhannya karena akan menjadi bendera grup bisnis ini. Dengan area seluas 21 hektare, proyek ini akan memiliki 20 gedung jangkung yang meliputi apartemen, hotel, perkantoran, dan pusat belanja.
Tempat itu akan dilengkapi pula dengan pusat hiburan, rekreasi, dan jajanan, serta perpustakaan. ”Kami alokasikan juga 1,5 hektare lahan untuk taman,” kata pengusaha yang telah membangun 50 menara jangkung pascakrisis ini. Berbagai fasilitas itu diyakini akan memikat para mahasiswa, yang menjadi salah satu target pasar Podomoro City. Jangan lupa, wilayah ini dikepung oleh 50 ribu mahasiswa dari tiga universitas, yaitu Ukrida, Trisakti, dan Tarumanagara.
Sejauh ini, empat apartemen sudah selesai dibangun dan sebagian dihuni oleh mahasiswa. Adanya jemuran di teras setiap lantai mengindikasikan bahwa hampir semua apartemen itu sudah dihuni. Dengan investasi Rp 4 triliun, ia menargetkan bisa membangun 16 menara apartemen dengan kapasitas 10 ribu unit. Sebagian besar bangunan selesai pada 2007-2010.
PERTARUNGAN sengit sesungguhnya terjadi di pusat bisnis Jakarta, seperti di Kuningan, Jakarta Selatan, dan kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Di Kuningan, sejumlah pengembang, seperti Grup Bakrie, Ciputra, Agung Podomoro, dan Pakuwon Jati, sedang berlomba mendirikan gedung pencakar langit dengan berbagai fasilitas.
Di Kuningan, Grup Bakrie akan mempersembahkan Rasuna Epicentrum, superblok terbesar di Jakarta, dengan total luas 54,7 hektare. Unit bisnisnya, Bakrieland Development, bermimpi menjadikan Epicentrum sebagai superblok kelas dunia, sejajar dengan Postdamer Platz di Berlin, Jerman, atau Orchard Road di Singapura.
Bakrie Tower, gedung meliuk 48 lantai, akan menjadi ikon Jakarta, seperti Petronas di Malaysia. Gedung andalan ini didesain oleh HOK—Hellmuth, Obata, and Kassabaum—arsitek papan atas dunia yang membuat Tuntex Sky Tower di Taiwan dan Dubai Marina di Uni Emirat Arab.
Untuk mewujudkan mimpinya, Bakrie tidak sekadar menyajikan hotel, perkantoran, pusat belanja, dan tiga tower apartemen berkelas, seperti The Grove, yang berharga Rp 16 juta per meter persegi. Kawasan ini menjanjikan gaya hidup metropolitan dan humanis karya arsitek muda, Ridwan Kamil, dari Urbane.
Rencananya, kawasan itu akan dilengkapi jalur pedestrian, gedung konser, studio TV, pusat olahraga, trem, basement terintegrasi, koridor retail untuk kafe dan resto, serta sungai yang membelah kawasan. ”Kami sedang kejar tayang.” ujar Ferry Supandji, Kepala Pemasaran Bakrie Swasakti Utama, anak usaha Bakrieland, pekan lalu. ”Pembangunan tahap pertama selesai akhir 2008 dengan investasi Rp 3,5 triliun.”
Tak jauh dari Rasuna Epicentrum, Pakuwon sedang merintis Kota Casablanca. Sedangkan di Jalan Dr Satrio, Kuningan, Agung Podomoro membuat Kuningan City dan Ciputra membangun superblok. Konsepnya tak jauh beda, pusat belanja plus apartemen, perkantoran, hotel, dan jalur pedestrian.
Persaingan jarak dekat juga terjadi di kawasan bundaran Hotel Indonesia, Thamrin, Jakarta Pusat. Di sini, raksasa rokok Grup Djarum tengah mewujudkan superblok Grand Indonesia, yang diharapkan beres tahun ini. Bank Central Asia, bank terbesar kedua di Tanah Air, akan memindahkan kantor pusatnya ke gedung ini.
Hanya sekitar 100 meter di belakangnya, berdiri Jakarta City Center (JaCC), juga milik Podomoro. Pusat belanja ini akan dilengkapi perkantoran dan tujuh menara apartemen. ”Pusat belanja boleh sepi, tapi apartemen sudah hampir ludes,” kata Trihatma. ”Dua tahun lagi, para penghuni apartemen bakal menjadi pasar utama JaCC.”
Persaingan cukup sengit, memang. Tapi Trihatma dan para praktisi properti lainnya cukup optimistis melihat prospek pasar. Menurut Lini Djafar, konsultan properti dari Provis, dari hasil risetnya diketahui pasar properti sedang naik daun, dari retail, kantor, hingga apartemen. ”Tingkat penjualan apartemen malah mencapai 94 persen pada Juni tahun ini,” kata Lini.
Ke depan, situasi itu diperkirakan akan terus berlanjut. Ini bukan saja akibat suku bunga terus turun hingga satu digit. Perubahan gaya hidup, pertambahan jumlah penduduk, dan kenyamanan tinggal di apartemen menjadi faktor kunci. ”Apalagi, dengan Rp 400-500 juta, sudah bisa beli apartemen,” papar Lucy Rumantir.
Karena itu, jangan heran jika riset Jones Lang LaSalle menyebut suplai apartemen sudah melebihi booming properti sebelum krisis. Pada 1995-1997, pasokannya hanya 16 ribu unit, sedangkan pada 2004-2006 menjadi 24 ribu unit. Dan kini, hingga 2009, sekitar 35 ribu unit apartemen siap masuk pasar Jakarta. Yang lebih mengejutkan, 65 persen di antaranya sudah laku terjual. Anda termasuk yang memborong?
Heri Susanto, Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo