"ANDA kenal Pak Dipo? Beliau baru saja meninggal di RS Pertamina." Itu diucapkan seorang wanita cantik, dalam sebuah perhelatan di Jakarta. Ahad siang lalu, kepada wartawan TEMPO yang hadir. Ketika TEMPO segera melayat ke rumahnya, di Jalan Gandaria IV Nomor 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, jenazah almarhum belum tiba. Suasana tampak hening di rumah lamanya yang sudah direnovasi, yang dihuni keluarga Brigadir Jenderal (Purn.) Gufran Dwipayana sejak 24 tahun silam. Beberapa orang mulai menggeser meja kursi, dan menggelar permadani. Sebuah dipan yang menghadap kiblat sudah pula disiapkan untuk membaringkan jenazah almarhum. Dengan wajah amat haru, namun tenang Nyonya Mimin Aminah, istri almarhum, menerima ucapan dukacita. "Maafkan kalau Pak Dipo ada membuat kesalahan di masa hidupnya. Dia sudah pasrah untuk meninggalkan kita," katanya pelan. Laki-laki kelahiran Jember 58 tahun silam, yang pecandu jogging, golf, dan tak merokok, diam-diam terserang kanker hati sejak enam tahun lalu. Ketika itu dia menggunduli kepalanya, mungkin untuk kaul. Tapi penyakit yang akhirnya merenggut jiwanya dirahasiakan, bahkan kepada keluarganya. Terkenal dekat dengan wartawan -- terutama yang meliput di Sekneg dan Istana -- dia memang tak suka menyusahkan orang lain. Sebaliknya, dia sering membantu: ya wartawan, ya seniman, ya siapa saja, dan boleh dibilang, tanpa pamrih. Bahkan tak sedikit yang ia biayai sekolahnya, ada yang sampai ke luar negeri. Dipo ikut prihatin, dan mengulurkan bingkisan, ketika sejumlah wartawan muda di bulan puasa, November 1970, menyatakan keluar dari mingguan Ekspres bersama Goenawan Mohamad dkk., kini Pemimpin Redaksi TEMPO. Semasih berpangkat ia overste, beberapa wartawan kadang sengaja memanggilnya "Kolonel Dipo". Dia pula yang pernah dijagokan di Sekneg untuk menjadi menteri penerangan. "Sudah, kalian jangan bikin isu macam-macam," katanya setengah marah kepada wartawan, lebih dari 10 tahun silam. Berhadapan dengan Dwipayana, orang tidak merasa bicara dengan pejabat. Tapi lebih sebagai teman atau kakak. Ketika melepas almarhum di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, selaku inspektur upacara, berkata, "Dalam tugas kedinasan, saya adalah atasan almarhum. Tetapi secara pribadi, almarhum adalah teman saya." Moerdiono, yang mengenal Dipo menjelang akhir 1965, merasa "sangat dekat" dengan almarhum. "Kami saling bersapa dengan panggilan akrab, melintasi batas pangkat dan jabatan. Kami saling memanggil: Bung!" katanya. Dalam usia 22 tahun, Pembantu Letnan Dwipayana menjabat kepala seksi penerangan saat TNI AD menumpas DI-TII di Jawa Barat. Ia juga menjabat redaktur koran Berita Indonesia, lalu Berita Yudha sampai 1971 semasa menjabat perwira Pusat Penerangan TNI AD. Pada 1947 dia ikut Tentara Pelajar. Lalu 1955 menjadi perwira staf penerangan Divisi Diponegoro di Semarang, sementara SMA-nya baru tamat 1957. Ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum & Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI, bersama Juwono Sudarsono, kini Dekan FISIP UI. Dan lulus, 1964, sebagai doktorandus. Ketika kapten, ia menjabat Kepala Biro Pers Pusat Penerangan TNI AD. Tahun 1966-1969 dia Wakil Aspri Bidang Media Massa. Jabatan Kepala Mass Media Dokumentasi Sekneg dipegangnya antara 1969 dan 1977. Sampai akhir hayatnya, Dwipayana adalah Asisten Menteri/Sekneg Urusan Dokumentasi dan Media Massa dan Direktur Perum Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Ketika ia mulai memimpin PPFN, 1978, keadaannya masih acak-acakan dalam segala hal, terutama disiplin. "Banyak pekerjaan tak beres karena orang cuma main perintah," tutur Dipo. Di masa ia memimpin, PPFN melahirkan beberapa karya yang disambut masyarakat. Paling menonjol serial sinetron boneka Si Unyil dan Aku Cinta Indonesia, ditayangkan TVRI sejak 1985. Terbaru adalah Keluarga Rahmat. Hanya film kartun Si Huma, agaknya, kurang mendapat sambutan. "Saya ingin produksi PPFN dianggap ilmiah dan serius," katanya menanggapi mengapa namanya selalu dicantumkan sebagai penanggung jawab setiap film produksi PPFN. Ia menunjuk film Kereta Api Terakhir, Serangan Fajar, Pengkhianatan G-30-S/PKI, dan Yuyun Pasien RS Jiwa. Film Yuyun, menurut Dipo, banyak ditonton dokter dan psikiater. "Itulah sebabnya saya menyediakan diri sebagai penanggung jawabnya," katanya dalam buku Apa & Siapa 1985-1986, terbitan PT Pustaka Utama Grafiti. Buku yang digarapnya bersama penyair Ramadhan K.H. adalah otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989. Yang tak luas diketahui orang: sebagai Sekretaris Pribadi Presiden RI, Dwipayana sering dipanggil Pak Harto. "Kami sekeluarga amat kehilangan seorang penyabar dan amat mengerti keadaan kami," kata Tommy Soeharto kepada Sidartha Pratidina dari TEMPO. Bahkan anak-anak Pak Dipo baru belakangan menyadari betapa dekatnya hubungan ayah mereka dengan Keluarga Cendana. "Saya pikir tadinya Bapak pegawai negeri biasa saja, yang berhubungan dengan Pak Harto hanya soal pekerjaan," cerita Fitri Natalia, 23 tahun, putri tunggal dari empat anak Dwipayana. Sang ayah juga tak ingin orang tahu ia bekerja di Sekneg. "Kalau kamu menulis formulir untuk sekolah, jabatan Bapak tulis saja ABRI," demikian putrinya mengenang. Empat hari sebelum wafat, Gufron Dwipayana dianugerahi Bintang Mahaputra Utama, yang disampaikan sendiri oleh Presiden, didampingi Ibu Negara, di ruang gawat darurat, tempat ia terbaring sepi. Selamat jalan, Bung. Fikri Jufri dan Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini