Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Semua Kembali Ke Pangkuan Nyai

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.,
Pengamat Seni Rupa, Penulis Buku Hanoman Keloyongan: Kisah Petualangan Pelukis Basoeki Abdullah (2015)

Glamoritas pelukis Basoeki Abdullah (1915-1993), yang pada 2015 "berusia 100 tahun", hendak dikibarkan di Indonesia. Karena itu, pada 1974, ia meninggalkan Istana Popporo, Thailand, dan pindah ke Jakarta. Namun, setiba ia di Jakarta, rumah yang siap disewa mendadak ditimpa perkara. Basoeki dan keluarganya pun terpaksa ditampung di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di Jalan Taman Suropati 1, Jakarta.

Pada minggu-minggu pertama di Jakarta, Basoeki menjumpai sejumlah hal unik. Ia melihat ada "pameran lukisan" di satu sudut Taman Suropati, di pinggiran jalan. Pameran itu tak lain jajaran lukisan kodian yang dijual. Sebagian lukisan tersebut meniru karya Basoeki, yang reproduksinya tertera di buku koleksi Presiden Sukarno. Melihat kenyataan itu, Basoeki bergumam, "Ini dia yang menyebabkan lukisan saya dikepruk oleh kritikus sebagai lukisan Taman Suropati. Bukankah justru para pelukis Taman Suropati yang meniru lukisan saya?"

Logika terbalik para kritikus itu pada beberapa dekade kemudian dikaji lebih jauh oleh pengelola dan penggerak Museum Basoeki Abdullah (MBA), yang terletak di Jalan Keuangan Raya 19, Cilandak, Jakarta Selatan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa peniruan atas karya-karya Basoeki adalah indikator bahwa karya itu begitu melekat di hati masyarakat. Sesuatu yang melekat sesungguhnya layak disebut sebagai ikon (icon), predikat untuk sesuatu yang mendapat perhatian besar dan menjadi pujaan banyak orang dalam waktu yang tak terbatas. Kajian ini lantas menginspirasi sebuah penelitian: sesungguhnya lukisan Basoeki mana yang paling dianggap ikonik oleh publik? Maka, pada medio 2012, MBA mengadakan diskusi mengenai pencarian ikon ini. Penggagasnya adalah wartawan dan pelukis Yusuf Susilo Hartono.

Pengangkatan masalah ini menyadarkan khalayak bahwa setiap seniman besar memang seharusnya memiliki ikon karya. Dan ikon itu sifatnya ditemukan lewat proses kesejarahan yang berlangsung berkurun-kurun. Bagi seniman yang sudah wafat, ikon itu akan muncul dengan sendirinya di hamparan kariernya. Seperti lukisan Mona Lisa sebagai ikon karya Leonardo da Vinci, lukisan The Night Watch sebagai ikon Rembrandt van Rijn, lukisan Sun Flower sebagai ikon Vincent van Gogh, lukisan Guernica sebagai ikon Pablo Picasso, serta lukisan Pertempuran Hidup dan Mati Banteng Melawan Singa sebagai ikon Raden Saleh. Dalam sejarah kekaryaan, ikon karya seseorang tidak hanya satu, tapi bisa beberapa karya.

Dari gagasan itu, MBA lantas mencari metode untuk meneliti ikon Basoeki Abdullah. Lewat diskusi, akhirnya terumuskan bahwa keikonan karya seseorang bisa diindikasikan hanya lewat dua alat bukti.

Yang pertama: sejauh mana sebuah karya banyak dibicarakan atau diingat oleh publik umum. Pembicaraan atau ingatan itu berangkat dari daya pikat visual, daya tarik tema, atau berbagai sensasi (intrinsik ataupun ekstrinsik) yang ditampilkan oleh presentasinya. Maka ketika kita bertanya kepada seseorang "Bila Anda mengingat sosok Basoeki Abdullah, apa yang pertama ada dalam pikiran Anda?", orang itu akan menjawab: "Anuhoo!". Seperti halnya apabila kita bertanya apa yang Anda ingat tentang The Beatles, orang akan menjawab lagu Imagine atau Let it Be.

Yang kedua: sejauh mana para pengamat, yang terdiri atas kritikus, pemerhati seni, analis seni, sejarawan seni, dan wartawan seni, membicarakan dalam medianya. Maka karya itu memperoleh legitimasi sebagai sesuatu yang populer dan berharga dalam masyarakat.

Proyek ini mendorong MBA membentuk Tim Peneliti Ikon Karya Basoeki Abdullah. Tim ini diisi oleh Drs Joko Madsono, MHum (Kepala MBA); Agus Dermawan T. (kritikus seni, penulis buku); Yusuf Susilo Hartono (wartawan, pelukis); Chandra Johan (pengamat seni); serta Maeva Salmah dan Dian Ardianto (MBA).

Lalu Tim Peneliti pun melaksanakan sejumlah kegiatan pelembagaan ikon. Pertama, berkunjung secara khusus ke Yogyakarta, yang dianggap sebagai kota seni budaya dan kota pusat seni lukis. Di kota itu, Tim Peneliti melakukan wawancara dengan narasumber umum serta sejumlah seniman dan mahasiswa seni rupa berbagai usia. Juga kepada akademikus seni yang dianggap punya referensi dan kompetensi dalam masalah karier kesenilukisan Basoeki Abdullah.

Kedua, melakukan wawancara singkat secara informal tentang hal yang sama kepada khalayak umum serta pencinta seni di Bandung, Jakarta, Solo, Surabaya, dan Bali. Ketiga, berkunjung ke Istana Presiden Bogor, yang selama ini paling banyak menyimpan lukisan Basoeki Abdullah (sekitar 120 lukisan). Kunjungan ini bertujuan mencari penegasan visual dan komparasi. Keempat, melakukan penelitian lewat kliping majalah, koran, dan buku yang terbit pada 1940-2000 yang di dalamnya memuat berbagai artikel tentang atau menyentuh Basoeki Abdullah dalam bentuk resensi pameran, kritik seni, laporan kegiatan, feature, dan tulisan biografi, dan sebagainya.

Hasil penelitian ini kemudian ditindaklanjuti dengan pengajuan nama-nama lukisan ikon yang dihasilkan kepada para ahli seni untuk dikaji dari berbagai aspek: estetik, artistik, sosiologis, dan antropologis.

Yang menarik, ternyata cukup banyak publik umum dan seniman yang tidak mengetahui Basoeki Abdullah. Terutama anggota masyarakat dan para seniman di bawah usia 25 tahun, yang sebagian besar sedang melakukan studi atau baru selesai studi dari sekolah menengah seni atau perguruan tinggi seni. Sedangkan mereka yang berusia 26-35 tahun meletakkan Basoeki dalam ingatan yang fatamorgana. Namun, ketika dipancing dengan penjelasan: "Yang mencipta lukisan itu tuh!", mereka segera ingat, meski sebagian sambil bertanya, "Sekarang dia ada di mana, ya? Di Bali atau Jakarta?"

Ini berbeda dengan realitas yang muncul dari narasumber berusia 36-50 tahun. Mereka bisa menimpali: "Ooo. Dia itu jagoan melukis perempuan seksi!" Sedangkan yang berusia di atas 50 tahun relatif mengenal benar Basoeki Abdullah. Mereka menyebut Basoeki sebagai legenda.

Kenyataan ini sedikit menggoyahkan anggapan bahwa Basoeki Abdullah adalah pelukis ternama sepanjang masa yang dikenal oleh berbagai lapisan generasi. Ketidaktahuan sebagian orang kepada Basoeki Abdullah setara dengan ketidaktahuan mereka kepada Raden Saleh, Sudjojono, Dullah, Lee Man Fong, dan Hendra Gunawan. Kepada Affandi, khusus masyarakat Yogyakarta tampak lebih mengenali. Sebab, Affandi memiliki studio dan ada Jalan Affandi di kota itu. Atas kenyataan tersebut, Profesor Dr Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berujar, "Ini salah dunia seni rupa Indonesia yang kurang menyiarkan seluk-beluk seni dan seniman Indonesia dari segala sisi. Setelah Basoeki meninggal, para penulis kurang mempublikasikan."

Setelah diproses, penelitian itu akhirnya menemukan lima ikon lukisan Basoeki Abdullah. Lukisan-lukisan tersebut adalah:

1. Nyai Roro Kidul, 1950, cat minyak di kanvas, 300 x 200 sentimeter. Mewakili lukisan tema mitologi atau legenda Indonesia.

2. Profil Bung Karno dengan Peci, 1942, pensil di atas kertas, ukuran folio. Lukisan yang pernah dijadikan gambar prangko ini masuk kategori lukisan tokoh.

3. Perkelahian Rahwana Melawan Jatayu, cat minyak di kanvas, 160 x 120 sentimeter. Mewakili lukisan cerita rakyat.

4. Pangeran Diponegoro Memimpin Perang, 1949, cat minyak di kanvas, 150 x 120 sentimeter. Mewakili tema kepahlawanan Indonesia.

5. Pemandangan (Gunung Merapi), cat minyak di kanvas, 170 x 255 sentimeter. Mewakili lukisan pemandangan.

Tim Peneliti kemudian mencoba mengerucutkan pilihan ikon itu dalam tiga ikon lukisan. Hasilnya adalah lukisan Nyai Roro Kidul, Profil Bung Karno dengan Peci, dan Perkelahian Rahwana Melawan Jatayu.

Ketika dikerucutkan lagi, ikon utama lukisan Basoeki Abdullah adalah Nyai Roro Kidul. Alasannya, lukisan ini paling diingat oleh publik umum. Setiap kali publik membicarakan legenda Nyai Roro Kidul, yang dianggap sebagai Ratu Pantai Selatan, lukisan Basoeki ini dinilai sebagai representasi nyata dari sosok Si Nyai yang sesungguhnya abstrak. Lukisan Basoeki ini juga paling banyak direproduksi pelukis lain sejak dimuat di buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno, 1964.

Lukisan-lukisan Basoeki di luar yang dimuat di buku koleksi Presiden Sukarno tidak terpilih atau tak terlampau diingat. Padahal tidak sedikit yang berkualitas istimewa dan gampang menempel dalam ingatan. Mungkin aspek sosialisasinya yang kurang.

Penetapan ikon lukisan ini akan menjadi aksentuasi dalam ingatan masyarakat atas sosok Basoeki Abdullah. Hadirnya ikon-ikon ini akan bermanfaat bagi MBA ketika museum harus melakukan publikasi, aktualisasi kesenimanan Basoeki Abdullah, dan sosialisasi karya-karya terbaiknya serta mengaplikasi karya-karya Basoeki ke hadapan masyarakat. Produksi benda-benda aplikasi ikon itu menurut rencana dilakukan pada 2016, setelah Museum Basoeki Abdullah selesai direnovasi dan diluaskan.

Lalu kita pun mengenang apa yang sering kita lihat: seseorang keluar dari Museum Tate di London dengan membawa buku harian bersampul lukisan Perahu Menuju Pantai karya Turner. Pulang dari Museum Prado di Madrid, menenteng puzzle bergambar Maya dalam Busana karya Goya. Sampai pada suatu hari, seorang nyonya muda dengan bangga menunjukkan scarf bergambar ukiyo-e Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji karya Hokusai yang dibeli di sebuah galeri di Osaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus