Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar sepekan menjelang Soeharto dilantik sebagai presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 12 Maret 1967, Aloysius Sugiyanto mendapat tugas khusus dari Ali Moertopo. Sugiyanto, saat itu perwira intelijen berpangkat mayor, ditugasi menjemput pelukis Basoeki Abdullah yang tinggal di Bangkok, Thailand. "Waktu itu kami memilih Basoeki Abdullah untuk melukis Pak Harto, yang akan dilantik sebagai presiden," kata Sugiyanto.
Sugiyanto, kini 86 tahun, adalah bekas anggota Operasi Khusus, badan intelijen yang dibentuk Ali Moertopo pada pertengahan 1960-an. Menurut Sugiyanto, rencana membuat lukisan Soeharto tercetus sejak sekitar tiga bulan sebelum dia dilantik sebagai presiden. Basoeki dipilih karena ia sudah terkenal dan diakui dunia sebagai pelukis potret yang piawai.
Sebelum terbang ke Bangkok, Sugiyanto menghubungi Duta Besar Indonesia di sana, B.M. Diah. Dia meminta bantuan Diah untuk memberitahukan rencananya kepada Basoeki Abdullah. "Karena sudah ada pembicaraan awal dari B.M. Diah, penjemputan Basoeki pun berjalan lancar," ujarnya. Sugiyanto menemui Basoeki di tempat tinggalnya di kawasan Ekkamai, Bangkok. Setelah dua-tiga kali menemui Basoeki, akhirnya Sugiyanto terbang ke Jakarta bersama sang pelukis dengan pesawat Thai Airways. Saat itu Basoeki mengajak istrinya, Nataya Nareerat. Setiba di Jakarta, Basoeki dan istrinya diinapkan di Hotel Indonesia.
Pada 12 Maret 1967, Sugiyanto mengajak Basoeki ke rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Keduanya menunggu Soeharto, yang hari itu sedang dilantik sebagai pejabat sementara presiden. Siang sekitar pukul 13, Sugiyanto menyambut Soeharto yang baru pulang pelantikan. Soeharto meminta waktu untuk melepas jas dan pecinya. "Nanti saya harus bagaimana ketika dilukis?" kata Soeharto, yang saat itu mengenakan kemeja putih, dasi hitam, dan celana krem. "Bapak langsung tanya saja sama pelukisnya, Basoeki," ucap Sugiyanto.
Akhirnya Soeharto, Sugiyanto, dan Basoeki duduk meriung di ruang tamu sambil menikmati kopi. Esoknya barulah proses melukis Soeharto dilakukan. Menurut Sugiyanto, Basoeki membuat sket dulu. "Saat dilukis, kadang Pak Harto diminta duduk atau berdiri," katanya.
PENGAKUAN kepiawaian Basoeki Abdullah melukis potret tokoh bermula dari kemenangannya saat mengikuti sayembara melukis potret diri Ratu Belanda Juliana pada 1948. Kala itu, Basoeki satu di antara 81 pelukis dari berbagai penjuru dunia yang mengikuti sayembara, dan ia menjadi juaranya. Kemenangan itu ditanggapi sinis oleh pelukis Indonesia di Tanah Air, karena Basoeki dianggap lebih pro-Belanda. Tapi sejak itulah dia laris sebagai pelukis potret. Basoeki selanjutnya melukis para tokoh, dari Presiden Sukarno, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Filipina Ferdinand Marcos, hingga Sultan Brunei Hassanal Bolkiah.
Saat Sukarno menjadi presiden, Basoeki kerap diminta langsung oleh Sukarno datang ke istana. Pengusaha Setiawan Djody, yang juga keponakan Basoeki, pernah diajak sang paman ketika melukis istri Bung Karno, Ratna Sari Dewi. Basoeki melukis perempuan asal Jepang itu di Wisma Yaso, Jakarta. "Saya yang masih kecil lihat orang cantik senang juga," ujar Djody terkekeh. Karena sering diajak pamannya dan melihat model yang dilukisnya, Djody dilarang orang tuanya ikut Basoeki.
Pada 1960-an, Basoeki terbang ke Thailand. Dia diundang melukis Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit di Istana Popporo, Bangkok. Setelah itu, ia pun diangkat sebagai pelukis istana Kerajaan Thailand. Dia diberi nama kehormatan: Basedi. Tugas utamanya mengabadikan keluarga istana berdasarkan garis silsilah, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Sepanjang 1962-1974, Basoeki menetap di Bangkok. Keluarga kerajaan memberi fasilitas rumah di kawasan Ekkamai. Dia juga disediakan studio di salah satu sisi Istana Chitralada. Dalam sepekan, dia bekerja hanya tiga hari: Senin, Rabu, dan Jumat. Gaji yang ia terima 300-500 dolar per bulan. "Sayangnya, kita tak punya data seberapa banyak lukisan Basoeki di Thailand. Seharusnya ada penelitian di Istana Popporo dan Chitralada itu," kata Joko Madsono, Direktur Museum Basoeki Abdullah.
Suatu hari pada 1963, Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja bertandang ke Istana Popporo dan Chitralada. Raja Bhumibol memperkenalkan Sihanouk kepada Basoeki, sambil menunjukkan beberapa lukisan potret anggota kerajaan. Sihanouk terpikat dan langsung menawari Basoeki melukis keluarga Kerajaan Kamboja. Akhir 1963, Basoeki mengabadikan keluarga Sihanouk dalam kanvasnya. Bahkan dia kemudian diganjar Bintang Kebudayaan Kerajaan Kamboja.
Pada 1968, giliran Presiden Filipina Ferdinand Marcos bersama Imelda Marcos berkunjung ke Istana Popporo. Mereka juga terpesona oleh lukisan-lukisan keluarga kerajaan karya Basoeki. Ia meminta izin kepada Ratu Sirikit untuk membawa Basoeki ke Filipina. Namun Basoeki tidak langsung merespons. Baru pada 1977, ketika telah pulang ke Indonesia, Basoeki memenuhi permintaan Marcos-Imelda.
Di Filipina, Basoeki mendapat fasilitas istimewa. Dia ditempatkan dalam sebuah gedung di kompleks Istana Malacanang. Gedung itu berkamar 14, di dalamnya terdapat sejumlah ruangan tempat menyimpan cendera mata yang diterima Marcos dan Imelda dari berbagai negara. Di gedung itu terdapat pula ruangan khusus menyimpan koleksi benda kerajinan yang dibeli Imelda sendiri. Selama sekitar tiga bulan di sana, Basoeki melukis Imelda dalam enam kanvas dengan berbagai pose dan busana. Adapun Marcos empat kali dilukis.
Tokoh negeri tetangga Asia Tenggara lain yang pernah dilukis Basoeki di antaranya Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Dia juga melukis Raja Fahd dari Arab Saudi, Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto, dan Pangeran Bernhard dari Belanda.
Sepanjang karier Basoeki sebagai pelukis potret, ada tiga tokoh yang sangat dia inginkan untuk dilukis langsung. Mereka adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Kaisar Hirohito, dan Paus Yohanes Paulus II. Dua dari tiga keinginan itu akhirnya terkabul. Sri Sultan mau dilukis langsung. Pada 13 Januari 1987, Sultan bersama istrinya, Norma, datang ke studio Basoeki di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta.
Keinginan melukis Paus Yohanes Paulus II terwujud ketika pemimpin umat Katolik itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. Saat itu Presiden Soeharto meminta Basoeki melukis Paus. Lukisan itu akan dipakai sebagai cendera mata utama bagi Paus. Basoeki kemudian membuat dua lukisan Paus. Pertama, lukisan Paus sedang menggendong anak balita. Kedua, lukisan yang menggambarkan Paus dengan pakaian kepausannya. "Saya salah seorang yang mendapat lukisan repro Paus sedang menggendong anak balita itu dari Basoeki langsung," kata Aloysius Sugiyanto sambil menunjukkan lukisan repro itu di salah satu ruangan di rumahnya.
PADA November 1987, Soeharto memesan lukisan sekelompok burung merpati putih kepada Basoeki. Lukisan itu dimaksudkan sebagai tanda ulang tahun perkawinan dia dan Tien yang ke-40, yang jatuh pada 26 Desember 1987. Setelah lukisan jadi, entah kenapa Soeharto-Tien meminta anak, menantu, dan cucu-cucunya membubuhkan tanda tangan dengan spidol warna emas di tiap tubuh belasan merpati itu.
Lukisan itu kemudian digantung di dinding Cendana. Tatkala pesta ulang tahun perkawinan digelar, sejumlah stasiun televisi yang menyiarkan peristiwa itu sesekali menyorot lukisan Basoeki. Salah seorang kerabat Basoeki yang menyaksikan siaran televisi melihat ada sesuatu yang aneh di setiap tubuh burung itu. Sang kerabat menelepon dan meminta Basoeki menyaksikan.
Basoeki sangat gusar menyaksikan lukisan karyanya penuh dibubuhi tanda tangan. "Basoeki marah dan merasa dilecehkan," ucap Mikke Susanto, peneliti seni rupa. Ia pun beberapa kali menelepon Ibu Tien untuk menyampaikan protes, tapi tak pernah tersambung. Hingga akhirnya kemarahan Basoeki itu sampai juga ke Soeharto. Empat tahun kemudian, dia diminta Ibu Tien menggelar pameran tunggal di Taman Mini Indonesia Indah. Pameran dibuka oleh Soeharto. Beberapa saat setelah membuka pameran, Soeharto berbisik kepada Basoeki, "Pak Basoeki, saya punya utang, ya." Basoeki menduga utang itu berkaitan dengan persoalan vandalisme Keluarga Cendana atas lukisan merpatinya.
Nurdin Kalim, Shinta Maharani, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo