Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DITANDAI oleh peed aya atau pawai budaya, pembukaan Pesta Kesenian Bali Ke-46 melibatkan ribuan seniman dari sembilan kabupaten dan kota se-Bali. Selain peed aya, yang dinanti-nanti masyarakat luas adalah sendratari kolosal dengan lakon terpilih yang selaras dengan tema utama perhelatan tahunan ini. Pertunjukan kolosal yang dipersiapkan berbulan-bulan itu diharapkan menjadi puncak pencapaian cipta, cerminan dinamika seni budaya Bali lintas masa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selaras dengan tema Pesta Kesenian Bali, “Jana Kerthi: Paramaguna Wikrama” (Harkat Martabat Manusia Unggul), sendratari kolosal mengusung lakon Jagra Budaya Bali Dwipa, kisah historis puncak keemasan Kerajaan Gelgel (Klungkung) semasa Dalem Waturenggong dari wangsa Kresna Kepakisan bertakhta (1460-1550).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sendratari kolosal ini merupakan kolaborasi Komunitas Bungan Dedari dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang melibatkan 172 seniman. Yang bertindak sebagai pengarah artistik adalah I Ketut Suteja dan I Gusti Putu Sudarta menjadi asistennya. Adapun yang bertindak sebagai koordinator produksi adalah I Gede Mawan, dengan penanggung jawab Komang Sudirga dan Rektor ISI Denpasar Wayan Adnyana sebagai pengarah.
Bukan kali ini saja ISI Denpasar menggarap sendratari kolosal yang serangkai dengan perhelatan Pesta Kesenian Bali. Bahkan, sejak diresmikannya panggung terbuka Ardha Candra pada 1979, pembukaan festival berkala ini senantiasa menyuguhkan pementasan beragam seni klasik dan tradisional Bali, meliputi aneka unsur tari, musik, sastra, dan tata busana, yang diramu menjadi kesatuan pertunjukan drama tari (sendratari).
Penggarapan sendratari kolosal ini di arena terbuka dengan kapasitas 8.000 penonton, dengan rupa panggung prosenium, menuntut kreativitas tinggi segenap seniman dan tim produksi yang terlibat. Ini terutama berkaitan dengan kemampuan adaptasi yang mendasar pada bentuk pertunjukan Bali tradisional selama ini. Konsep kalangan telah beralih ke wujud panggung terbuka modern. Ragam estetika-stilistika guyub hangat (komunal agraris) juga berubah menjadi presentasi modern kolosal, yang meniscayakan adanya jarak antara penonton dan tontonan.
Sepanjang keberadaan Pesta Kesenian Bali hingga tahun ke-46, terbukti sendratari kolosal ini, selain menggambarkan dinamika penciptaan yang seturut dengan elaborasi konsep pemanggungan, mencerminkan tahapan transformasi sosial-kultural masyarakat Bali yang kian urban dan kosmopolitan internasional.
Bagaimana dengan sendratari Jagra Budaya Bali Dwipa, ragam estetika-stilistika apa yang digali seturut dengan tema Pesta Kesenian Bali kali ini? Dibandingkan dengan garapan kolosal tahun-tahun sebelumnya, strategi estetik pemanggungan macam apa yang diterapkan, mengingat penonton Bali yang kian urban di era digital ini?
Bila dibandingkan dengan penggarapan sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali 2022 dan 2023, segera dapat dibaca bahwa proses cipta tahun 2024 menggambarkan upaya pembaruan stilistik dan estetik yang mendasar. Strategi penciptaan yang ditetapkan berangkat dari refleksi akan tema “Jana Kerthi”, yaitu insan atau manusia (jana) sebagai subject matter yang dieksplorasi.
Garapan pada 2022 mengangkat tema “Danu Kerthi” (Pemuliaan Danau), sementara pada 2023 menggali “Segara Kerthi” (Pemuliaan Laut). Jika dilihat, garapan kolosal sendratari diwarnai pengutamaan tata gerak kolosal dengan perhatian pada kreativitas pencahayaan. Bahkan garapannya menyertakan video mapping sebagai penegas adegan keberadaan sumber air, berikut makhluk-makhluk mitologis berukuran besar (gigantik). Ini merupakan kreativitas mengolah (baca: menundukkan) panggung terbuka melalui presentasi seni yang diharapkan familier dengan pemirsa milenial atau publik kini yang lebih karib dengan bahasa visual.
•••
SENDRATARI Jagra Budaya Bali Dwipa, garapan terbaru Institut Seni Indonesia Denpasar yang akan segera bertransformasi dengan nomenklatur baru menjadi ISI Bali, terdiri atas tiga babak. Sendratari ini merangkai pilihan adegan dengan gerak tubuh penari yang menjadi pusat pemaknaan. Sinopsis lakon disampaikan pembawa acara sesaat sendratari hendak dimulai.
Gamelan Gong Gede dan Semar Pegulingan dipilih sebagai unsur musikal yang dielaborasi. Instrumen musik itu bukan semata hadir mengiringi, melainkan menjadi daya dinamis mistis magis semisal pada adegan di Pesraman Dukuh Penaban Blatungan. Di pertapaan itu, Waturenggong muda menjalani olah diri di bawah didikan Ki Dukuh Penaban, sekaligus juga menjadi tempat penyembuhan sang pangeran calon pengganti raja sepuh Dalem Ketut Ngulesir.
Gamelan Gong Gede menggunakan sedikitnya 30 macam instrumen (bilah, kendang, gong, dan cengceng kopyak) yang relatif besar, melibatkan setidaknya 40 pemain. Semuanya dieksplorasi untuk adegan dramatik pertarungan atau komposisi tari yang dinamis (pembuka dan babak kedua). Sedangkan gamelan Semar Pegulingan dengan ciri khas gangsa dan terompongnya menghasilkan nada irama yang menghibur (Semar adalah dewa keindahan, pagulingan berarti tidur), antara lain dimainkan pada babak pertama adegan di kerajaan saat pertemuan kasih antara permaisuri dan raja yang diiringi dayang-dayang.
Pentas sendratari dengan judul Jagra Budaya Bali Dwipa oleh ISI Denpasar dalam Pesta Kesenian Bali Ke-46 di Taman Budaya, Denpasar, Bali, 15 Juni 2024. Dok. ISI Denpasar
Garapan kolosal kali ini adalah upaya mengedepankan sekaligus mengembalikan sendratari pada esensi presentasinya, yakni kekuatan pemeran sang aktor (para tokoh). Bahasa gerak tak melulu mengejar sesuatu yang rancak dan dinamik, tapi mengekspresikan pesan yang dituturkan dalang. Berbeda dengan pertunjukan kolosal 2023, yang berkonsep pergelaran oratorium tari yang mengedepankan orator lakon berbahasa Indonesia, sendratari 2024 lebih mengemukakan peran dalang yang sepenuhnya berbahasa Bali.
Dalang I Ketut Kodi dengan olah vokal yang mumpuni memang teruji menarasikan lakon kolosal sendratari. Ia piawai dalam pilah kata dan ungkapan yang seturut dengan para tokoh yang tengah diperankannya secara bergantian. Di sisi lain, para tokoh itu memvisualkan tuturan dalang melalui tata gerak yang selaras. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Raja Dalem Ketut Ngulesir (I Ketut Sariada), Permaisuri (Ni Wayan Suartini), Begawan Brahma Raja (Anak Agung Ketut Oka Adnyana), Dhang Hyang Nirartha (Wayan Budiarsa), Ki Dukuh Penaban (I Ketut Sutapa), dan Dalem Waturenggong (Kadek Permata Nidhi).
Menjadikan tokoh atau para pemain sebagai subject matter, termasuk peran utama dalang berbahasa Bali, adalah strategi pemanggungan yang menyelaraskan pilihan estetik dengan ragam stilistik dalam galian tematik; meneguhkan narasi lakon dalam tuturan kisahan.
Bertujuan membangun interaksi imajiner antara tontonan dan penonton (konsep kalangan), keberadaan arena terbuka dengan konsep prosenium menjadi cair dan seakan-akan tak berjarak. Ini adalah konsep pemanggungan Bebali Sendratari, begitu menurut Wayan Adnyana.
Pilihan atau konsep Bebali Sendratari tersebut menghadirkan watak dan karakter tokoh tanpa menghilangkan kekuatan artistik gerak tari. Pemuliaan karakter gerak tari berarti pula menghadirkan kekuatan olah tubuh penari, yang telah lama tertepikan di panggung sendratari kolosal yang diharu biru properti, serba-serbi visualisasi lelakon yang verbal, tata cahaya warna-warni berlebihan, dan semburan kembang api yang artifisial.
Keagungan dan kemegahan ternyata dapat hadir wajar dalam sendratari Jagra Budaya Bali Dwipa. Garapan kolosal ini mengelak dari ragam visual yang verbal. Panggung megah Ardha Candra, dengan latar belakang gapura menjulang memukau pandang, kali ini hadir menjadi bagian padu dari adegan pamungkas berupa arakan empat pataka atau panji. Pataka-pataka ini menggambarkan Kerajaan Singasari dan Majapahit, yang dimuliakan di Bali pada masa Kerajaan Gelgel. Perwujudannya adalah Sang Hyang Waruna Wisesa (dua mata tombak kembar di atas kepala dan ekor naga), Sang Hyang Dwija Naga Nareswara (naga kembar penjaga tirta amerta), Sang Padma Naba Wiranegari (teratai kemuliaan pembela negeri), dan Sang Hyang Naga Amawabumi (naga penjaga keadilan). Penampilan ini digenapi oleh prosesi budaya dan ritual (tari wayang wong, gambuh, rerejangan, dan bebarisan) yang menggambarkan capaian puncak peradaban Bali masa keemasan Waturenggong.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bebali Sendratari, Kembali ke Esensi "