Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANEH. Ada sebersit cahaya yang membedakan pameran seni rupa Sanggar Bumi Tarung kali ini, yang kelima, dengan perhelatan sebelumnya di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, sebagian besar dari sekitar 40 lukisan dan karya tiga dimensi dalam pameran itu tak lari dari memoar pahit—baik eksplisit maupun tersirat. Kepahitan yang, menurut persepsi saya, ditampilkan dengan rasa bangga. Lukisan Misbach Tamrin, Kerja dan Matahari (2016), gambaran kerja paksa para tahanan politik (tapol) yang mengangkat batu-batu tanpa bantuan peranti apa pun selain keranjang di bawah panas terik matahari, adalah siksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi lihatlah, figur bertelanjang dada terlihat sehat, dan kekar. Berbaris di belakang figur ini, ada para tapol dengan celana dan baju sehari-hari yang mengesankan tidak sedang dipakai untuk kerja paksa. Rasa bangga itu, dalam hemat saya, muncul dari gambaran ini. Misbach seperti hendak mengatakan bahwa kami bisa bertahan, apa pun yang kalian siksakan kepada kami. Ini satu contoh kecenderungan lukisan Sanggar Bumi Tarung.
Pengunjung mengamati karya Misbach Tamrin yang berjudul Panorama Nusantara (3 series) dalam Pameran Sampai Batas Tarung di Galeri Nasional, Jakarta 3 Juli 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Sementara itu, Ibu-Ibu Petani lukisan Ng Sembiring, figur-figur perempuan menggendong beban di punggung, tampaknya padi yang habis dipanen, menyusuri pematang yang berkelok, dengan seluruh kanvas dipenuhi warna pastel yang cerah, adalah suatu gambaran kesuburan sawah. Namun rasa lukisan ini bagi saya jauh dari cerah. Komposisi perempuan-perempuan terbungkuk karena beban di punggung, dan sawah yang digambarkan sekadar pulasan warna, menyiratkan metafora yang tidak menggembirakan. Sawah yang “kabur” adalah bukan milik para petani dan tubuh membungkuk dalam karya ini adalah kerja terpaksa.
Sembiring menyembunyikan ekspresi wajah ibu-ibu itu dengan cara penggambaran jauh, tak ada pula sebersit isyarat tubuh dan tangan yang menandakan kegembiraan. Komposisi ini memang sulit disebut menggambarkan, misalnya, ibu-ibu itu tengah bercanda. Ini contoh lain kecenderungan karya Sanggar Bumi Tarung.
Lalu apa yang membedakan pameran Sanggar Bumi Tarung kali ini dengan yang lalu-lalu? Bukankah sebagian besar dari sekitar 40 karya lukis, relief, dan tiga dimensi dalam pameran ini—sebagaimana dalam pameran sebelumnya—adalah semacam memoar tentang ketidakberdayaan di bawah kekuasaan yang sewenang-wenang, yang dengan segala cara hendak menunjukkan bahwa tapol bukan manusia?
Matinya Seorang Petani karya Misbach Tamrin. Bambang Budjono
Di antara karya-karya itu, ada Matinya Seorang Petani. Komposisi petani telentang dan istri yang memeluknya mengingatkan saya pada komposisi patung Michelangelo, Pieta. Bunda Maria memangku, dengan kepala agak tertunduk, jasad putranya yang terkulai tak berdaya dengan wajah menatap langit. Suatu kepasrahan tanpa menuding siapa pun. Michelangelo tak menyertakan figur atau bentuk atau tanda kekuasaan Romawi.
Matinya Seorang Petani juga menyiratkan kepasrahan itu—perpaduan ekspresi wajah sang istri dengan korban. Memang, Misbach Tamrin, pelukis yang 13 tahun kehilangan kebebasan dan merasakan kesewenang-wenangan, sementara menghadirkan kepasrahan suami-istri petani, di kejauhan latar belakangnya memunculkan satu truk tentara. Bersama kepasrahan, Misbach mengirim pesan: janganlah kesewenang-wenangan ini terjadi lagi. Sing wis, ya wis, kata Djoko Pekik.
Semacam kepasrahan tersirat juga dalam patung Amrus Natalsya, Peniup Suling. Komposisi patung ini tegak lurus ke atas. Sang peniup dengan serulingnya seperti berdoa.
Peniup Suling karya Amrus Natalsya. Bambang Bujono
Di antara kepahitan dan kesewenang-wenangan yang menginjak-injak kemanusiaan, cahaya dari langit masih terpancar. Cahaya yang diharapkan menerangi sisi gelap manusia. Puji Tarigan, anggota Sanggar Bumi Tarung yang diperam di penjara di Medan, adalah pemeluk Katolik. Ia gambarkan segala deritanya dengan melukiskan bahwa semuanya itu tak terlepas dari pandangan Yesus Kristus. Dalam lukisan Tragedi Nasional 1965, di atas gambaran pembunuhan dan penyiksaan, Yesus di tiang salib melongokkan kepalanya melihat ke bawah. Puji yakin, semuanya tak akan terlepas dari keadilan.
Sanggar Bumi Tarung, didirikan pada 1961 di Yogyakarta, di dekat kampus Akademi Seni Rupa Indonesia, yang dengan nyata memposisikan diri dalam lingkaran Lembaga Kebudayaan Rakyat, menampik tuduhan stereotipe bahwa kelompok ini tak percaya kepada Yang Maha Pencipta. Setidaknya beberapa lukisannya, menurut saya, menyiratkan, katakanlah keilahian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sebersit Cahaya di Sanggar Bumi Tarung"