Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kekayaan Seni Topeng dalam Koleksi Didik Nini Thowok

Maestro tari Didik Nini Thowok mengoleksi ratusan topeng klasik dari banyak daerah. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengunjunginya.

24 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Didik Nini Thowok di rumahnya di Yogyakarta, 8 Januari 2025. Berto Wedhatama untuk Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Di rumahnya, Didik Nini Thowok menyimpan 350 topeng yang ia dapatkan dari berbagai daerah di Indonesia.

  • Salah satunya topeng yang ia gunakan saat membawakan Bedhaya Hagoromo di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada November 2024.

  • Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengunjungi rumah Didik untuk melihat koleksi topengnya.

MAESTRO tari Didik Nini Thowok membakar dupa dan merapal doa. Topeng rangda yang berselimut kain putih diapit topeng Dwimuka Ardhanareswari yang biasa dia gunakan untuk pentas. Anggota keluarga Didik membuka kain itu. Mata topeng rangda membelalak, bertaring besar dengan lidah menjulur, dan berambut panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benda sakral yang dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Durga itu menyambut Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Sanggar Tari Natya Lakshita di Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Sabtu, 18 Januari 2025. Dewi Durga adalah dewi perang dalam Hindu yang melambangkan kekuatan dan perlindungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada siang itu, Fadli Zon menikmati koleksi benda seni milik Didik di sanggar yang juga menjadi rumahnya tersebut. Selain mengoleksi topeng, Didik mengumpulkan kain tradisional dari berbagai daerah, buku, kaset pertunjukan seni tari, foto-foto penampilannya, dan koper-koper tua yang menemaninya saat bepergian untuk pentas. Di lantai tiga, Didik menyimpan lebih dari 350 topeng. Sebagian merupakan topeng klasik yang dia dapatkan dari berbagai wilayah di Indonesia, di antaranya Bali dan Cirebon.

Bagi Didik, topeng bukan sekadar obyek panggung, melainkan juga punya makna niskala atau spiritual. Satu di antaranya topeng rangda yang dia tunjukkan kepada Fadli Zon. Menurut Didik, tak sembarang orang bisa membuka kain penutupnya. Dua anggota keluarga Didik itu telah menjalani melukat atau ritual khas yang ditujukan untuk membersihkan diri serta biasa dilakukan umat Hindu dan masyarakat Bali.

Didik Nini Thowok memperlihatkan koleksi topengnya kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon di rumahnya di Yogyakarta, 19 Januari 2025. Dok. Kementerian Kebudayaan

Untuk membuka kain yang menjadi sarung topeng, Didik harus membakar dupa dan menancapkannya di hadapan topeng. "Rangda ini begitu sakral dan punya energi sangat kuat. Memperlakukannya harus hati-hati," kata Didik kepada Tempo di sanggarnya.

Topeng itu buatan maestro topeng Bali, Cokorda Alit Artawan, di Singapadu, Kabupaten Gianyar. Pembuatannya melewati serangkaian ritual sejak tahap pemilihan kayu pule (Alstonia scholaris), penebangan, hingga pembuatan menjadi topeng yang dipimpin pendeta Hindu, Pedanda Jungutan Manuaba, dari Griya Peling Ubud. Pemasangan topeng pada mahkota juga melalui ritual ngeratep dan pasupati atau penyakralan.

Didik memakai topeng itu saat mementaskan tari Dwimuka Ardhanareswari dalam sejumlah pertunjukan. Ia memadukannya dengan topeng Nateng Dirah atau Uma. Pada 2023, Didik mengenakan kedok tersebut dalam berbagai ritual, di antaranya nunas taksu di Pura Payogan Lungsiakan Ubud serta ritual di Pura Calon Arang di Desa Putuk, Banaran, Kandhangan, Kediri, Jawa Timur. Dia juga menggunakannya dalam pentas Kridha Panca Dasa Warsa atau 50 Tahun Didik Nini Thowok Berkarya bersama Ni Nyoman Sudewi dan Bambang Pujasworo di Taman Budaya Yogyakarta pada 8 Desember 2024.

Didik, 70 tahun, dikenal sebagai seniman yang lekat dengan berbagai ritual. Jebolan Akademi Seni Tari Indonesia—kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta—itu gemar menjalani ritual doa dan puasa sebelum pentas. Dia juga senang menari di situs-situs keramat. Satu di antaranya Situs Calon Arang di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kediri. Orang-orang mengenal situs ini sebagai petilasan Calon Arang yang hidup pada masa pemerintahan Raja Airlangga sekitar abad ke-10.

Dalam legenda, Calon Arang dikenal sebagai janda sakti yang punya kekuatan menebar wabah mematikan. Di Bali, Calon Arang lekat dengan leak dalam mitologi setempat. Leak digambarkan sebagai sosok perempuan cantik tapi menyeramkan, dengan rambut panjang dan mata merah.

Didik mengisahkan pengalamannya ketika menari di situs itu pada 22 Oktober 2022. Menggunakan gaun berwarna putih, seperti terlihat dalam video yang dia tunjukkan, tubuh Didik tiba-tiba jatuh terpental. "Saking kagetnya, saya berhenti menari saat itu," ujarnya.

Selain menyimpan topeng rangda, Didik mengoleksi bermacam-macam barong, topeng Bondres yang menggambarkan rakyat jelata, dan Luh Manik yang menyimbolkan perempuan cantik. Topeng itu ia dapatkan dari teman kuliahnya pada 1978, setelah membantunya merias wajah. Kedok tersebut kerap dipakai Didik dalam pertunjukan tari Poncosari, tari kreasi yang dipentaskan di luar negeri. Ada juga topeng kelana Cirebon yang dia dapatkan pada 1979 dari pakar maestro topeng Cirebon gaya Palimanan, Mimi Sudji.

Topeng-topeng lain koleksinya dibuat khusus oleh pembuat topeng klasik di Bantul, Yogyakarta, Pono Wiguno. Misalnya topeng Uma, Ko-Omote atau topeng Noh yang menggambarkan karakter bidadari atau perempuan cantik. Topeng Ko-Omote digunakan Didik pada tari Bedhaya Hagoromo, yang menggabungkan keanggunan bedaya Keraton Yogyakarta dengan Noh, teater kuno Jepang. Didik juga mendapatkan sejumlah topeng dari penari di India.

Didik Nini Thowok di rumahnya di Yogyakarta, 8 Januari 2025. Berto Wedhatama untuk Tempo

Fadli Zon mengapresiasi kerapian Didik menyimpan berbagai obyek seni tari tradisional ataupun kontemporer. Menurut dia, benda-benda yang berkaitan dengan seni tari, termasuk topeng, menjadi aset penting yang harus dijaga. Seni tari tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas yang melewati pendalaman dan proses panjang. "Tidak sekadar menghafal gerak dan lagu, tapi juga bertutur rasa," katanya.

Dosen Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada, Bambang Pujasworo, menjelaskan bahwa spiritualitas topeng klasik ada dalam berbagai ritual. Topeng menjadi media yang digunakan manusia untuk menggambarkan karakter tertentu sebagai sarana pemujaan. Selain itu, penghormatan terhadap benda yang dianggap sakral muncul dari sisa-sisa totemisme—kepercayaan bahwa manusia memiliki hubungan yang suci dengan hewan, tumbuhan, atau benda tertentu. Di Bali, misalnya, hampir semua desa memiliki barong yang dipercaya menjadi roh pelindung desa.

Pembuatan topeng klasik tidak bisa sembarangan. Topeng rangda milik Didik, contohnya, menjadi pusaka yang telah melewati serangkaian ritual panjang. Bukan hanya pemilik topeng, pembuatnya juga menjalani ritual puasa. Melalui berbagai ritual, pedanda bertugas memberikan roh dari kekuatan alam semesta sehingga topeng seperti punya energi. "Topeng dianggap tenget atau suci," ujar Bambang.

Topeng klasik dalam seni tradisi punya makna tertentu bagi pemiliknya, yang biasanya diwariskan secara turun-temurun. Untuk menggunakannya dalam seni pertunjukan, penari tidak bisa asal-asalan memperlakukan topeng. Penari harus mengikuti berbagai ritual, seperti menyiapkan sesaji. Pemilik biasanya juga menjaga benda itu dengan memberikan kepercayaan kepada orang-orang tertentu.

Dalam seni pertunjukan, topeng klasik selalu menggambarkan tokoh-tokoh dalam epos Mahabharata, Ramayana, dan Panji. Cerita Panji mengisahkan nenek moyang dari ksatria zaman Kerajaan Majapahit. Dalam Kitab Negarakertagama tertulis bahwa Raja Hayam Wuruk menari menggunakan topeng pada abad ke-14.

Topeng klasik yang digunakan sejak zaman prasejarah berkembang dengan kisah Panji yang menghasilkan beragam tafsir. Bentuk topeng itu berbeda-beda di setiap daerah, misalnya di Bali yang berbeda dengan Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Madura. Bambang mengatakan kekayaan budaya ini perlu kita jaga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus