Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sensor Seni Rupa: Dia Mau Pameran, Dia Menunggu, Dia Pergi

Sensor karya seni rupa terus terjadi dalam sejarah, dari zaman penjajahan Jepang hingga Presiden Prabowo Subianto.

28 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelukis Yos Suprapto menurunkan karya lukisannya yang batal dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, 23 Desember 2024.TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sensor karya seni rupa terus terjadi dalam sejarah Indonesia.

  • Banyak sensor terjadi di zaman Jepang dan Sukarno.

  • Di era Prabowo Subianto, Galeri Nasional membatalkan pameran Yos Suprapto.

PERISTIWA “pembredelan” pameran tunggal seniman senior Yogyakarta, Yos Suprapto, di Galeri Nasional Indonesia pada akhir Desember 2024 mengingatkan kita pada penyensoran berbagai karya seni rupa dalam sejarah Indonesia. Sensor dalam artikel ini dimaknai secara luas, tidak hanya pelarangan karya seni rupa yang dipamerkan di publik, tapi juga karya yang dirusak dan semacamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sensor karya seni rupa di Indonesia bisa dilacak setidaknya sejak masa pendudukan Jepang. Pada waktu itu Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan Jepang (PKJ) di Jakarta pada April 1943. Salah satu kegiatannya adalah membuka sanggar seni rupa tempat seniman melukis dan membuat sketsa. Pembimbing sanggar adalah pelukis S. Sudjojono dan Affandi serta perupa Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PKJ menyelenggarakan setidaknya empat kali pameran seni rupa hasil praktik di sanggar tersebut. Dalam pameran terakhir pada akhir November 1944, Kempeitai, polisi militer Jepang yang memiliki satuan polisi rahasia untuk sipil, marah melihat lukisan Affandi berjudul Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi. Lukisan itu menggambarkan tiga adegan seorang pengemis yang datang, menunggu, lalu pergi dalam bentuk urutan kejadian. Kempeitai melarang lukisan cat air pada kertas berukuran 41 x 56 sentimeter itu dipamerkan karena tidak mau ada gambaran Indonesia yang sengsara.

Kempeitai mengawasi kegiatan PKJ sejak awal berdiri. Korbannya bukan hanya lukisan Affandi, tapi juga sejumlah sketsa karya Henk Ngantung, pelukis kelahiran Manado pada 1921, yang kemudian menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada 1964-1965. Ceritanya, Ono Saseo, pelukis Jepang yang menjadi pembimbing di PKJ, mengajak peserta sanggar membuat sketsa langsung di hadapan obyek (on the spot) dan obyek itu adalah suasana di luar sanggar. Inilah pertama kalinya metode pembuatan sketsa secara langsung dipopulerkan di Indonesia.

Lukisan berjudul "Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi" karya Affandi. Dok. IVAA

Henk Ngantung muda antusias membuat sketsa suasana jalan-jalan di Jakarta kala itu. Di jalan-jalan itu, menurut Mia Bustam dalam buku Sudjojono dan Aku (2006), “Di mana-mana orang gelandangan mati terkapar karena busung lapar." Mia juga bercerita bahwa ia pernah melihat penyair Chairil Anwar dipukuli polisi Jepang. Ia menjerit dan menangis. “Kurang ajar!” serunya. Sigap, Sudjojono, suami Mia, mendekapnya dan berbisik, “Sttt, diam! Jangan menangis begitu. Ini kan di tengah jalan.”

Pemandangan orang-orang dengan pakaian lusuh, seadanya, setengah telanjang, dan tubuh kering terlihat di mana-mana di Jakarta. Itulah, antara lain, obyek sketsa Henk. Kempeitai, yang konon selalu memeriksa karya-karya PKJ, merobek-robek dan membakar sketsa-sketsa itu. Itu sebabnya, dalam buku Sketsa-sketsa Henk Ngantung yang diterbitkan PT Sinar Harapan pada 1987, sketsa kesengsaraan pada zaman Jepang itu tidak terwakili sama sekali. Sementara itu, lukisan Affandi tentang pengemis itu selamat dan kini tersimpan di Museum Affandi, Yogyakarta.

Di era kemerdekaan, Indonesia dipimpin Sukarno, presiden pertama yang mencintai seni rupa dan seorang kolektor sejak zaman Jepang. Dunia seni rupa makin ramai. Para perupa mendirikan sanggar-sanggar dan bahkan kemudian pemerintah mendirikan Akademi Seni Rupa di Yogyakarta pada 1950. Di Bandung berdiri Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, yang kemudian menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pada masa itu tidak terdengar sensor karya seni rupa. Yang ada, friksi antarseniman yang berbeda secara ideologi.

Singkat cerita, sesudah Pemilihan Umum 1955, muncul pemikiran bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) bisa menjadi alat partai mengumpulkan massa. Di sisi lain, seniman membutuhkan “rumah” untuk berlindung. Terbentuklah lembaga-lembaga kebudayaan bentukan partai atau ormas. Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno, misalnya, mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang dipimpin sastrawan Sitor Situmorang, pada 1959. Nahdlatul Ulama mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).

Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih maju dengan mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 1950. Anggotanya antara lain pelukis Basuki Resobowo, Sudjojono, Henk Ngantung, dan Hendra Gunawan. Di bidang sastra ada Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan S. Rukiah Kertapati. Ada pula sineas Bachtiar Siagian dan Sudharnoto, musikus penggubah lagu Garuda Pancasila. Namun, di dalam Lekra sendiri muncul dua kelompok, yakni yang mengakui berada di bawah partai dan yang tidak. Walhasil, muncul kelompok seniman “kiri” dan “kanan”. Namun tak semua seniman merapat ke “kiri” atau ke “kanan”. Ada yang, katakanlah, “independen”.

Tampaknya semangat Gelanggang Seniman Merdeka yang didirikan pada 1946 oleh tiga anak muda—Asrul Sani dan Rivai Apin yang baru berusia 20 tahun serta Chairil Anwar yang 22 tahun—tetap hidup, yakni semangat melepaskan diri dari pengaruh generasi sebelumnya dan penguasa yang dianggapnya munafik dan menghambat kreativitas. Empat tahun kemudian, kelompok menegaskan sikapnya dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” dengan menyatakan bahwa mereka adalah “ahli waris kebudayaan dunia”, melepaskan segala ikatan kebudayaan Indonesia, dan memikirkan hidupnya kebudayaan baru yang sehat.

Friksi-friksi terjadi di antara ketiga kelompok seniman tersebut, tapi tak sampai ada pembredelan atau sensor. Pameran seni rupa di Balai Sidang Jakarta untuk menyambut pesta olahraga negara-negara yang disebut New Emerging Forces pada akhir November 1963 diprotes keras oleh kelompok “kiri” dan dicap karya seni yang antirevolusi. Namun pemerintah tak cawe-cawe dan tidak terjadi, misalnya, pemberangusan, apalagi kekerasan terhadap karya yang sudah terpajang.

Meski demikian, terjadi juga pembungkaman terhadap kelompok Manifes Kebudayaan, yang dicetuskan oleh sejumlah seniman pada Agustus 1963. Mereka antara lain adalah H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin, Taufiq Ismail, dan Nashar.

Ada polemik di antara kelompok pendukung dan penentang Manifes Kebudayaan, tapi semuanya baik-baik saja. Namun kemudian Presiden menerbitkan surat keputusan pada Mei 1964 yang melarang Manifes Kebudayaan dengan alasan menyaingi Manifesto Politik 1964 yang sudah menjadi Garis Besar Haluan Negara. Buntut pelarangan itu, pendukung Manifes yang bekerja di lembaga pemerintah didesak agar keluar dan karya-karya mereka pun dihambat penyebarannya.

Lukisan "Air Mancar" karya Srihadi Soedarsono. Dok. Srihadi Soedarsono

Lalu meletus peristiwa G30S pada 1965, yang oleh sebagian pihak, terutama militer, dianggap didalangi PKI. Akibatnya, hak hidup PKI dicabut. Kali ini, yang terjadi bukan sekadar sensor, melainkan perusakan dan pembakaran karya-karya seni rupa yang diciptakan seniman yang dianggap anggota atau simpatisan organisasi yang berada dalam naungan PKI. Praktis sebagian besar karya seni rupa seniman yang dianggap berada dalam atau dekat dengan PKI itu disingkirkan. Contohnya penghancuran Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta dan seisinya. Contoh lain adalah ketika Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) didirikan atas gagasan Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada November 1968, tak seorang pun seniman yang dianggap “kiri” diikutsertakan.

Kenyataannya, di dalam ataupun di luar TIM, friksi antarseniman bisa reda. Tak ada lagi frasa “pihak sana” dan “pihak sini”. Pergelaran apa pun terasa tanpa kendala, tentu dengan catatan. Rombongan Tari Cak dari Teges, Bali, yang sudah berada di dalam bus dan siap melaju ke TIM untuk tampil di Pesta Seni Rakyat 1972 mendadak disetop dan dilarang berangkat oleh lembaga pembina kesenian Bali yang bertanggung jawab langsung ke Gubernur Bali. Selain itu, beberapa pertunjukan dihentikan, bukan oleh TIM, melainkan oleh pemerintah.

Di ranah seni rupa, tak ada masalah hingga pameran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada 1975. Karya-karya yang dianggap kontroversial hanya melahirkan polemik antara para seniman dan pengamat seni. Memang terjadi pencoretan lukisan oleh Ali Sadikin, tapi rupanya hanya karena salah tafsir. Ini terjadi dalam pameran seni rupa untuk pembukaan Taman Mini Indonesia Indah pada April 1975. Sebelum pameran dibuka, Ali Sadikin melakukan inspeksi. Mendadak ia berhenti di sebuah lukisan, lalu mencoret-coret lukisan tersebut dengan bolpoin: “Sontoloyo!! Apa ini reklame barang Jepang??” Lalu dibubuhkan pula tanda tangannya. Itu lukisan Air Mancar karya Srihadi Soedarsono yang menggambarkan air mancur di depan Hotel Indonesia dan sejumlah papan reklame produk Jepang, yang pada kenyataannya, kalau toh ada reklame itu, tak begitu tampak.

Dewan Kesenian Jakarta kemudian menjelaskan kepada Gubernur bahwa lukisan tersebut merupakan kritik terhadap maraknya barang Jepang di Indonesia. Sebelumnya, pada 15 Januari 1974, mahasiswa berdemonstrasi di Jakarta untuk menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sebagai lambang dominasi Jepang pada perekonomian Indonesia. Unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan itu dikenal sebagai peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari).

Ali Sadikin akhirnya paham dan meminta maaf kepada Srihadi. Lukisan dengan coretan Ali itu kini menjadi koleksi pribadi Srihadi, yang tutup usia pada Februari 2022.

Sensor pemerintah terjadi kemudian. Dalam pameran Seni Rupa Seniman Muda 1979, sebuah karya grafis cetak saring disita. Karya itu berupa potret diri Suhardi, perupanya, yang berpakaian militer dengan teks di atas kepala “Presiden R.I. Th. 2001, Suhardi”. Bukan cuma karyanya yang disita, Suhardi juga ditahan di markas Garnisun Jakarta selama beberapa hari. Atas cawe-cawe Wakil Presiden Adam Malik, Suhardi kemudian bebas. Grafis Presiden RI 2001 itu pun populer dan bahkan Galeri Nasional Indonesia mengoleksinya, entah cetakan yang ke berapa.

Grafis "Presiden R.I. Th. 2001" karya Suhardi. Dok. IVAA

Perihal pembredelan seni rupa kemudian tak terdengar lagi, kecuali satu pelarangan pameran yang perlu dicatat. Pada Agustus 1993, Kepolisian Resor Kota Surabaya Selatan melarang Pameran Seni Rupa untuk Marsinah yang diselenggarakan Dewan Kesenian Surabaya.

Pameran ini untuk memperingati perjuangan Marsinah, buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Sidoarjo yang diculik, dianiaya, dan kemudian dibunuh pada 8 Mei 1993. Delapan petinggi perusahaan, termasuk pemiliknya, Yudi Susanto, kemudian ditahan dan dihukum penjara. Namun Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung membebaskan terdakwa karena dinilai tidak terlibat. Hal itu memantik dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus ini. Hingga sekarang kasus ini menjadi dark number alias tidak terungkap.

Polisi melarang pameran itu karena tidak berizin dan menyangkut kasus yang masih menjadi masalah politik di Jawa Timur. Padahal, menurut Dewan Kesenian Surabaya, mereka tak pernah memerlukan izin pameran sejak 1970-an dan tak pernah ada pameran yang dipersoalkan.

Setelah reformasi, untuk pertama kalinya ada pelarangan seni rupa pada Desember 2024. Di era Presiden Prabowo Subianto ini, Galeri Nasional Indonesia dan Kementerian Kebudayaan membatalkan pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang hendak menampilkan lukisan dan instalasi Yos Suprapto, perupa senior Yogyakarta. Galeri Nasional beralasan ada lukisan yang tidak sesuai dengan tema dan tidak disetujui kurator Suwarno Wisetrotomo, yang kemudian mundur sebagai kurator. 

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan beberapa lukisan Yos bermuatan politik, yang “mungkin makian terhadap seseorang”. Dia juga menyebutkan soal adanya lukisan telanjang dan adegan persetubuhan yang tidak pantas.

Sensor terhadap karya seni rupa, meskipun jarang, masih terus terjadi di Indonesia, siapa pun yang berkuasa. Kasus-kasus pelarangan sejak zaman Jepang itu memang berbeda-beda masalahnya. Namun satu hal yang sama bahwa publik tidak bisa menonton karya itu atau karya tersebut diturunkan setelah sebentar terpajang di ruang pameran, selain ada juga kasus penahanan terhadap perupanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bambang Bujono

Bambang Bujono

Kurator dan penulis ulasan seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus