Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memandang jasad suaminya: diam, tampan, muda, tanpa rambut putih sama sekali, dan tergolek di mausoleum. Film berjudul Imelda, salah satu pemenang faestival film Sundance, ini bukan kisah cinta, bukan pula cerita perpisahan. Salah satu adegannya memang menyentuh, melukiskan seorang istri menyenandungkan sebuah lagu lama berbahasa Tagalog ke telinga suaminya yang terbaring koma. Tapi itulah Imelda, satu karya sutradara Ramona Diaz, sebuah dokumentasi, rekaman hidup dari seorang perempuan tua yang istimewa. Usianya 75 tahun, kontroversinya menakjubkan.
Ia Imelda Romualdez Marcos, janda mendiang Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Dan film berdurasi 102 menit itu bercerita tentang perjalanan hidupnya yang panjang: seorang remaja pemenang gelar Ratu Metro Manila, cinta kilat yang berujung perkawinan dengan pemuda bernama Ferdinand, istri senator, ibu negara Filipina selama lebih 20 tahun, revolusi People Power yang membuat ia sekeluarga diasingkan ke Hawaii, dan comeback-nya keluarga Marcos dalam politik Filipina. Imelda film yang berkisah tentang dunia yang berubah, kecuali Imelda sendiri: tetap anggun dengan dagunya yang sedikit terangkat kala berbicara serius, dantentu sajagelung rambut di kepalanya.
Di kediaman Imelda, di Apartemen Manila, sutradara Ramona Diaz membiarkan perempuan ini berbicara tentang dirinya selama lima jam. Dan kita menyaksikan seorang mantan first lady yangdengan keyakinan penuhmelukiskan dirinya bagian dari keindahan, kecantikan, sekaligus pembawa aspirasi massa. Kombinasi nilai estetika-etika yang janggal, tapi Imelda percaya bahwa dirinya personifikasi mimpi-mimpi rakyat miskin di negeri itu akan kehidupan dan penampilan yang lebih baik. Dan kini, pada puncaknya adalah sebuah klaim: ia merasa berhak atas segala yang menopang kecantikannya. Sekalipun, sebagaimana dinarasikan dalam film, itu berarti membutakan mata seorang penyulam (Imelda sangat menggandrungi sulaman tangan), atau menghabiskan ratusan ribu dolar untuk 3.000 pasang sepatu disimpan di dalam klosetnya di Istana Malacanang.
Sutradara Ramona Diaz adalah satu di antara para sutradara dokumentasi yang tidak berpretensi menampilkan citra baik atau buruk profil yang disorotinya. Tapi tidak mungkin dihindarinya, Imelda telah bergerak ke satu titik yang menggambarkan nenek tua itu seorang narsis. Begitukah? Yang terang, salah satu sumber film itu menawarkan sebuah analisis menarik: Imelda Romualdez muda sebenarnya sosok lugu. Pribadinya berubah ketika pasangan hidupnya, Ferdinand Marcos, mulai tertarik pada lirikan para wanita cantik di kalangan elite Filipina. Sejak itu, Imelda tak lagi berorientasi pada suaminya. Ia memutuskan menempatkan dirinya sebagai pusat perhatian publik. Hasilnya di luar dugaan: Imelda dan Ferdinand Marcos menjadi sebuah tim politik yang kompak. Dan kita pun tahu, tak lama Marcos menjadi orang nomor satu di negeri itu, istrinya menduduki posisi Gubernur Metro Manila, Menteri Perumahan Rakyat, dan anggota Kongres.
Politik dan kecenderungan narsistis, dua hal yang susah dipisahkan. Imelda mempertahankan keputusan suaminya yang menyatakan Filipina dalam keadaan darurat pada 1972. Ia menjelaskan betapa tidak masuk akalnya pikiran yang menghubungkan pembunuhan Senator Benigno Aquino dengan Imelda atau suaminya pada 1983. Bersama suaminya, ia memainkan kartu Filipina sebagai "kepanjangan tangan" Amerika. Dua sejoli itu bertemu Presiden Richard Nixon, juga Fidel Castro dan Mao Zedong. Terakhir, Imelda bahkan menjumpai Kolonel Qadhafi, pemimpin Libya, di Tripoli, dan pulang dengan hasil gemilang. Qadhafi berjanji tak akan menyuplai persenjataan kepada kelompok-kelompok muslim separatis di Mindanao. Ya, mereka aktif di dunia diplomasi, tapi Imelda terus mengorbankan banyak hal demi nilai-nilai kecantikan dan keindahan yang diyakininya.
Sutradara Ramona Diaz mencoba netral seraya menyodorkan dua wajah Imelda sekaligus: pengkhianat dan pahlawan bangsa Filipina. Imelda tak berubah, ada gelung rambut di kepalanya, dagunya terangkat sedikit kala bicara serius. Di luar, zaman berubahnama Imelda mulai dielu-elukan, manakala demokrasi tak kunjung membawa ketenangan dan kemakmuran.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo