Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JiFFest memang menawarkan alternatif. Film-film bagus tapi dinilai tidak sanggup menyedot banyak penonton, dianggap tak layak putar di bioskop-bioskop, dikasih pentas istimewa. Bahkan sutradaranya didatangkan. JiFFest meneguhkan: di luar Hollywood masih ada dunia film yang luas, layak disimak. Di bawah ini adalah resensi-resensi kecil film yang akan diputar dalam festival film itu.
Pilu di Rumah Penjara Di Rumah Tahanan Carandiru, penjara terbesar di Brasil, sebuah pesta pecah. Begitu gol dicetak, angka keunggulan terlihat, para pendukung tim sepak bola pemenang cepat menghambur, seraya menggotong piala setinggi satu meter dan mengelu-elukan pahlawannya.
Ya, itulah pertandingan sepak bola antar-blok tahanan. Tapi suasana riuh-rendah itu sekonyong-konyong jadi hiruk-pikuk manakala mereka mengetahui apa yang diam-diam terjadi di belakang penjara. Beard, seorang penghuni blok yang memenangi pertandingan, bertarung melawan seorang napi dari blok lawan. Solidaritas langsung menyala, dan pisau, badik, parang, dan potongan besi ikut ambil bagian. Penjara berpenghuni 7.500 orang itu pun rusuh total, 300 aparat keamanan bersenjata lengkap mengepung Carandiru rapat-rapat.
Carandiru, karya sutradara Brasil, Hector Babenco Rodrigo, adalah sebuah rekonstruksi kejadian yang dikenal dengan Tragedi Oktober 1992. Alkisah, tersebutlah kepala penjara bernama Pires. Ia berhasil mencegah pasukan yang siap menyerbu ke dalam. Sebenarnya komandan pasukan akan segera menyerbu ke dalam. Pires bernegosiasi dan berhasil menyuruh para perusuh membuang senjatanya. "Kalau tidak, aparat kepolisian akan menyerbu dan kalian bisa celaka," kata Pires.
Senjata-senjata tajam telah berserakan, dan bendera-bendera putih berkibar di pintu dan jendela sel. Tapi antiklimaks terjadi. Aparat menembak dan tak ragu-ragu membantai siapa pun. Akhirnya, nyawa 111 napi melayang, darah menggenang.
Drama yang terkandung dalam cerita memang amat kuat. Sutradara Hector Babenco Rodrigo menangkap kejadian itu dengan pendekatan seorang realis yang tahu diri sekaligus rendah hati. Ia melakukan banyak investigasi, tapi tak melakukan banyak dengan kameranya, kecuali satu rekonstruksi berdasar fakta. Untuk memberi makna yang lebih dalam, sang sutradara memberi konteks yang kuat. Hasilnya, 150 menit yang sangat "hidup" dan "nyata".
Film produksi Sony Pictures Classics ini telah menuturkan kepiluan dengan cara yang sangat anggun. Tak mengherankan jika film berbahasa Portugis itu berhasil meraih sejumlah penghargaan: Academy Award, Toronto Film Festival, Cannes Film Festival, dan Sundance Film Festival.
Anakku, Hasil Didikanku Juga Inilah film dengan topik biasa: pendidikan dalam keluarga. Yang tidak biasa dari film bertajuk I Not Stupid ini adalah kemampuan sutradara bertutur dari sudut pandang si anak. Menyoroti prestasi anak-anak di sekolah, sutradara meneguhkan hubungan sebab-akibat antara pendidikan oleh orang tua di rumah dan performa anak-anak.
Film dibuka dengan adegan tiga sekawan Liu Kok Pin, Ang Boon Hock, dan Terry Kho yang dijemput orang tua masing-masing. Meski sama-sama sohib di kelas EM3 sekolah dasar, masing-masing memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Ayah Kok Pin bekerja di sebuah biro iklan, selalu pulang larut, dan memasrahkan pendidikan anaknya kepada sang istri. Terry anak pengusaha sukses yang suka main perintah, dengan ibu yang suka mengatur. Sedangkan Boon Hock murid yang pintar dan suka membantu ibunya berjualan di warung mi milik keluarga. Di sela-sela belajar, Boon Hock masih harus membantu adiknya mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
Nilai pelajaran Kok Pin tergolong papan bawah. Bahkan sampai ujian akhir pun nilainya hanya mencapai 51 dari skala 100. Padahal, hampir tiap malam ibunya selalu menemaninya belajar. Kok Pin acap kali menerima cambukan di tangan gara-gara tak segera mengerti rumus matematika yang diajarkan ibunya. Di kelas, sang bo-cah malah lebih suka menggambar gurunya daripada harus menelan rumus-rumus matematika yang membuat kepalanya puyeng. Belakangan, keahliannya menggambar justru menyelamatkan kedua sahabatTerry dan Boon Hockyang diculik dua penjahat. Sebagai saksi mata satu-satunya, Kok Pin melukis wajah kedua penculik dan menyerahkannya ke polisi.
Boleh jadi sutradara Jack Neo sedikit menyindir pemerintahan Singapura lewat film ini. Sosok Terry digambarkan sebagai orang yang sudah diatur dan dicukupi segalanya. Akibatnya, Terry tumbuh menjadi seorang anak yang kurang responsif terhadap sekitar, tidak mandiri, dan tak mampu bersikap. Acap kali sikap penurut Terry juga membuatnya tak kreatif. Selalu hanya berpikir satu jalur, bukan dengan banyak warna.
Menghapus Kenangan, Menuai Cinta Maksud hati ingin menghapuskan segala kenangan tentang bekas pacarnya. Dengan begitu, rasa pahit lekas terbang dari hati. Dan Joel bisa hidup normal lagi. Tapi Eternal Sunshine karya sutradara Michael Gondry tentu saja tidak membiarkan kenormalan terjadi. Cerita jadi menarik karena Joel tak sanggup menghapuskan memori kebersamaan dirinya dengan Clementine, perempuan yang paling dibencinya, juga dicintainya.
Nekat, Joel mendatangi klinik psikiater. Dia ikut program penghapusan memori. Tapi hatinya berontak, melawan kehendak pikirannya. Kenangan indah bersama Clementine semakin jelas terbayang dan kini dadanya penuh sesak dengan figur dara ayu itu. Tapi, layaknya film-film Hollywood, kisah ini berujung happy end: Joel kembali bercengkerama bersama Clementine.
Dalam film ini, kita akan menemukan aksi panggung Jim Carreypemeran Joelyang jauh dari kocak, konyol, dan saru. Menonton aksinya, mungkin kita akan teringat pada The Truman Show ataupun sosok Andy Kaufman di film Man on the Moon. Betapa seriusnya Carrey memerankan pria yang dilanda depresi dan segudang kesedihan.
Ini memang bukan film terbaik yang pernah dibintangi Jim Carey. Ide ceritanya sederhana, tertolong penampilan aktor dan aktris kondang lain: Kate Winslet, Kirsten Dunst, Mark Ruffalo, Elijah Wood, dan Tom Wilkinson. Tapi peran yang dilakoni Carrey tampak pas, seperti pisau dengan sarungnya.
Semangkuk Nasi, Sepotong Cinta Perseteruan dua keluarga itu seperti tak berujung. Berbilang tahun, dua keluarga pedagang nasi ayam hainan di sebuah distrik di Singapura itu hidup bak kucing dan anjing. Tapi sekonyong-konyong muncul perkembangan baru. Sepotong cinta bersemi di antara anak-anak dari dua keluarga tersebut, dan perlahan mendinginkan api permusuhan mereka.
Cinta Fenson Wong (diperankan Pierre Png) dan Audrey Chan (May Yee Lum) bermula dari sebuah panggung teater kampus. Keduanya terlibat dalam pementasan drama percintaan Romeo and Juliet. Fenson, yang memerankan Romeo, dan Audrey, sebagai Juliet, tak hanya terbakar asmara di atas panggung. Romeo and Juliet lakon Shakespeare yang juga berlangsung di dunia nyata. Fenson dan Audrey sepasang kekasih sungguhan, cinta terlarang yang menyalahi tradisi permusuhan lama. Tapi tradisi permusuhan itu rupanya kalah kuat dibandingkan dengan cinta dua anak muda. Sejoli itu justru jadi perekat hubungan yang retak.
Chicken Rice War, tafsir modern atas karya klasik Shakespeare, Romeo and Juliet, adalah komedi romantis yang menggubah tragedi tanpa hujan air mata. Sepanjang 100 menit, film arahan sutradara Singapura, Cheah Chee Kongbiasa dipanggil CheeKini menyuguhkan komedi situasi segar. Dialog-dialog dalam bahasa Inggris logat SingapuraSinglish istilahnyamenebarkan suasana komedi sekaligus mengukuhkan setting lokal Singapura. Ya, itulah film yang meraih penghargaan di Toronto International Film Festival 2001.
Bagi para penikmat MTV, CheeK bukanlah sutradara yang asing. Dialah yang menyutradarai serial Rouge di jaringan televisi musik itu. Di JiFFest tahun ini, Chicken Rice tampil dalam seksi film remaja. Mengusung tema universal, masakan dan cinta, film produksi Raintree Pictures ini boleh jadi memikat penonton belia di Jakarta. Sebab, persoalan dalam film itu bukan monopoli negeri jiran, Singapura. Ia juga bisa hadir di sini.
Rommy Fibri, Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo