Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seperti Sukatani, Lagu Iwan Fals Juga Sentil Polisi, Akademikus: Seni Lahir dari Sikap Kritis

Musikus Iwan Fals, seperti halnya Sukatani, pernah membikin lirik lagu bernada sentilan pada aparat kepolisian.

22 Februari 2025 | 13.18 WIB

Duo band Sukatani. Dok Nois Are Sip!
Perbesar
Duo band Sukatani. Dok Nois Are Sip!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Musikus Iwan Fals pernah membuat lagu berjudul Kereta Tiba Pukul Berapa. Di salah satu bait lirik lagu yang menceritakan ketergesa-gesaan dia menjemput sahabat karibnya yang tiba di stasiun, Iwan menyentil polisi lalu lintas yang menghadang di lampu merah. Penggalan syair itu berbunyi:

Kupacu sepeda motorku
Jarum jam tak mau menunggu
Maklum rindu

Traffic light aku lewati
Lampu merah tak peduli
Jalan terus
Di depan ada polantas
Wajahnya begitu buas
Tangkap aku
Tawar menawar harga pas tancap gas


Lagu yang menjadi bagian dari album Sumbang pada 1983 itu terasa masih relevan sampai sekarang. Belakangan, Sukatani, grup musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, juga membuat lagu bernada sentilan pada polisi dengan judul Bayar Bayar Bayar. Lirik lagunya sebagai berikut:

Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi

Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Namun tiba-tiba Sukatani mengumumkan  penarikan lagu itu dari semua platform. Pengumuman itu disampaikan oleh personel band Sukatani di akun media sosial @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025. Dalam unggahan itu, dua personil Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis) menyatakan permintaan maafnya kepada Kapolri dan institusi kepolisian.

Dia mengatakan lagu itu diciptakan sebagai kritik terhadap anggota kepolisian yang melanggar aturan. “Lagu itu saya ciptakan untuk oknum kepolisian yang melanggar peraturan,” ujarnya.

Dia juga meminta pengguna media sosial untuk menghapus video atau lagu yang sudah terlanjur tersebar di sosial media. “Karena apabila ada risiko di kemudian hari sudah bukan tanggung jawab kami dari Sukatani,” ujar Lufti.

Kepolisian Daerah Jawa Tengah membantah mengintervensi sehingga Sukatani menarik lagu tersebut dan meminta maaf. "Nihil ya," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jateng Komisaris Besar Artanto dalam keterangan video yang diterima Tempo pada Jumat, 21 Februari 2025. "Kami kemarin memang sempat klarifikasi terhadap band Sukatani."

Namun, dia tak menjelaskan lebih detail ihwal waktu dan tempat klarifikasi itu. Artanto menuturkan, klarifikasi tersebut dilakukan oleh penyidik Direktorat Siber Polda Jawa Tengah.

Artanto mengklaim penyidik hanya berbincang-bincang dengan anggota Sukatani. "Jadi, klarifikasi itu hanya sekedar kami ingin mengetahui maksud dan tujuan pembuatan karya tersebut," ujarnya.

Pengajar Program Studi Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Joko Winarko atau yang akrab disapa Joko Porong menilai tema musik sangat bisa merambah ke masalah apa saja. Karena memang musik atau seni lahir dari sikap kritis terhadap fenomena, bahkan yang bersifat imajinatif sekali pun.

“Nantinya akan disajikan dengan verbal atau abstrak, itu tinggal pilihan senimannya. Jadi misal Sukatani, Iwan Fals atau Van Gogh kemudian membuat karya dengan tema apa pun, itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi,” kata Joko saat dihubungi, Sabtu, 22 Februari 2025.

Ihwal lagu Sukatani yang sempat diklarifikasi Polda Jawa Tengah, Joko menduga polisi kurang dekat dengan seni. Ketidaknyamanan polisi atas karya lagu juga barangkali karena kurangnya sense of seni.

“Di masyarakat kita ini kritik kan masih dipandang sebagai omelan atau cemoohan, padahal kritik yang tertuang pada karya seni adalah hasil pengamatan nyata atas sebuah kejadian,” kata Joko.

Menurut Joko seniman yang punya jiwa kritis terhadap fenomena sosial seharusnya dirangkul untuk memberikan masukan. Ia mencontohkan ketika Bung Karno merangkul dalang wayang kulit Ki Nartosabdo untuk mensukseskan program nasionalisme yang sedang digaungkan.

“Sukarno malah berterimakasih pada Nartosabdo atas kritik-kritik yang menilai bahwa Bung Karno masih terlalu kesukuan dan primordialisme. Lalu Nartosabdo dirangkul untuk menyuarakan nasionalisme di pakeliran,” kata Joko. 

Rizky Dewi Ayu, Amelia Rahima Sari berlkontribusi pada artikel ini.

Pilihan Editor: Mengenang Kapal KMP Tampomas II Karam 44 Tahun Lalu, Ebiet G Ade dan Iwan Fals Pernah Bikin Lagunya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus