Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga belas musisi duduk bersila dalam pola setengah lingkaran menghadapi kumpulan lilin yang memendarkan cahaya temaram di panggung. Ada suasana khusyuk yang terbangun ketika kuku jari mereka mulai mengusap permukaan kulit rebana dan menghasilkan irama yang lembut beberapa saat. Suasana berubah riuh oleh entakan ketimpring dan genjring dalam tempo yang cepat, dan ditingkahi teriakan-teriakan improvisasi serta selawatan yang saling bersahutan. Kemudian musik kembali ke dalam pelukan andante (lambat dan khusyuk) lewat tarikan vokal yang hanya diiringi pukulan rebana. Sudah itu, senyap.
Inilah salah satu nomor pertunjukan Many Skins One Rhythm yang berlangsung di gedung Taman Budaya Yogyakarta, Rabu pekan lalu. Karya yang bertajuk Pantai Rebana ini dibawakan oleh kelompok musik Kua Etnika yang dipimpin oleh Djaduk Ferianto, yang berkolaborasi dengan penabuh gendang India, Kirubakaran, dan Mohd Kamrulbahri Hussin dari Malaysia. Ketiga musisi ini memiliki jam terbang yang sudah cukup tinggi dalam dunia perkusi.
Djaduk Ferianto dengan kelompok Kua Etnika sudah dikenal sebagai kelompok musik kontemporer yang banyak mengeksplorasi instrumen perkusi. Kirubakaran dengan instrumen perkusi India mengikuti berbagai festival musik internasional. Sedangkan Kamrulbahri adalah anggota Asean Percussion Unit dan mengajar di Akademi Seni Kebangsaan Malaysia. Mereka bertiga dan musisi Kua Etnika terlibat dalam lokakarya selama 11 hari di Yogyakarta, yang disponsori oleh Arts Network Asia. Dalam lokakarya ini, terjadi dialog musikal antara musisi Indonesia, India, dan Malaysia. "Awalnya memang sangat sulit karena harus memadukan tiga gaya," kata Djaduk. Lantas, terbuktilah bahwa bahasa musik jauh lebih mudah, sehingga bisa menghasilkan delapan komposisi yang mereka mainkan selama dua jam penuh dalam pertunjukan itu.
Mereka mengusung berbagai instrumen perkusi yang umumnya merupakan instrumen musik tradisi, semisal kendang Jawa, kendang Sunda, rebana genjring dari Banyuwangi, rebana ketimpring dari Betawi, beduk, tabla, ganjira, nagra, yang semuanya mengandalkan sumber bunyi dari entakan kulit. Pertunjukan ini menjadi menarik karena masih jarang pementasan musik yang hanya mengandalkan satu jenis instrumen. "Kita ingin lebih banyak ngomong dengan alat-alat musik dari kulit ini karena kecenderungan musisi saat ini lebih banyak menggunakan beragam alat musik," ujar Djaduk.
Kua Etnika memang sedang jatuh hati dengan kesederhanaan warna musik. Dalam kesempatan itu, mereka menganugerahi seorang pengamen Solo, Sujud, dengan gelar Pengamen Agung. Sujud sosok yang konsisten mengandalkan kendang untuk berkelana dari pintu ke pintu, melantunkan lagu-lagu humor, baik karangannya sendiri maupun lagu pop yang sudah dipelintir sehingga merangsang orang tergelak.
Ketiga musisi di atas banyak menyerap elemen bunyi dari khazanah musik etnis dan pada beberapa nomor cenderung bersifat naratif. Pada nomor pembuka, Perang Hujan, Kamrulbahri membawa orang pada suasana saat terperangkap dalam hujan lebat dengan permainan nduku (othong-othong), dari yang berukuran kecil hingga besar, oleh 14 musisi. Sedangkan pada komposisi Pantai Rebana, penonton terhanyut dalam alunan lembut dan gejolak ombak di pantai.
Yang juga menarik di sini adalah tingkat kebebasan para musikus itu dalam berekspresi. Mereka menerabas pakem musik tradisi dan modern. Kirubakaran dengan sangat bergairah mengentak-entakkan tangan dan jemarinya di atas tabla yang menghasilkan nada tinggi pada nomor Panggil, sementara 10 musisi lainnya meningkahinya dengan genjring Purworejo, ketimpring, jimbe tutul, dan ketipung. "Di India saya hanya bisa memainkan kendang di kuil," kata Kirubakaran, yang kini menetap di Malaysia. Kirubakaran dan Kamrulbahri juga merasa terbebas dari konvensi musik modern dalam proses penciptaan yang sangat bebas di lingkungan kelompok Kua Etnika. "Saya belajar banyak di sini, mengolah rasa dalam proses bermusik," kata Kamrulbahri.
Sayang, semangat eksplorasi instrumen musik perkusi dalam kolaborasi ini agak tercemari dengan komposisi Indis yang melibatkan instrumen tiup saksofon dan suling. Kolaborasi Djaduk (jimbe dan suling), Septa (saksofon), dan Kirubakaran (gendang) menghadirkan corak jazz yang dinamis yang sangat berbeda dengan komposisi sebelumnya. Seolah masih ada setitik rasa tak percaya diri bahwa instrumen perkusi bisa menghasilkan komposisi musik yang otonom tanpa harus direcoki dengan instrumen musik lain.
Raihul Fadjri, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo