Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang Terjegal Izin Frekuensi

JTV pekan lalu disegel polisi. Kasus pelanggaran izin frekuensi itu juga bisa menjegal stasiun TV lain.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Mustofa tampak gelisah. Ruang rapat berpendingin udara yang terletak di lantai 1 Graha Pena, Surabaya, terasa panas baginya. Sesekali General Manager JTV, stasiun televisi di Surabaya, itu menyeka keringat yang mengucur di dahi.

Ketegangan yang terjadi Senin pagi pekan lalu itu dipicu oleh kedatangan empat polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan dua petugas dari Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya. Mereka, yang diterima dengan ramah, ternyata membawa kabar mengejutkan.

"Kami datang untuk menyita dan menggeledah frekuensi 38 yang Anda gunakan karena JTV menggunakan frekuensi itu tanpa izin," kata Komisaris Polisi Yoyok Sri Nurcahyo, Kepala Bagian Tindak Pidana Tertentu Direktorat Serse Polda Jawa Timur, yang memimpin rombongan itu. Ia lalu menyerahkan empat lembar surat penyitaan dan penggeledahan dari Pengadilan Negeri Surabaya.

Setelah berdebat sekitar satu setengah jam, petugas bergegas menuju lantai 21 Graha Pena, lokasi studio JTV. Sasaran mereka: pemancar JTV. Tapi lift yang membawa mereka macet di lantai 12. Rombongan petugas pun terpaksa menaiki tangga darurat.

Sesampai di lantai 21, mereka langsung menyegel satu set alat pemancar merek ABE berkekuatan 2 kilowatt. Aksi penyegelan itu memang tak membuat aktivitas awak JTV langsung terhenti. Rekaman Kentrung Funky—mata acara andalan JTV—tetap bisa dinikmati di kanal frekuensi 36. Rupanya JTV selama ini memakai dua kanal. Bahwa kanal 38 yang disegel, itu kabarnya karena dilaporkan mengganggu siaran sebuah stasiun televisi nasional.

Menurut Yoyok, polisi bertindak tegas karena JTV tak mengindahkan imbauan agar tidak melakukan siaran sebelum stasiun ini memiliki izin frekuensi 38 ataupun 36 yang selama ini dipakainya. "Sebagai orang Ja-Tim, saya ikut bangga ada TV lokal. Tapi hukum harus tetap ditegakkan," ujar Yoyok.

Di mata Sardjono, JTV melanggar Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Telekomunikasi, yang mewajibkan pihak pengelola siaran memiliki izin dari menteri atau pemerintah. "Yang kami lakukan bukan penghentian siaran, melainkan menghentikan penggunaan frekuensi. Sebab, JTV memang belum memiliki izin untuk menggunakan frekuensi," kata Kepala Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Surabaya itu.

Ketika dimintai komentar, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu'arif, menjawab singkat. "Mereka menggunakan frekuensi tanpa izin, berarti melanggar undang-undang. Ya, harus diproses secara hukum," katanya kepada Sri Wahyuni dari Tempo News Room.

Tindakan tegas seperti terhadap JTV, menurut Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Jamhari Sirat, juga akan dilakukan terhadap stasiun TV lain yang tak memiliki izin frekuensi. Sebagaimana diketahui, saat ini ada delapan stasiun TV lokal—baik yang sudah beroperasi penuh maupun yang masih uji coba. "Kami melarang pemerintah daerah menerbitkan izin penggunaan frekuensi sampai terbitnya undang-undang penyiaran yang baru," kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Gatot Dewo Broto, seperti dikutip Koran Tempo.

Namun, JTV berkukuh tak bersalah. Berlandaskan Undang-Undang Otonomi Daerah, mereka merasa cukup mengantongi izin rekomendasi dari gubernur, Kanwil (sekarang Dinas) Perhubungan Jawa Timur, dan Pemerintah Kota Surabaya. Adapun tembusan dari surat rekomendasi Gubernur Ja-Tim sudah dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. "Lagi pula, masa, disuruh minta izin ke Menteri Penerangan? La, kementeriannya saja sudah tak ada," kata Agus setengah berkelakar.

JTV juga merasa diperlakukan tak adil karena "pelanggaran" izin yang dilakukan televisi lain didiamkan saja. Agus menunjuk TVRI nasional, yang menggunakan kanal TV Programa II Surabaya, yang sudah tak mengudara lagi. Juga pembelian izin siaran Duta Visual Mandiri oleh Kompas, yang kemudian mengubah nama stasiun itu menjadi TV 7. "Padahal dalam Undang-Undang Telekomunikasi jelas disebut bahwa izin penyelenggaraan penyiaran tak boleh dipindahtangankan," ujarnya.

Namun, Suprawoto, Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, membantah klaim JTV soal perizinan. Menurut Suprawoto, pihaknya tak pernah memberikan izin kepada JTV. "Pemprov hanya memberi rekomendasi untuk membantu stasiun TV lokal yang akan berdiri di Ja-Tim. Kalau masalah izin frekuensi, itu urusan pusat," ujarnya.

Jadi? Urusan izin frekuensi ini tampaknya masih akan berlarut-larut. Pihak JTV mengaku sudah menyiapkan dua pengacara untuk menangani pelanggaran frekuensi itu. Mereka juga akan menggugat pemerintah ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dalam hal penyegelan. Dan untuk sementara mereka ngotot tetap bersiaran dengan menggunakan kanal 36.

Sementara itu, pemilik JTV yang juga bos grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, sudah bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dan Menteri Perhubungan Agum Gumelar. "Baik Gubernur maupun Menteri Perhubungan telah memberi lampu hijau izin JTV akan keluar dalam waktu dekat," ujar Agus.

Nugroho Dewanto, Adi Mawardi dan Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus