MELEWATI sejumlah perbedaan pendapat, film The Message akhirnya
telah lolos sensor. Karya sutradara Amerika kelahiran Alepoo,
Suriah, itu pekan silam telah dipertunjukkan kepada sejumlah
wartawan di Jakarta. Dan para penonton umum tentu sebentar lagi
akan dapat pula menyaksikan film tersebut di bioskop-bioskop.
Terbuka pilihan: mau versi Arab atau versi Inggeris. Tentu saja
ada bedanya. Yang versi Inggeris, dimainkan oleh bintang-bintang
Hollywood -- Anthony Quinn, Irena Papas -- sedang yang versi
Arab dimainkan oleh aktor-aktris dari Timur Tengah.
Setelah lolos sensor kelihatannya film itu segera saja disedot
oleh gedung bioskop -- hingga timbul kesan bahwa pemilik film
itu tadinya cuma sibuk berurusan dengan para pemilik gedung
tempat pertunjukan tersebut. Betulkah? Ternyata tidak. Urusan
dengan pihak Alim Ulama memang cepat selesai. Majelis Ulama pada
tanggal 28 Juni yang lalu menyatakan tidak adanya keberatan dari
pihak mereka terhadap film tersebut. Pernyataan ini kemudian
menjadi pendorong utama bagi sensor untuk meloloskan film
tersebut, meski tokoh Islam seperti Moh. Natsir tetap bertahan
pada pendapat semula untuk menolak film tersebut (lihat
Wawancara).
Yayasan Aini & LBH
Masalah yang justru menyertai film tersebut hingga saat ini
adalah yang menyangkut segi jual belinya. Syahdan, maka jauh
sebelum memasukkan film itu importir yang sekarang melakukan
transaksi dengan pihak produser di sana, di Jakarta sudah ada
pihak lain yang berniat dan berusaha untuk memasukkan film itu
ke Indonesia. Pihak yang berusaha tapi kemudian gagal itu adalah
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Aini yang bergerak di
bidang perawatan mata. Mengenai usaha di bidang film tersebut,
Adnan Buyung Nasution SH, Direktur LBH, menjelaskan alasannya:
"Pertama film tersebut baik sekali untuk dakwah. Yang kedua,
terus terang saja, untuk mencari dana bagi LBH dan rumah sakit
milik Yayasan Aini."
Dengan dua tujuan itulah kabarnya maka LBH dan Yayasan Aini
sejak dua tahun silam berusaha agar film The Message bisa masuk
di Indonesia. "Kontak-kontak dengan Mustafa Akkad, sutradara dan
produser film itu, telah dilakukan. Dan sebuah perusahaan impor
film telah pula ditunjuk oleh kami untuk mengurusi pengimporan
film tersebut," kata seorang pengurus Yayasan Aini. Tapi sebelum
kegiatan cari uang di sekitar film itu berlangsung, kedua
lembaga itu terlebih dahulu dalam bidang kampanye. Mereka ingin
meyakinkan pihak-pihak yang bisa menghitam-putihkan nasib film
itu di Indonesia nantinya.
Untuk keperluan itulah sebuah rekaman video film tersebut
diputar di rumah Buyung Nasution beberapa waktu yang lalu.
Sejumlah tokoh agama dan pemuka masyarakat diundang untuk
berdiskusi. Pada umumnya mereka tidak menaruh keberatan. "Bahkan
Menteri Penerangan Mashuri tidak berkeberatan meloloskan film
itu jika Majelis Ulama memberikan persetujuannya," kata Buyung
pekan silam kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO. "Yang waktu itu
menolak adalah Menteri Agama Mukti Ali. Tapi Mukti Ali tidak
menghalanghalangi usaha kampanye kita," tambah Buyung pula.
Isae Berhasil
Nah, ketika usaha kampanye itu memperlihatkan hasil, importir
lain muncul di pentas jual beli. Rupanya importir yang
dipercayai oleh LBH dan Yayasan Aini itu kekurangan modal,
sedang film yang akan mereka beli harganya terlampau mahal. Dan
importir lain itu, adalah PT Isae Film, yang memang tergolong
perusahaan besar. Sudah tentu film itu dengan mudah jatuh ke
tangan Isae.
Itu tadi keterangan yang diperoleh dari pihak LBH. Tapi dari
sebuah sumber di kalangan importir diperoleh keterangan bahwa PT
Isae bukanlah pemilik tunggal film itu. "Begitu mahalnya film
itu hingga sejumlah orang mengumpulkan modal, dan Isae cuma
salah satu dari peserta pemilik modal. Cuma nama Isae memang
dipakai di situ," kata sumber tersebut.
Terhadap kegagalan LBH dan Yayaall Aini dalam urusan memperoleh
dana itu, PT Isae kabarnya ada menawarkan sejumlah uang. Tapi
pihak LBH dan Yayasan Aini menolak tawaran yang berjumlah Rp 50
juta itu. "Bukan jumlahnya yang jadi soal, tapi caranya itu,"
kata Nani Yamin dari Yayasan Aini. Maunya bagaimana? "Kami tidak
ingin uang tunai begitu. Kami ingin lengket dengan film itu.
Jadi dengan prosentase," kata Buyung.
Bagaimana dengan PT Isae? Direktur Isae, Alex Suteja, hingga
akhir pekan silam belum bisa memberikan keterangan apa pun. Dan
para karyawan di kantornya juga tidak bersedia memberi
keterangan yang dibutuhkan. "Pengurusan film itu tidak dilakukan
di kantor ini," kata seorang karyawan. Ini menyimpang dari
biasanya. Mengapa? "Yang tahu cuma pak Alex dan isterinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini