Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Setelah masuk, siapa punya ?

Film the message yang lolos sensor dan segera dapat disaksikan masih ada masalah. lbh dan yayasan aini yang memperjuangkan masuknya film itu, sedang pt isei yang memetik hasilnya karena modalnya besar. (fl)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELEWATI sejumlah perbedaan pendapat, film The Message akhirnya telah lolos sensor. Karya sutradara Amerika kelahiran Alepoo, Suriah, itu pekan silam telah dipertunjukkan kepada sejumlah wartawan di Jakarta. Dan para penonton umum tentu sebentar lagi akan dapat pula menyaksikan film tersebut di bioskop-bioskop. Terbuka pilihan: mau versi Arab atau versi Inggeris. Tentu saja ada bedanya. Yang versi Inggeris, dimainkan oleh bintang-bintang Hollywood -- Anthony Quinn, Irena Papas -- sedang yang versi Arab dimainkan oleh aktor-aktris dari Timur Tengah. Setelah lolos sensor kelihatannya film itu segera saja disedot oleh gedung bioskop -- hingga timbul kesan bahwa pemilik film itu tadinya cuma sibuk berurusan dengan para pemilik gedung tempat pertunjukan tersebut. Betulkah? Ternyata tidak. Urusan dengan pihak Alim Ulama memang cepat selesai. Majelis Ulama pada tanggal 28 Juni yang lalu menyatakan tidak adanya keberatan dari pihak mereka terhadap film tersebut. Pernyataan ini kemudian menjadi pendorong utama bagi sensor untuk meloloskan film tersebut, meski tokoh Islam seperti Moh. Natsir tetap bertahan pada pendapat semula untuk menolak film tersebut (lihat Wawancara). Yayasan Aini & LBH Masalah yang justru menyertai film tersebut hingga saat ini adalah yang menyangkut segi jual belinya. Syahdan, maka jauh sebelum memasukkan film itu importir yang sekarang melakukan transaksi dengan pihak produser di sana, di Jakarta sudah ada pihak lain yang berniat dan berusaha untuk memasukkan film itu ke Indonesia. Pihak yang berusaha tapi kemudian gagal itu adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Aini yang bergerak di bidang perawatan mata. Mengenai usaha di bidang film tersebut, Adnan Buyung Nasution SH, Direktur LBH, menjelaskan alasannya: "Pertama film tersebut baik sekali untuk dakwah. Yang kedua, terus terang saja, untuk mencari dana bagi LBH dan rumah sakit milik Yayasan Aini." Dengan dua tujuan itulah kabarnya maka LBH dan Yayasan Aini sejak dua tahun silam berusaha agar film The Message bisa masuk di Indonesia. "Kontak-kontak dengan Mustafa Akkad, sutradara dan produser film itu, telah dilakukan. Dan sebuah perusahaan impor film telah pula ditunjuk oleh kami untuk mengurusi pengimporan film tersebut," kata seorang pengurus Yayasan Aini. Tapi sebelum kegiatan cari uang di sekitar film itu berlangsung, kedua lembaga itu terlebih dahulu dalam bidang kampanye. Mereka ingin meyakinkan pihak-pihak yang bisa menghitam-putihkan nasib film itu di Indonesia nantinya. Untuk keperluan itulah sebuah rekaman video film tersebut diputar di rumah Buyung Nasution beberapa waktu yang lalu. Sejumlah tokoh agama dan pemuka masyarakat diundang untuk berdiskusi. Pada umumnya mereka tidak menaruh keberatan. "Bahkan Menteri Penerangan Mashuri tidak berkeberatan meloloskan film itu jika Majelis Ulama memberikan persetujuannya," kata Buyung pekan silam kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO. "Yang waktu itu menolak adalah Menteri Agama Mukti Ali. Tapi Mukti Ali tidak menghalanghalangi usaha kampanye kita," tambah Buyung pula. Isae Berhasil Nah, ketika usaha kampanye itu memperlihatkan hasil, importir lain muncul di pentas jual beli. Rupanya importir yang dipercayai oleh LBH dan Yayasan Aini itu kekurangan modal, sedang film yang akan mereka beli harganya terlampau mahal. Dan importir lain itu, adalah PT Isae Film, yang memang tergolong perusahaan besar. Sudah tentu film itu dengan mudah jatuh ke tangan Isae. Itu tadi keterangan yang diperoleh dari pihak LBH. Tapi dari sebuah sumber di kalangan importir diperoleh keterangan bahwa PT Isae bukanlah pemilik tunggal film itu. "Begitu mahalnya film itu hingga sejumlah orang mengumpulkan modal, dan Isae cuma salah satu dari peserta pemilik modal. Cuma nama Isae memang dipakai di situ," kata sumber tersebut. Terhadap kegagalan LBH dan Yayaall Aini dalam urusan memperoleh dana itu, PT Isae kabarnya ada menawarkan sejumlah uang. Tapi pihak LBH dan Yayasan Aini menolak tawaran yang berjumlah Rp 50 juta itu. "Bukan jumlahnya yang jadi soal, tapi caranya itu," kata Nani Yamin dari Yayasan Aini. Maunya bagaimana? "Kami tidak ingin uang tunai begitu. Kami ingin lengket dengan film itu. Jadi dengan prosentase," kata Buyung. Bagaimana dengan PT Isae? Direktur Isae, Alex Suteja, hingga akhir pekan silam belum bisa memberikan keterangan apa pun. Dan para karyawan di kantornya juga tidak bersedia memberi keterangan yang dibutuhkan. "Pengurusan film itu tidak dilakukan di kantor ini," kata seorang karyawan. Ini menyimpang dari biasanya. Mengapa? "Yang tahu cuma pak Alex dan isterinya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus