UNDANG-UNDANG Perkawinan sudah 4 tahun lalu diundangkan. Namun
tetap juga pelaksanaannya masih mengundang banyak masalah.
Misalnya: sampai sejauh mana peranan hukum adat yang juga banyak
berurusan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga? Bukankah
hukum itu masih banyak mengikat penduduk di luar kota besar?
Menyoroti kehidupan suku Toraja Sa'dan di pegunungan Sulawesi
Selatan, seorang lektor kepala FH-UI telah berusaha mengaitkan
relevansi hukum adat dengan pelaksanaan UU Perkawinan No.
1/1974. Ia adalah nyonya Tapi Omas Ihromi-Simatupang, 18 tahun,
yang berhasil mempertahankan tesis soal hukum adat perkawinan
Toraja di depan regu promotor yang diketuai Prof R. Subekti SH.
Judul lengkap disertasi Dr dalam Ilmu Hukum setebal 335 halaman
yang dibacakan di aula UI Salemba, Sabtu 8 Juli lalu itu
berbunyi: Adat Perkawinan Toraja Sa'dan dan tempatnya dalam
hukum positif masa kini suatu studi antropologi hukum.
Kata Ny. Ihromi kepada George Adicondro dari TEMPO: "Pengaturan
wewenang lembaga hukum adat perkawinan ini sangat penting bagi
suku Toraja Sa'dan, terutama karena 50% masih menganut
kepercayaan asli Aluk To Dolo." Dan dengan keluarnya UU
Perkawinan yang dinyatakan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975,
timbul beberapa masalah. Terutama pasal 2 yang menyatakan bahwa
perkawinan hanya sah bila dilakukan menurut ketentuan "hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu," dan "dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Itu berarti, perlu pendaftaran perkawinan di kantor Catatan
Sipil -- yang biasanya hanya ada di kota yang (agak) besar. Bagi
yang beragama Kristen, Katolik atau Islam, tak ada masalah.
Sebab pendeta, pastor atau ulama kini otomatis bisa berfungsi
(atau ber-dwifungsi7) sebagai petugas Catatan Sipil. "Tapi
bagaimana dengan penganut Aluk To Dolo, yang tinggal di pelosok
gunung auh dari kota-kota Rantepao dan Makale?" tanya Dr T.O.
Ihromi. Dengan catatan: pengertian "jauh" harus dilihat dalam
konteks medan setempat, yakni kira-kira 5 hari berjalan kaki
atau naik kuda.
Mungkin jalan keluarnya bisa dengan mengangkat pemuka adat --
tomina misalnya -- menjadi petugas Catatan Sipil juga. Berarti
setingkat dengan pastor, pendeta, atau ulama. Sebab toh
fungsinya kurang lebih sama. Tapi Nyonya Ihromi yang juga
dikenal sebagai seorang aktivis Dewan Gereja Indonesia,
tampaknya tak begitu setuju.
Alasannya: "Tomina tak dapat disamakan begitu saja dengan
pendeta atau ulama. Dia fungsinya banyak. Ya pembaca mantera
aluk (keharusan) dan Pamali (pantangan) adat, ya dukun yang
bertugas mendamaikan si pasien dengan arwah leluhur yang marah
padanya, sampai pada pengambil sumpah penganut Aluk To Dolo
dalam sidang pengadilan. Setiap sistim kepercayaan harus
difahami menurut logikanya sendiri."
Salombe
Bertolak dari kasus Toraja ini, T.O. Ihromi juga mengharapkan
agar para hakim yang harus mengamankan UU PerIawinan maupun
produk hukum nasional lainnya, juga "menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat."
Termasuk hukum adat, yang sudah didokumentir maupun yang belum.
Ahli hukum ini beranggapan bahwa "hukum terlalu penting untuk
dibiarkan menjadi urusan para petugas hukum dan ahli hukum
saja."
Mungkin tak ada yang orisinil dalam statemen itu, tapi dari
sudut ilmu pengetahuan, sumbangan T.O. Ihromi memang cukup
berharga. Doktor ke-10 lulusan FH-UI ini -- dan wanita yang
kedua sesudah Dr Mathilde Sumampouw (1958) -- mulai tertarik
pada kebudayaan Toraja karena suatu sebab pribadi. "Karena
bentuk rumahnya mirip dengan bentuk rumah orang Batak Toba, dari
mana saya berasal," katanya. Kini, dia jugalah orang Indonesia
kedua yang menggondol gelar Dr-nya dalam kebudayaan Toraja. Yang
pertama, dalam Ilmu Bahasa, adalah Cornelis Salombe. Tesis Dr
Salombe yang berjudul "Proses morfemis kata kerja bahasa Toraja
Saqdan dibacakan di kampus UI Rawamangun, 22 Pebruari lalu.
Berbeda dengan Ny. Ihromi, Salombe, 51 tahun, putera Toraja
asli. Ia selama 4 tahun bolak-balik ke Toraja, Ujungpandang dan
Jakarta sepenuhnya dengan biaya sendiri. Seperti Ny. Ihromi,
yang bermukim di Jakarta, Cornelis Salombe yang tinggal di
Ujungpandang, sama-sama pernah menjadi anggota DPR-RI.
Kebetulan: ketika Salombe sedang mempertahankan disertasinya di
kampus Rawamangun, suami T.O. Ihromi, Prof Dr Ihromi MA, ahli
theologia Kristen kelahiran Garut (Jawa Barat) itu hadir sebagai
penyanggah.
Ketika isterinya sendiri menghadapi tim promotor dan penyanggah
di aula FK-UI, minggu lalu, Prof. Ihromi hadir lagi. Kali ini
sebagai hadirin biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini