Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Uu perkawinan dan orang toraja

Ny. tapi omas ihromi-simatupang, 48, mempertahankan tesisnya yang mengupas uu perkawinan sehubungan dengan hukum adat perkawinan toraja. kebudayaan toraja dikupas pula oleh dr. cornelis s. dalam tesisnya. (hk)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANG-UNDANG Perkawinan sudah 4 tahun lalu diundangkan. Namun tetap juga pelaksanaannya masih mengundang banyak masalah. Misalnya: sampai sejauh mana peranan hukum adat yang juga banyak berurusan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga? Bukankah hukum itu masih banyak mengikat penduduk di luar kota besar? Menyoroti kehidupan suku Toraja Sa'dan di pegunungan Sulawesi Selatan, seorang lektor kepala FH-UI telah berusaha mengaitkan relevansi hukum adat dengan pelaksanaan UU Perkawinan No. 1/1974. Ia adalah nyonya Tapi Omas Ihromi-Simatupang, 18 tahun, yang berhasil mempertahankan tesis soal hukum adat perkawinan Toraja di depan regu promotor yang diketuai Prof R. Subekti SH. Judul lengkap disertasi Dr dalam Ilmu Hukum setebal 335 halaman yang dibacakan di aula UI Salemba, Sabtu 8 Juli lalu itu berbunyi: Adat Perkawinan Toraja Sa'dan dan tempatnya dalam hukum positif masa kini suatu studi antropologi hukum. Kata Ny. Ihromi kepada George Adicondro dari TEMPO: "Pengaturan wewenang lembaga hukum adat perkawinan ini sangat penting bagi suku Toraja Sa'dan, terutama karena 50% masih menganut kepercayaan asli Aluk To Dolo." Dan dengan keluarnya UU Perkawinan yang dinyatakan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975, timbul beberapa masalah. Terutama pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya sah bila dilakukan menurut ketentuan "hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu," dan "dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Itu berarti, perlu pendaftaran perkawinan di kantor Catatan Sipil -- yang biasanya hanya ada di kota yang (agak) besar. Bagi yang beragama Kristen, Katolik atau Islam, tak ada masalah. Sebab pendeta, pastor atau ulama kini otomatis bisa berfungsi (atau ber-dwifungsi7) sebagai petugas Catatan Sipil. "Tapi bagaimana dengan penganut Aluk To Dolo, yang tinggal di pelosok gunung auh dari kota-kota Rantepao dan Makale?" tanya Dr T.O. Ihromi. Dengan catatan: pengertian "jauh" harus dilihat dalam konteks medan setempat, yakni kira-kira 5 hari berjalan kaki atau naik kuda. Mungkin jalan keluarnya bisa dengan mengangkat pemuka adat -- tomina misalnya -- menjadi petugas Catatan Sipil juga. Berarti setingkat dengan pastor, pendeta, atau ulama. Sebab toh fungsinya kurang lebih sama. Tapi Nyonya Ihromi yang juga dikenal sebagai seorang aktivis Dewan Gereja Indonesia, tampaknya tak begitu setuju. Alasannya: "Tomina tak dapat disamakan begitu saja dengan pendeta atau ulama. Dia fungsinya banyak. Ya pembaca mantera aluk (keharusan) dan Pamali (pantangan) adat, ya dukun yang bertugas mendamaikan si pasien dengan arwah leluhur yang marah padanya, sampai pada pengambil sumpah penganut Aluk To Dolo dalam sidang pengadilan. Setiap sistim kepercayaan harus difahami menurut logikanya sendiri." Salombe Bertolak dari kasus Toraja ini, T.O. Ihromi juga mengharapkan agar para hakim yang harus mengamankan UU PerIawinan maupun produk hukum nasional lainnya, juga "menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat." Termasuk hukum adat, yang sudah didokumentir maupun yang belum. Ahli hukum ini beranggapan bahwa "hukum terlalu penting untuk dibiarkan menjadi urusan para petugas hukum dan ahli hukum saja." Mungkin tak ada yang orisinil dalam statemen itu, tapi dari sudut ilmu pengetahuan, sumbangan T.O. Ihromi memang cukup berharga. Doktor ke-10 lulusan FH-UI ini -- dan wanita yang kedua sesudah Dr Mathilde Sumampouw (1958) -- mulai tertarik pada kebudayaan Toraja karena suatu sebab pribadi. "Karena bentuk rumahnya mirip dengan bentuk rumah orang Batak Toba, dari mana saya berasal," katanya. Kini, dia jugalah orang Indonesia kedua yang menggondol gelar Dr-nya dalam kebudayaan Toraja. Yang pertama, dalam Ilmu Bahasa, adalah Cornelis Salombe. Tesis Dr Salombe yang berjudul "Proses morfemis kata kerja bahasa Toraja Saqdan dibacakan di kampus UI Rawamangun, 22 Pebruari lalu. Berbeda dengan Ny. Ihromi, Salombe, 51 tahun, putera Toraja asli. Ia selama 4 tahun bolak-balik ke Toraja, Ujungpandang dan Jakarta sepenuhnya dengan biaya sendiri. Seperti Ny. Ihromi, yang bermukim di Jakarta, Cornelis Salombe yang tinggal di Ujungpandang, sama-sama pernah menjadi anggota DPR-RI. Kebetulan: ketika Salombe sedang mempertahankan disertasinya di kampus Rawamangun, suami T.O. Ihromi, Prof Dr Ihromi MA, ahli theologia Kristen kelahiran Garut (Jawa Barat) itu hadir sebagai penyanggah. Ketika isterinya sendiri menghadapi tim promotor dan penyanggah di aula FK-UI, minggu lalu, Prof. Ihromi hadir lagi. Kali ini sebagai hadirin biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus