KEPULAUAN BANDA: KOLONIALISME DAN AKIBATNYA DI KEPULAUAN PALA.
Oleh: Willard A. Hanna.
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 183 halaman.
EKSPERIMEN kolonial di Kepulauan Banda sudah banyak menarik
perhatian sarjana Belanda sebelum 1945. Ada yang mengecamnya
seperti J.A. van der Chijs (1886). Ada pula yang membelanya
seperti Kiers (1943). Yang menarik dari buku Willard Hanna
adalah analisanya mengenai keadaan masyarakat Banda di masa lalu
sesuatu hal yang tidak terdapat dalam karya-karya sebelumnya.
Setelah membahas penaklukan Kepulauan Banda oleh VOC di awal
abad ke-17, Hanna langsung membicarakan keadaan sosial-ekonomi
kepulauan tersebut dalam bab-bab berikutnya. Tentang penaklukan
diceritakan dari kurang lebih 15.000 jiwa yang mendiami
kepulauan itu hanya sekitar 1.000 orang saja yang selamat.
Sisanya melarikan diri atau diangkut ke Batavia untuk dijual
sebagai budak. Mereka yang tinggal sebagian besar berada di
Pulau Ai dan Pulau Run yang waktu itu dikuasai Inggris (EIC).
Perlu ditambahkan bahwa Pulau Ai baru direbut Belanda tahun
1616, sedang Pulau Run ditukar dengan Nieuw Amsterdam (kini New
York) tahun 1667.
VOC, setelah menguasai Kepulauan Banda, membagi perkebunan pala
milik penduduk atas 68 perk (kongsi perkebunan): di Pulau Lontor
34 buah, Pulau Ai 31 buah, dan di Pulau Neira 3 buah.
Pengelolaannya diserahkan kepada pensiunan pegawai dan tentara
VOC. Sedang pengerjaannya dilakukan oleh budak-budak yang juga
disediakan oleh VOC (dijual). Hasil pala dan fuli (bunga pala)
dibeli oleh VOC dengan harga yang telah ditentukan (monopoli).
Ternyata para penguasa kebun-kebun tersebut (perkenier) bukan
lapisan terbaik dari orang-orang VOC. Banyak yang pernah menjadi
penjahat, atau bekas manusia yang tidak berguna di tanah airnya
sendiri. Karena mereka tidak disertai kaum wanita, maka banyak
yang menikah dengan penduduk setempat atau budak-budak. Sebab
itu tidaklah mengherankan bila "Dalam satu atau dua generasi
timbullah suatu sistem sosial dan ekonomi baru yang berdasarkan
atas kebiasaan dan pengaturan VOC yang satu sama lain sering
bertentangan" (hlm. 69).
Para perkenier tersebut lebih senang hidup di Neira -- yang
berubah dari kota benteng menjadi semacam metropolis kecil.
Rumah-rumah mewah berlantaikan pualam, halaman-halaman luas,
perabot mahal, pesta, dan rekreasi menjadi ciri pokok dari kota
itu. Karena hasrat untuk hidup mewah hampir semua perkenier
berutang pada Cina atau Arab. Gairah generasi pionir memudar dan
diganti dengan generasi santai. Mengenai pengurusan kebun-kebun
pala mereka serahkan pada administratur yang digaji.
Irama hidup di Neira sering pula diganggu oleh gempa dan letusan
Gunung Api yang terletak berseberangan dengan pulau itu.
Kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya, terutama dalam abad
ke-17, menyebabkan VOC terpaksa harus mengulurkan tangan memberi
modal untuk perbaikannya.
Sementara itu para budak juga memperlihatkan
kecenderungan-kecenderungan yang tidak terduga dari semula.
Banyak di antara mereka yang dipekerjakan sebagai pedagang di
perahu-perahu dagang milik para perkenier. Perdagangan yang
sesungguhnya terlarang ini tidak jarang berubah menjadi
penyelundupan rempah-rempah. Dengan cara ini para budak bisa
memperkaya dirinya. Banyak yang menolak kembali ke kebun. Dan
karena berhasil menimbun kekayaan, banyak pula yang bisa menebus
kemerdekaannya dengan uang, terutama dalam abad ke-19.
Penghapusan perbudakan dan perdagangan monopoli (1860-an)
menimbulkan beberapa permasalahan. Para budak harus diganti
dengan tenaga lain. Sejak pertengahan abad ke-19 itu mengalirlah
buruh-buruh kontrakan dari Jawa, di samping pelbagai unsur
kriminal yang dipaksakan ke Banda. Pemasaran hasil produksi juga
menjadi persoalan setelah pemerintah melepaskan sistem monopoli.
Untunglah pemerintah berhasil membentuk suatu anak perusahaan
dari NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) yang mengangkut
dan menjual produksi agraria di Jawa dan Sumatera itu. Namun
karena daerah-daerah lain pun mulai memproduksi pala (Bengkulu,
Pulau Pinang, Srilangka), maka harganya terus merosot.
Banda lalu menjadi daerah yang tidak menguntungkan lagi. Banyak
putra-putra perkenier yang meninggalkan daerah ini, terutama
menjelang Perang Dunia II. Dan berangsur-angsur Banda kehilangan
ciri-cirinya. Tempat itu kemudian cuma jadi kawasan pesiar bagi
pegawai-pegawai tinggi dan orang-orang berduit karena keindahan
kotanya -- Neira.
Terutama 1930-an Pulau Neira dijadikan tempat buangan
pemimpin-pemimpin Indonesia. Dalam buku ini pengalaman Hatta
dan Sjahrir diceritakan panjang lebar dalam satu bab.
Tentang keadaan Banda di masa kini dibahas dalam bab terakhir.
Setelah para perkenier meninggalkannya di tahun 1950-an, ketika
terjadi konfrontasi mengenai Irian Jaya, maka kepulauan ini
menjadi terkebelakang. Berdasarkan serangkaian wawancara dengan
penduduk kepualauan itu, Hanna memperlihatkan situasi apatisme
yang menyelubungi kepulaun yang indah itu. Hanna menutup dengan
seruan agar dicari suatu cara untuk menghidupkan kembali
kebun-kebun pala yang terbengkalai itu agar Banda kembali pada
kesemarakannya seperti di masa lalu. Tapi sudah tentu sistem
lama yang dibentangkan dalam buku ini tidak diinginkannya --
kita pun juga tidak mau, tentunya.
Terjemahan buku ini, yang dikerjakan oleh Kustiniyati Mochtar,
termasuk sangat baik. Cuma timbul pertanyaan mengapa gelar Orang
kaya (kepala desa) ditulis "orang kaya" (dengan tanda kutip),
seolah-olah kata itu masih diragukan. Padahal istilah itu
merupakan salah satu gelar dari kepala desa yang lazim di Maluku
-- termasuk di Ambon yang struktur sosialnya jauh berbeda denan
di Kepulauan Banda. Selain itu segi-segi ekonomi dari sistem
perkebunan ini kurang menonjol sehingga kita tidak bisa menguji
kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa dalam setahun VOC menarik
keuntungan sebanyak 1 juta gulden (nilai dulu).
R.Z. Leiriss
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini