MENGKAFIRKAN orang jelas tindakan salah. Tidak seluruh penganjur
agama melakukannya, tetapi tiap kali masih terdengar juga
'hukuman' seperti itu.
Seorang pejabat tinggi bulan Januari dimaki-maki sebagai murtad
karena menyatakan semua agama sama di negeri ini -- dan
kemurtadan itu akan membawanya ke api neraka. Masalahnya toh
akan terserah kepada Tuhan. Tapi yang merisaukan adalah mudahnya
sumpah serapah keluar dari para penganjur agama. Waktu pemilu
ada muballigh berkampanye, bertanya kepada hadirin, pilih mana
antara 'bau kiai" dan 'kiai bau'. Bau kiai bukan kiai, namun
setia dan bergaul dengan kiai. Kiai bau adalah kiai yang sudah
memperlihatkan kebusukannya. Seperti juga istilah 'bekas santri'
dan 'bekas pencuri'.
Generalisasi seperti itu merugikan. Karena sebelum ada pilihan
antara yang baik dan yang buruk, orang sudah 'dibiasakan'
memburukkan kiai dan meremehkan kesantrian. Dalam kasus
muballigh yang memurtadkan pejabat tinggi, rakyat didorong untuk
memadukan antara sikap agama dan kejengkelan terhadap keadaan.
Pejabat Anu murtad karena bersikap salah dalam soal agama.
Secara tersirat diajukan klaim, bahwa perbedaan pendirian antara
agama dan negara, dua lembaga yang sama-sama abstrak, harus
berakhir dengan kesalahan pihak negara.
Prinsip bahwa agama memegang kebenaran transendental memang
dapat diterima, karenanya secara umum kebenaran agama dinilai
lebih tinggi dari 'kebenaran negara'. Mutlaknya kebenaran agama
terbukti dengan penggunaannya sebagai landasan kehidupan
bernegara: moralitas yang luhur, ketaatan kepada Tuhan,
kewajiban melaksanakan ajaran agama dan seterusnya.
Tidak ada negara yang membenarkan tindakan yang bertentangan
dengan moral, kalau moralitas dirumuskan secara umum. Bahkan
yang paling diktatorial dan paling otoriter masih mendasarkan
diri pada nilai-nilai abadi yang semula ditarik dari
postulat-postulat keagamaan.
Namun tidak berarti antara agama dan negara sama sekali tidak
ada perbedaan sikap. Ajaran agama telah menetapkan
persyaratannya sendiri bagi penetapan siapa yang berhak menjadi
kepala pemerintahan. Juga menentukan apa saja yang menjadi hak
dan kewajibannya. Namun negara juga memiliki aturannya sendiri.
Haruskah yang satu ditiadakan?
Pikiran waras tentu mengatakan tidak semudah itu -- harus
didudukkan pada proporsi masing-masing. Syarat dan kewajiban
yang ditetapkan agama adalah tolok ukur ideal yang akan
menentukan sempurna tidaknya sebuah pemerintahan, sedang
ketentuan negara menunjuk pada kenyataan nominal yang tidak
boleh dikurangi. Kalau dikurangi, negara kacau dan agama juga
mengalami hal yang sama dalam kehidupannya -- kalau negara
kacau.
Karena itu, pemerintahan yang tidak mendasarkan diri pada ajaran
formal agama secara tuntas bukan berarti harus ditolak. Selama
ada kemungkinan melaksanakan dan memperjuangkan ajaran aeama di
dalamnya, negara seperti itu masih harus diterima. Kalau tidak,
kaum muslimin di Uni Soviet sudah tentu harus memberontak
sekarang. Tidak berontak berarti mengabaikan perintah Allah, dan
tidak boleh disantuni oleh muslim lain.
Padahal kalau mereka berontak, mereka habis. Karenanya mereka
lalu melaksanakan penerimaan atas bentuk negara yang ada, dan
memegang teguh hak mengikuti ajaran agama dalam kehidupan
masing-masing. Kalau tentang negara komunis yang secara resmi
melegalisasi atheisme saja orang beragama tidak diharuskan
melakukan pilihan, apalagi dalam kasus negara yang masih
menjunjung tinggi kebenaran agama.
Bagaimana kerangka umum hidup bernegara tempat adanya perbedaan
sikap antara agama dan negara akan diterapkan, kalau ada sesuatu
yang dianggap membahayakan 'kebenaran agama'? Bagaimana harus
dilerai, kalau ada anggapan yang berbeda antara keduanya,
seperti dalam kasus pejabat yang menyamakan semua agama sama?
Kalau kita berkepala dingin, kita pertama kali harus mampu
membedakan antara berjenis-jenis 'kesamaan', yang di mata agama
dan yang di mata negara. Kesamaan di mata agama berkait dengan
masalah kebenaran inti ajaran, sedang kesamaan di mata negara
adalah status di muka undang-undang, kedudukan di muka hukum.
Tidak ada agama yang mau melepaskan 'hak tunggal'nya untuk
memonopoli 'kebenaran ajaran'. Forum keagamaan formal paling
'longgar' sekalipun, Konsili Vatikan II atas prakarsa Paus
Yohannes XXIII, masih mempertahankan 'monopoli kebenaran' itu:
forum itu dapat memahami dan menerima upaya mencapai kebenaran
mutlak Tuhan, dengan tidak mengurangi kebenaran yang sudah
dicapai keimanan Kristiani.
Islam pun bersikap demikian, karena Al-Quran sudah menetapkan
agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun tidak berarti
negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua
agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia
memberikan perlakuan sama di muka hukum. Persamaan theologis
antara dua agama tidak akan mungkin ada -- kalau diartikan
sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun persamaan
kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan, selama ada yang
memberikan perlakuan sama.
Kita seharusnya memahaminya dengan kearifan. Dan kearifan
seperti ini tidak dapat 'dimurtadkan', karena di dalamnya esensi
klaim agama akan kebenaran masih terjaga sepenuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini