PULANG dari ronda malam, Syamsuri tak langsung tidur. Buruh
serabutan yang penghasilannya tak menentu ini mengambil kotak
kayu yang tersimpan di kolong tempat tidur. Isinya bahan pembuat
petasan. Di emper depan rumahnya, di Kampung Ronodigdayan,
Yogyakarta, dengan diterangi lampu sentir, ia mulai membuat
petasan -- seperti yang biasa ia lakukan setiap bulan puasa.
Setelah makan saur, sisa bahan di kotak kayu ia kembalikan ke
kolong tempat tidur. Istri dan dua anaknya tidur lelap di
atasnya. Dua anaknya yang lain, telah keluar rumah, berlari pagi
setelah makan saur tadi.
Tapi tatkala Syamsuri mau melanjutkan membuat petasan, terdengar
ledakan amat keras. "Saya sampai terlempar dua meter," kata
Syamsuri, 32 tahun, mengenang.
Ledakan menjelang subuh pertengahan bulan lalu itu, menggegerkan
kampung yang padat itu. Syamsuri sudah bisa menduga, bahan-bahan
petasan yang baru saja ia letakkan di bawah tempat tidur tadi
telah meledak. Ia masuk ke rumahnya yang porak poranda. Di
tengah asap yang masih mengepul ia memanggil istri dan anaknya.
Tak ada jawaban. Tetangga kiri kanan segera berdatangan.
Samsudin, anak Syamsuri berusia 5 tahun, ditemukan tewas di
tengah reruntuhan. Kaki kanannya hilang, jari tangannya hancur.
Ketika asap mulai tipis, terdengar suara wanita mengerang.
Teryata istri Syamsuri tersangkut di pagar tembok setinggi 4
meter. Di situ pula ditemukan kaki kanan Samsudin. Penduduk
buru-buru melarikan Ponirah, istri Syamsuri, ke rumah sakit.
Nyawanya tak tertolong sebelum tiba di tujuan.
Rumah Syamsuri berukuran 3 x 7 meter itu, porak poranda. Tiga
rumah tetangganya juga rusak berat. Kesemrawutan ini menyulitkan
penduduk mencari anak Syamsuri yang satu lagi, Triastuti, yang
tadi tidur lelap bersama ibunya. Setelah matahari terang, baru
Tri ditemukan: nyangkut di antena tv sekitar 15 meter dari
pusat ledakan. Anak itu pun sudah tak bernyawa lagi.
Syamsuri yang ceroboh menutup kotak bahan petasan itu, kini
merenungi nasibnya. "Saya benar-benar menyesal," katanya
setengah terisak. "Saya telah mengabaikan nasihat tetangga,"
katanya lagi. Tetangga kiri kanan, memang sering menasihati dia
agar berhenti membuat petasan. Selain berbahaya, sejak 1980
Pemerintah Daerah DI Yogyakarta melarang membuat dan membunyikan
mercon.
Tetapi penghasilan yang tak menentu menyebabkan Syamsuri terwsik
kembali membuat petasan. Apalagi bahan-bahan yang dibelinya
tahun lalu masih tersisa. "Lebaran tahun lalu saya rayakan
dengan uang petasan," katanya, "hasil petasan cukup banyak, bisa
juga ditabung."
Musibah petasan di Kota Yogya ini menyebabkan razia petasan
ditingkatkan -- tak kalah gesit dengan operasi menumpas gali.
Dua hari setelah ledakan di rumah Syamsuri puluhan pembuat
petasan kena operasi. Di antaranya terdapat Sumarto, 50 tahun,
yang kebetulan juga ketua RT 132 di Kampung Lempuyangan. "Saya
tak tahu lagi, bagaimana mencari tambahan untuk Lebaran dan
biaya anak sekolah," kata Sumarto terus terang.
Ayah enam anak ini sejak 1970 membuat petasan, dengan
sembunyi-sembunyi tentu saja. Setiap Lebaran ia bisa membuat dan
menjual sekitar 3.500 biji petasan ukuran kecil. "Untungnya
sekitar Rp 20.000," kata Sumarto yang sehari-hari menjadi buruh
bangunan. Cara yang ia pakai agak berbeda dengan Syamsuri.
Sumarto selalu menghabiskan obat petasan yang ia beli. Kalau
pasaran sepi, sisa petasan itu disimpan dan djual Lebaran
berikutnya. "Menyimpan petasan yang sudah jadi lebih aman dari
menyimpan bahannya," katanya. Namun bukan berarti tak pernah
terjadi kecelakaan. "Anak saya pernah terkena ledakan ketika
mengisi kelongsong. Untung merconnya kecil, tidak luka parah,"
ujar Sumarto.
Membuat petasan memang harus lebih berhati-hati. Bahannya yang
terdiri dari bubuk potas, belerang, brown, yang banyak
dijualbelikan di toko besi, mudah meledak kalau kena panas,
bahkan panas akibat gesekan ketika meramu bahan-bahan itu. Di
Desa Singopolo, Pasuruan, Ja-Tim, yang dikenal sebagai pusat
pembuatan mercon, hampir setiap tahun terjadi kecelakaan. Awal
Ramadhan tahun ini, kakak beradik pembuat mercon meninggal
hangus karena ledakan bahan mercon yang sedang dijemur. "Paman
saya tahun 1970 juga tewas karena ledakan bahan mercon," cerita
Asfan, seorang penduduk Singopolo. Tapi penduduk desa itu tak
pernah kapok mengolah sumber rezeki tahunan itu.
Sejak awal puasa ini, Asfan, 32 tahun, bahkan mempekerjakan 15
buruh di rumahnya. Ia memproduksi mercon berbagai ukuran dengan
diberi merk Singa, Meriam, Srikandi Gajah, Seruling, Serimpi,
dan Jempol. Kertas merk ini, "peninggalan tahun 1960-an,"
katanya.
Asfan, sehari-hari adalah pengrajin sepatu sepak bola dengan
merk Adidas -- tak ada hubungan dengan Adidas yang made in luar
negeri itu. Peralatan pembuat sepatu praktis disingkirkan,
diganti alat-alat pembuat petasan. Buruh-buruhnya, yang sebagian
wanita, hanya bekerja mengisi kelongsong dengan bahan-bahan.
"Pekerjaan itu tidak berbahaya," katanya. Yang berbahaya
mencampur adonan brown, potas, dan belerang. Itu dikerjakan
Asfan sendiri di malam hari. "Setiap mencampur obat, hati saya
dag dig dug terus," katanya. Selain karena pamannya yang tewas,
ia sendiri mengalami kecelakaan tahun 1972. Paha dan tangannya
terbakar karena bahan-bahan meledak.
Produksi Asfan tiap hari mencapai 20 bal. Setiap bal berisi 100
pak. Satu pak yang berisi 20 biji dijual Rp 100. Untungnya,
"empat kali lebih besar dari usaha membuat sepatu," kata Asfan
tanpa menyebut jumlah. Dari uang yang mengalir sebulan dalam
setahun inilah Asfan membangun rumah gedung. Tetangganya bahkan
punya rumah bertingkat dari usaha petasan.
Sebuah kampung di utara Kota Bandung, dikenal sebagai pusat
pembuatan petasan. Penduduknya meminta agar nama kampung mereka
tak usah disebut.
Paling tidak ada 20 pembuat petasan yang menghuni rumah sempit
di kampung itu. Usaha ini betul-betul tersembunyi. Orang luar
yang datang selalu dicurigai. Setiap orang akan menjawab "tidak
tahu" bila ditanyai tempat membeli petasan. "Takut digerebek
polisi," kata Entang, murid kelas III SMP, salah seorang pembuat
petasan di sana. Polisi yang dimaksud tentulah bukan polisi yang
sudah dikenal yang, katanya, sering datang dengan dalih merazia,
tetapi "bisa diajak musyawarah."
Di kampung ini, menurut Entang, empat tahun lalu pernah terjadi
musibah ledakan bahan mercon. Sebuah rumah hancur dan tiga jiwa
melayang. Tetapi penduduk tak kapok juga.
Entang yang membuat petasan dibantu ibu dan adiknya, bisa
menghasilkan 5.000 petasan jenis cabe rawit. Bahkan bisa lebih
kalau bekerja sampai malam. Hasilnya lumayan, setiap hari bisa
dapat Rp 10.000. Ia susah punya langganan tetap, seorang
pedagang mercon keliling.
Bahan baku petasan, menurut Entang, tak sulit diperoleh.
Harganya pun tergolong murah. Serbuk belerang Rp 400 per kg,
potas Rp 1.700 per kg, sedangkan brown Rp 12.000 per kg. Kertas
yang dipakai kertas bekas kartu pos atau pos wesel. Di Bandung,
kertas bekas pos wesel ini bisa dibeli dengan harga Rp 300 per
kg. Tiap kilogram berisi sekitar seribu lembar. Entang
merahasiakan tempat ia biasa membeli bahan baku mercon itu.
"Kalau pembeli tidak dikenalnya, toko tak mau melayani," kata
Entang. Lelaki perokok berat ini mengaku sejak kecil sudah biasa
membuat petasan. Setiap tahun ia pasti mengulangi pekerjaan itu,
betapa pun gencar larangan yang datang. "Lumayan untuk Lebaran,
walau risikonya cukup besar," katanya.
Risiko digerebek ternyata tak ditakuti pembyat petasan di
Kampung Jati Parung, Bogor. "Dulu waktu masih ada pungli,
petugas datang menakut-nakuti, mau mengirimkan pembuat petasan
ke sel. Padahal mereka mau minta petasan secara cuma-cuma, untuk
dijual," kata Madi, 52 tahun, yang membuat petasan sejak 1960.
"Sekarang tak pernah ada razia lagi," katanya pula.
Madi yang mengaku sebagai perintis petasan di Kecamatan Parung
Panjang, Bogor, membuat petasan secara terus-menerus tak hanya
menjelang puasa dan Lebaran. Tapi ia mengakui, menjelang Lebaran
produksi dilipatgandakan. Ia pernah mengalami panen besar justru
di luar bulan puasa. Yakni ketika petasannya diborong untuk
membantu penggiringan gajah di Air Sugihan, Sumatera Selatan.
"Rangkaian petasan itu dipasang di pohon untuk mengejutkan
gajah. Sebanyak dua Cok petasan dikirimkan ke sana," ungkapnya.
Di DKI Jakarta, membuat, menjual, dan membunyikan petasan
dilarang berdasarkan SK Gubernur. Tetapi bunyi dor masih
terdengar di sana-sini: Petasan itu, boleh jadi buatan Babe
Hasnan, 73 tahun, penduduk Rawasari, Jakarta Timur. Ia membuat
petasan hanya untuk mengisi hari-hari sepinya. Anaknya sudah
kawin dan tak ada yang tinggal serumah. Yang belum kawin cuma
seorang dan jadi pelaut. "Tadi barusan saja saya dari kantor
polisi, gara-gara ada yang melaporkan saya," kata kakek ini
dengan logat Betawi.
Ia diadukan tetangganya karena masih saja membuat petasan. Tentu
saja pulang dari kantor polisi, semua peralatan merconnya ia
simpan. "Babe tak enak, sudah tua begini berurusan sama polisi,"
ujarnya lagi. Tahun lalu, ia juga diadukan ke polisi, karena
petasannya dibungkus kertas bertulisan huruf Arab.
Memproduksi barang larangan memang tak pernah lepas dari intaian
-- dari kiri kanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini