Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kebun sayur dengan tenda

Pengembang-biakan tanaman tanpa menggunakan media tanah, disebut hidroponik. bermula diusahakan oleh bob sadino. pemilik toko serba ada di kemang. pemda dki akan mengembangkannya. (ilt)

6 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALBANI, 40 tahun, adalah petani pekerja di Cirenden, Cilandak, Jakarta Selatan. Seharian penuh, dia berada di kebun sayuran, bekerja di bawah atap yang terbuat dari lembaran plastik. "Saya cukup senang di sini," ujar tamatan SPMA yang mempunyai 6 orang anak ini. Gajinya Rp 10.000/hari, ditambah lagi dengan baju seragam, perumahan dan pengobatan cuma-cuma sekeluarga, yang membuatnya tenang bekerja di bawah tenda. Tapi tak hanya itu yang menarik minat Salbani. Ia juga tertarik oleh cara penanaman baru yang tak menggunakan media tanah. Cara ini, hdroponics. "Tanaman ini memang manja," katanya, "harus dimonitor terus-menerus. Kalau kita lalai satu dua hari, dia ngambek." dan kantung-kantung plastik, yang disarati oleh akar yang bergelut dengan pasir, diamat-amatinya. Matanya memancarkan kepuasan melihat pohon tomat yang sarat, selada yang menghijau atau timun yang bergayutan. Ada 11 macam sayuran yang disemai di situ. Antara lain tanaman yang bagi mulut orang Indonesia masih asing, seperti paprika (cabe hijau yang gemuk dan tidak pedas), cantalouppe (semacam semangka berkulit hijau, bintik-bintik putih), broccoli (semacam seledri, tetap tebal). "Tujuan utama kebun ini untuk memenuhi kebutuhan sayuran oran asing," sambung Salbani. Kebun sayuran seluas 2,5 ha ini adalah milik Bob Sadino, tauke toko serba ada di Kemang, Jakarta Selatan. Tahun lalu, seorang temannya (kulit putih) menyarankan agar Bob menanam sayuran dengan cara bydroponics. Dengan cara pengembang-biakan tanaman tanpa menggunakan media tanah, ujar teman tersebut, "rasa sayuran akan lebih manis dan renyah." Dan 8 bulan yang lalu, lahan pertanian Bob Siap untuk diolah, sementara tenaga yang berpengalaman juga siap untuk bekerja. Langkah pertama yang mereka lakukan, pasir yang disterilkan dengan jalan dipanaskan sampai 100øC. Kemudian dimasukkan ke dalam kantung-kantung plastik. Pasir kemudian disiram dengan air steril pula (dari kedalaman tanah minimum 60 m) setiap setengah jam, lalu ditanami bibit unggul. Tidak boleh dilupakan ialah pupuk. Pupuk nutrient yang mengandung elemen makro dan mikro sebanyak 13 macam. Cara menanam hydroponics memerlukan pula insektisida, fungisida, dan energi (sinar matahari). Plastik sebagai atap cuma berfungsi untuk melindungi tanaman dari derasnya turun hujan. Ternyata ongkos perawatan model ini tidaklah murah. Bob Sadino harus mengeluarkan Rp 4,7 juta setiap bulannya, termasuk gaji 39 orang karyawan. Karena itu, harga sayuran hidroponik lebih mahal di tokonya. Misalnya tomat, dia menjual Rp 1.000/kg, 2 « kali dari harga tomat biasa. "Tapi keuntungan berlipat kali," kata Salbani. Apalagi di seputar Jakarta, akan sulit mendapatkan tanah. Panen di bulan-bulan pertama tampaknya cukup menembirakan. Kedelai yang ditanam secara konvensional di Balai Penelitian IPB menghasilkan 3 ton/ha, sedang di Cirenden itu 5 ton/ha. Tapi Salbani sangat melarang orang merokok di kebun itu. "Asap rokok membuat daun tanaman layu," katanya. Pertanian Kota Pemda DKI juga akan mengembangkan hydroponics ini. Beberapa ahli pertanian telah dikirim ke Negeri Belanda yang dianggap baik untuk percontohan karena selalu surplus sayuran dan kembang. Apalagi setiap tahunnya, tanah pertanian di DKI Jakarta semakin berkurang 5,3% -- kini tinggal 27.791 ha saja. Ir. Soenaryo, salah seorang yang baru saja kembali dari Negeri Belanda, akan mengadakan penyuluhan tentang cara menanam tanpa menggunakan tanah ini. Balai Penelitian dan Penyuluhan Pertanian DKI di Lebak Bulus (seluas 1,5 ha), mulai Maret atau April menerapkan gaya baru ini. "Kami akan memulai dengan tomat dan paprika dulu," ujar seorang karyawan di Lebak Bulus. Hydroponics dikenal sejak tahun 1850-an sebagai hasil laboratorium. Di Iwo Jima dan kepulauan Wake di lautan Pasifik, misalnya, sistem ini sudah umum dikerjakan. Di Habbaniyah (Irak) dan Bahrein, demikian pula. Di Jakarta, diduga akan banyak peminatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus