SALBANI, 40 tahun, adalah petani pekerja di Cirenden, Cilandak,
Jakarta Selatan. Seharian penuh, dia berada di kebun sayuran,
bekerja di bawah atap yang terbuat dari lembaran plastik. "Saya
cukup senang di sini," ujar tamatan SPMA yang mempunyai 6 orang
anak ini. Gajinya Rp 10.000/hari, ditambah lagi dengan baju
seragam, perumahan dan pengobatan cuma-cuma sekeluarga, yang
membuatnya tenang bekerja di bawah tenda.
Tapi tak hanya itu yang menarik minat Salbani. Ia juga tertarik
oleh cara penanaman baru yang tak menggunakan media tanah. Cara
ini, hdroponics.
"Tanaman ini memang manja," katanya, "harus dimonitor
terus-menerus. Kalau kita lalai satu dua hari, dia ngambek." dan
kantung-kantung plastik, yang disarati oleh akar yang bergelut
dengan pasir, diamat-amatinya. Matanya memancarkan kepuasan
melihat pohon tomat yang sarat, selada yang menghijau atau timun
yang bergayutan. Ada 11 macam sayuran yang disemai di situ.
Antara lain tanaman yang bagi mulut orang Indonesia masih asing,
seperti paprika (cabe hijau yang gemuk dan tidak pedas),
cantalouppe (semacam semangka berkulit hijau, bintik-bintik
putih), broccoli (semacam seledri, tetap tebal). "Tujuan utama
kebun ini untuk memenuhi kebutuhan sayuran oran asing," sambung
Salbani.
Kebun sayuran seluas 2,5 ha ini adalah milik Bob Sadino, tauke
toko serba ada di Kemang, Jakarta Selatan. Tahun lalu, seorang
temannya (kulit putih) menyarankan agar Bob menanam sayuran
dengan cara bydroponics. Dengan cara pengembang-biakan tanaman
tanpa menggunakan media tanah, ujar teman tersebut, "rasa
sayuran akan lebih manis dan renyah."
Dan 8 bulan yang lalu, lahan pertanian Bob Siap untuk diolah,
sementara tenaga yang berpengalaman juga siap untuk bekerja.
Langkah pertama yang mereka lakukan, pasir yang disterilkan
dengan jalan dipanaskan sampai 100øC.
Kemudian dimasukkan ke dalam kantung-kantung plastik. Pasir
kemudian disiram dengan air steril pula (dari kedalaman tanah
minimum 60 m) setiap setengah jam, lalu ditanami bibit unggul.
Tidak boleh dilupakan ialah pupuk. Pupuk nutrient yang
mengandung elemen makro dan mikro sebanyak 13 macam.
Cara menanam hydroponics memerlukan pula insektisida, fungisida,
dan energi (sinar matahari). Plastik sebagai atap cuma berfungsi
untuk melindungi tanaman dari derasnya turun hujan. Ternyata
ongkos perawatan model ini tidaklah murah. Bob Sadino harus
mengeluarkan Rp 4,7 juta setiap bulannya, termasuk gaji 39 orang
karyawan. Karena itu, harga sayuran hidroponik lebih mahal di
tokonya. Misalnya tomat, dia menjual Rp 1.000/kg, 2 « kali dari
harga tomat biasa.
"Tapi keuntungan berlipat kali," kata Salbani. Apalagi di
seputar Jakarta, akan sulit mendapatkan tanah. Panen di
bulan-bulan pertama tampaknya cukup menembirakan. Kedelai yang
ditanam secara konvensional di Balai Penelitian IPB menghasilkan
3 ton/ha, sedang di Cirenden itu 5 ton/ha. Tapi Salbani sangat
melarang orang merokok di kebun itu. "Asap rokok membuat daun
tanaman layu," katanya.
Pertanian Kota
Pemda DKI juga akan mengembangkan hydroponics ini. Beberapa ahli
pertanian telah dikirim ke Negeri Belanda yang dianggap baik
untuk percontohan karena selalu surplus sayuran dan kembang.
Apalagi setiap tahunnya, tanah pertanian di DKI Jakarta semakin
berkurang 5,3% -- kini tinggal 27.791 ha saja.
Ir. Soenaryo, salah seorang yang baru saja kembali dari Negeri
Belanda, akan mengadakan penyuluhan tentang cara menanam tanpa
menggunakan tanah ini. Balai Penelitian dan Penyuluhan Pertanian
DKI di Lebak Bulus (seluas 1,5 ha), mulai Maret atau April
menerapkan gaya baru ini. "Kami akan memulai dengan tomat dan
paprika dulu," ujar seorang karyawan di Lebak Bulus.
Hydroponics dikenal sejak tahun 1850-an sebagai hasil
laboratorium. Di Iwo Jima dan kepulauan Wake di lautan Pasifik,
misalnya, sistem ini sudah umum dikerjakan. Di Habbaniyah (Irak)
dan Bahrein, demikian pula. Di Jakarta, diduga akan banyak
peminatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini