Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Si telur emas dari situbondo

Karya-karya pelukis cilik, yudhis citra hendrianto, di pamerkan di gedung akasia supermarket, jakarta. yudhis siswa smp di situbondo sudah menghasilkan 500 lukisan dan 80 jenis hadiah.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUDHIS Citra Hendrianto memang anak yang aktif. Tapi mungkin dia sedikit dari banyak anak yang suka di rumah. Bila Minggu membuka hari dan Sabtu menutup Minggu, ia terus bergumul dengan dirinya sendiri, di kamarnya. Melukis. "Badan saya memang di dalam rumah sedangkan hati, perasaan, dan jiwa melancong ke mana-mana," katanya. Inilah pengembaraan Yudhis dengan imajinasinya. Sejak usianya 4 tahun hasil "penglihatan" itu direkamnya ke atas kertas, lewat goresan, coretan, dan duselan pensil warna dan pastel. Pada 13-18 November ini, di gedung Akasia Supermarket, Jalan Kebayoran Lama, Jakarta, Yudhis kembali berpameran tunggal untuk ketiga kalinya. Di Indonesia, agaknya ia memberikan aksen baru dalam seni lukis anak-anak. Tapi sebelum dia, ada Lini Natalini Widhiasi di Surabaya, Gilang Cempaka (Bandung) Adji Baroto di Jakarta -- sampai sekarang masih bereputasi baik -- dan Ronny Lesmana di Yogyakarta. Sekarang Yudhis sudah 13 tahun. Selama 9 tahun, sekitar 500 lukisan ia hasilkan. Dilihat dari produktivitas seorang anak, jumlah tadi mungkin tak banyak. Tapi bila disimak kualitasnya, karyanya itu boleh dibilang mencengangkan. Karya Yudhis bukan mencontoh apa yang tampak di mata, karena ia mengutak-atik, mengulik, mengembangkan. Bahkan terkadang mencomot esensi di sekitarnya, lalu ia hadapkan ke "alam lain". Kekuatan tersebut ditunjang pula oleh teknik yang kian matang dan dikembangkannya dalam upaya memperluas taferil yang ia gunakan. Kertas-kertas, dalam ukuran kccil, ia orak. Sekarang dia banyak melukis dengan cat minyak di kanvas yang boleh dibilang besar bagi anak seusia dia. "Di kanvas itu khayalan saya mudah terbang," katanya dengan aksen Madura, medok. Jakarta tahun 2000 ia lukiskan dalam kedahsyatan teknologi lalu lintas, dengan jalur jalan layang yang fantastik. Karnaval digambarnya semau gue. Adegan kebakaran dilampiaskannya dengan bayangan suasana chaos yang mengerikan. Ia juga bereksperimen. Kini transparansi cat minyak suatu yang mengasyikkan, dan bertaut dengan blok-blok warna cerah. Tapi karyanya tetap bercitra anak-anak. Dan untuk semua itu, Yudhis berusaha menyeruak ke tengah keramaian, sembari mencari kritik. Terkadang ia bersama ayah-ibunya sering menenteng karya, untuk dihadapkan kepada sejumlah pengamat seni lukis. Ia memang membutuhkan diskusi. "Karena itu, setiap ada acara lomba, di mana pun ia selalu saya sarankan ikut," kata Citra, sang ayah. Dan itu berarti ongkos besar bagi keluarga pegawai Departemen P dan K Situbundo ini. Jika ada perlombaan di Yogya, Bandung, atau Jakarta, dengan mobil sewaan ia melaju. Terkadang ongkos mobil ditanggung orangtua teman Yudhis. Di rumahnya, kini ada sejumlah murid belajar melukis padanya. Beberapa waktu lalu mereka ikut lomba lukis anak-anak se-Jawa Timur di Surabaya. Dalam kelompoknya, semua mereka berhasil merebut hadiah. Sementara itu, di sekolah Negeri I, Yudhis yang di kelas 2 ini sering berdiri di depannya, mengajar menggambar, menggantikan gurunya. Dekorasi sekolahnya, sampai gambar peta, dia pula yang disuruh menggarapnya. Dalam pelajaran, si cilik ini juga di peringkat terhormat -- sejak di kelas 3 SD. Yudhis paling senang menekuni matematika dan fisika. Karena kepintarannya itu, gurunya selalu mengizinkan ia ke luar kota bila ada tawaran berpameran dan lomba melukis. Ia serta-merta bukan hanya tokoh di tengah keluarga, atau bagi sekolahnya, bahkan jadi tonggak dunia anak di Kota Sitobundo dan Provinsi Jawa Timur. Apalagi setelah Yudhis meraih banyak penghargaan. Yang terakhir adalah dari Jepang serta penghargaan dari Jeneva, Swiss. Sebelumnya ia memenangkan lomba "The Third International Ataturk Children Art Exhibition Ankara" (1987) dan kompetisi internasional seni rupa anak-anak di Tokyo, 1986. Catatan daftar kemenangan yang diraihnya sejak 1980 ia rekam dalam 4 halaman folio ketik rapat -- dimulai dengan lomba lukis tingkat TK se-Kabupaten Situbundo. Hingga kini ia sudah merebut 80 hadiah -- terhitung pelukis cilik di Indonesia terbanyak menabung kemenangan dalam seni lukis. April silam, setelah TVRI menyiarkan acara pameran tunggalnya di Balai Budaya Jakarta, Nyonya Tien Soeharto mengundang Yudhis ke Cendana. Anak yang lahir di Situbundo pada 14 November 1975 ini lantas diharapkan menjadi maskot dunia seni lukis bocah, selain sebagai lambang generasi baru berprestasi. Sifat lukisannya yang terkadang surealistik nyaris tak henti memberikan kekayaan suasana hati bagi yang melihatnya. Karena itu, anak semata wayang ini mulai "bertelur emas" -- setelah diincar sejumlah kolektor. Semula Yudhis belum mau menjualnya kemudian ada yang "memaksa" untuk beli. Ketika berpameran di Balai Budaya tempo hari, dari 44 lukisan yang digelar, terjual 27, dengan harga Rp200-400 ribu sebuah. "Tapi saya menjaga agar Yudhis jauh dari perasaan komersial. Selama ini ia melukis bukan untuk mencari uang," ujar Citra. Agus Dermawan T.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus