MENGENANG BUNG HATTA Oleh: I. Wangsa Widjaja Penerbit: CV Haji Masagung, Jakarta, 1988, 292 halaman SEBUAH ciri khas Pendidikan Nasional Indonesia (juga disebut PNI-baru) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pada awal 1930-an ialah mendidik kader partai yang tidak mengenyam pendidikan formal tinggi, yang berasal dari rakyat biasa, bukan berlatar belakang priayi, menak, atau ningrat. Almarhum Sastra, anggota parlemen dari fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI), adalah sebuah contoh. Sastra bukan intelektual, dia buruh biasa. Berkat pendidikan yang diperolehnya dalam lingkungan PNI-baru di andung, kesadaran politiknya berkembang, daya analisanya menajam, wawasannya meluas. Untuk transformasi itu, dia mengakui dan menghargai guru-gurunya, yaitu Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Iding Wangsa Widjaja, untuk ukuran pendidikan di zaman Hindia Belanda, juga tidak termasuk layang-layang yang tinggi terbangnya. Ia tamatan sekolah rakyat, tetapi sempat memasuki Schakel School, sehingga memahami bahasa Belanda, walaupun bukan bahasa Belanda taraf AMS atau HBS, sekolah menengah. Karena dia anggota PNI baru dan memperoleh kesempatan dibina dalam kursus kader partai oleh Hatta, Iding berkembang kepribadiannya, wataknya, dan ilmunya. Tidak heran jika Iding menjadi wartawan pada surat kabar berbahasa Sunda, malahan Pemimpin Redaksi Priangan di Bandung sebelum Perang Dunia II. Ternyata, profesi wartawan bukan suratan hidup Iding. Sebagai gantinya, Iding menjadi sekretaris Hatta, pekerjaan yang ditekuninya selama 35 tahun. Iding telah menulis buku Mengenang Bung Hatta, dan mengingat sejarah hubungan antara Iding dan Hatta di masa lampau dapat dimengerti bila yang ditulis yang baik-baik dari diri Bung Hatta, yang oleh Iding diakui sebagai pemimpin dan gurunya. Hata ibarat "idola" bagi Iding dan hal itu membuat kita sudah menduga lebih dahulu apa yang disajikan oleh Iding. Tidak ada hal baru yang ditampilkan sekitar sifat-sifat Bung Hatta. Kalau Iding seorang pengamat psikologi dan peri laku manusia yang tajam, kalau Iding punya sense of humour dan melihat kelemahan-kelemahan sifat manusia dalam saat-saat idak awas, kalau Iding mampu mengambil jarak dari obyeknya, niscaya dapat tampil potret Bung Hatta yang sebelumnya tiada kita kenal. Akan tetapi Iding bukan orang seperti itu. Jadi, kita berpuaslah seada-adanya dengan buku yang ditulisnya ini. Mengatakan ini bukan berarti buku Iding tidak punya nilai. Buku ini tetap berharga. Gaya bahasanya yang tanpa pretensi enak dan perlu dibaca. Karena asosiasinya yang puluhan tahun dengan Bung Hatta, beberapa sifat Hatta lalu melekat pada diri Iding. Maka, seperti Hatta, Iding pun hendak sistematis dalam uraiannya paling tidak teraturlah. Ini dapat dibaca dalam judul bab-bab seperti: Bung Hatta sebagai Tokoh Pergerakan sebagai Politikus dan Negarawan Sebagai Ilmuwan Dosen yang disegani mahasiswanya sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Mengapa semua itu ditulis dengan huruf besar, kurang jelas. Akan dikatakan Iding terpengaruh oleh tata bahasa Jerman yang mengharuskan semua kata benda ditulis dengan huruf kapital, walahuallam. Atau dikatakan Iding mau menyatakan respeknya terhadap Hatta, itu baru spekulasi. Bagaimanapun, dengan perumusan judul demikian dan dengan keteraturan yang ditegakkan oleh Iding, dibantulah kita membaca bab-bab itu dengan lebih terfokus. Dan sesudah semua dikatakan dan dilakukan, hasilnya ialah tidak ada yang tidak kita ketahui. Yang bermanfaat sekali dalam buku ini terutama bagi generasi muda, ialah kutipan-kutipan dari tulisan Bung Hatta tentang berbagai masalah yang pernah dimuat dalam orgaan PNI-baru Daulat Rakjat. Malah dikutip in extenso karangan Bung Hatta: Kearah Indonesia Merdeka yang oleh anggota PNI-baru dikenal sebagai KIM. Di situ Hatta menguraikan konsepnya mengenai Kedaulatan Rakyat yang harus diterapkan di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Di masa belakangan ini dalam ruangan pers sering ditulis tentang pendidikan politik, perlunya lebih banyak keterbukaan, tegaknya hukum, dan sebagainya. Cobalah perhatikan kembali pendirian Bung Hatta dalam KIM yang ditulisnya pada tahun 1932: a) "Pendidikan politik dilakukan, supaya keinsafan rakyat akan hak dan harga dirinya bertambah kuat dan pengetahuannya tentang hal politik, hukum, dan pemerintahan negeri bertambah luas. Pendidikan politik cara begini berguna, supaya terdapat syarat-syarat untuk menimbulkan di Indonesia suatu pemerintahan negeri yang berdasar Kerakyatan dan Kebangsaan, suatu pemerintah yang bersandar kepada rakyat dan takluk kepada kemauan rakyat". b) "Pendidikan ekonomi bagi rakyat dilakukan, supaya terdapat satu perekonomian baru bagi rakyat Indonesia yang berdasar cita-cita collectivism (milik bersama) dan supaya pergerakan sekerja sendiri menjadi kembang". c) "Pendidikan sosial bagi rakyat dilakukan, supaya dapat mempertinggi keselamatan penghidupan rakyat dengan memberi pelajaran umum pada rakyat serta menunjukkan jalan, bagaimana memerangi segala mara bahaya dan penyakit yang merusak sendi penghidupan nasional". Apa yang dikatakan oleh Hatta 56 tahun yang silam itu sekarang pun belum kehilangan aktualitasnya dan tetap memiliki relevansi sosial. Maka, bukan karena Iding Wangsa Widjaja menulis tentang bosnya yang disayangmya itu, tapi memang karena sungguh-sungguh beralasanlah bila dikatakan bahwa Bung Hatta memang dapat dijadikan contoh oleh kita sekalian, terutama oleh generasi yang akan datang. Dan apabila Iding dalam akhir bukunya melahirkan harapan: "Semoga cita-cita Bung Hatta dapat terlaksana, membangun Indonesia adil dan makmur" maka kita pun mempunyai harapan yang sama. H. Rosihan Anwar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini