Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sinjang: Keperkasaan Perempuan

Belum pernah karya musik gamelan Sekaten dimainkan sepenuhnya oleh perempuan. Sinjang tampak kompleks, rigid, dan ramai.

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pementasan berjudul Sinjang di Teater Kecil, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, dalam acara bertajuk Festival Pasca Penciptaan, 12 Juli 2024. Dok. Pascasarjana ISI Surakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mutiara Dewi berusaha memberi tafsir baru pada gamelan Sekaten.

  • Sejatinya pemain gamelan Sekatan laki-laki, tapi kali ini semua perempuan.

  • Sinjang menjadi oase menyegarkan di tengah gersangnya kaum perempuan komponis tradisi negeri ini.

PADA 2010, akademikus dan komponis Tjen Marching menulis sebuah artikel di media nasional yang mengkritik dunia musik kontemporer Indonesia tak mampu melahirkan komponis perempuan. Dunia penciptaan musik masih menjadi wilayah sakral, wingit, tabu, atau bahkan "angker" bagi perempuan. Dominasi laki-laki begitu kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun anggapan itu layak didekonstruksi saat menyaksikan pementasan berjudul Sinjang di Teater Kecil, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, dalam acara bertajuk Festival Pasca Penciptaan (12 Juli 2024). Pentas musik karya Mutiara Dewi itu memukau, bukan semata karena komponisnya perempuan, tapi keseluruhan pemain musiknya juga perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinjang berkisah tentang keperkasaan. Uniknya, para musikus perempuan itu memainkan gamelan Sekaten, gamelan sakral berukuran raksasa, empat kali lipat dari gamelan biasa. Mereka adalah musikus perempuan perkasa dan bertenaga, seolah-olah menggusur persentuhan mesra antara laki-laki dan gamelan Sekaten.

Karya Sinjang bersorak lantang tentang dua hal: detak komponis perempuan masih berdenyut dan emansipasi perempuan dalam dunia kekaryaan gamelan mulai menunjukkan taringnya.

Imbal-Ngintil

Komposisi dibuka dengan racikan bonang gamelan Sekaten. Ukurannya yang besar mengharuskan dimainkan oleh dua pemain sekaligus, berhadapan. Tangan-tangan feminin dan lentik itu menjadi lincah dan energetik. Bunyi yang dihasilkan saling bersahutan, sesekali berimpitan dengan suara beduk. Mengingatkan kita pada jejak sejarah masuknya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Dalam epos itu, Sunan Kalijaga dianggap sebagai tokoh sentral pencipta gamelan Sekaten.

Gamelan ini dibuat dengan ukuran superbesar agar suaranya mampu menjangkau radius terjauh. Menarik perhatian orang-orang dengan kegaduhan yang dihasilkannya. Mereka mendekat, penasaran. Sebelum menikmati gending-gending pastoral yang wingit itu, mereka wajib mengambil air wudu dan membaca dua kalimat syahadat. Secara aklamatif masuk Islam. Setelahnya, orang Jawa diperkenankan menikmati lantunan gamelan Sekaten. Semua pemain gamelan adalah laki-laki, pengrawit keraton yang telah terseleksi kadar keislamannya. Gamelan ini bukan sembarang alat musik; ia bersejarah dan bertuah.

Pementasan berjudul Sinjang di Teater Kecil, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, dalam acara bertajuk Festival Pasca Penciptaan, 12 Juli 2024. Dok. Pascasarjana ISI Surakarta

Namun Mutiara Dewi berusaha memberi tafsir baru pada gamelan Sekaten. Ia menghadirkan 18 perempuan sebagai musikus, mengenakan jarik (sinjang) berwarna cokelat tua, menghadirkan keanggunan perempuan Jawa pada masa lampau. Kisah religius dan kuasa laki-laki semakin menepi, tergantikan oleh kecantikan dan kemolekan para musikus perempuan. Penonton semakin terpukau kala pemain instrumen demung, saron, dan peking bersahutan dalam memainkan melodi utama gending, saling imbal dan ngintil. Suara-suara yang dihasilkan kadang tumpang tindih dan bising layaknya seorang pandai besi menempa senjata pedang dan tombak. Keringat mengucur deras, tapi raga tak terlihat lelah. Tangan-tangan lembut itu tampak berotot dan kekar, sesekali membuat miris, tapi terus membuncah kagum.

Dalam sejarah musik kontemporer Tanah Air, terutama Jawa, belum pernah ada karya musik gamelan Sekaten yang dimainkan sepenuhnya oleh perempuan. Dewi memecah kebuntuan ide, melahirkan karya baru dengan medium gamelan Sekaten, menjadi lebih berwarna tapi tetap elegan. Rambu dan Rangkung, yang selama ini menjadi gending wajib gamelan Sekaten, tidak tampak dalam pergelaran itu. Mutiara Dewi menciptakan komposisi gending baru, diikuti alunan vokal, membentuk kesan maskulin yang gaduh.

Proses interaksi dan komunikasi musikal dilakukan dengan saling memberi umpan dan respons. Memainkan komposisi musik Sinjang membutuhkan kepekaan dan konsentrasi tinggi. Beberapa bagian menghadirkan letupan musikal tak terduga, menjadikan panggung Sinjang sebagai laboratorium kreatif, ajang unjuk kemampuan musikal penuh improvisasi tertata. Dengan demikian, agaknya, karya itu mampu hadir dengan nuansa berbeda di setiap gelarannya. Maklum, Sinjang adalah karya tugas akhir Dewi di Program Penciptaan Musik Pascasarjana ISI, Surakarta, satu dekade silam. Karena itu, karya tersebut selalu dituntut menemukan makna baru, sebagaimana kodrat musik yang menghamba waktu (sementara seni rupa menghamba ruang).

Karya Sinjang tak lepas dari sentuhan Rahayu Supanggah, sang pembimbing tugas akhir, empu karawitan Jawa dan salah satu komponis Indonesia yang menjadi bagian terpenting dari jaringan seni pertunjukan global. Konsep mad sinamadan dalam gamelan Jawa begitu terasa, di mana setiap instrumen dilarang memiliki kuasa musikal paling menonjol dibanding lainnya. Semua harus setara, tidak ada yang lebih keras atau pelan. Mutiara Dewi sengaja membawa kisah-kisah tradisi musikal yang dimilikinya agar tak kehilangan identitas. Ia memperlakukan gamelan sebagaimana perempuan Jawa memperlakukan suaminya, dengan santun dan sopan. Sinjang menjadi oase menyegarkan di tengah gersangnya kaum perempuan komponis tradisi negeri ini.

 

Kalkulatif

Beberapa bagian komposisi Sinjang cenderung matematis, dengan alur musikal yang didasarkan pada kalkulasi hitung-hitungan kalimat melodi. Pengulangan sering kali terjadi, kesan monoton tak dapat dihindarkan. Kesempatan untuk mempermainkan dinamika dan irama kadang kurang dapat dieksplorasi, sehingga komposisi terkesan berisik dan gaduh tanpa memberi ruang untuk kontemplatif. Beruntung, Dewi memecah kejenuhan itu dengan tampil solo vokal diiringi biola dan gender. Suaranya khas pesinden Jawa yang sendu. Ia mampu memainkan aksentuasi vokal dengan nada tinggi sedikit serak tapi indah. Gaya vokal demikian memanjakan imajinasi penonton laki-laki mengudang burung perkutut di halaman belakang rumah, damai dan nyaman.

Pementasan berjudul Sinjang di Teater Kecil, Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, dalam acara bertajuk Festival Pasca Penciptaan, 12 Juli 2024. Dok. Pascasarjana ISI Surakarta

Selebihnya, Sinjang memang terlihat kompleks, rigid, dan ramai, berjarak dari kesan sederhana yang menenangkan layaknya gending tradisi dalam karawitan Jawa. Suara bising yang dihasilkan seolah-olah pelantang tentang keperkasaan, perlawanan, dan dekonstruksi atas otot dan tubuh kekar lelaki. Perempuan itu berdaya, dan Sinjang adalah pembekuan ingatan-ingatan tentangnya. Sinjang memang bukanlah bahasa yang harus dijelaskan dalam pengertian-pengertian definitif. Ia menjelma sebagai suara dari bunyi yang menunggu untuk dibongkar, sangat personal. Dan bunyi itu mampu menjadi apa pun dalam imajinasi dan mimpi penontonnya. Namun tubuh perempuan itu akan selalu hadir untuk mengisahkan.

Sinjang telah berhasil menciptakan ruang baru bagi perempuan dalam dunia musik gamelan (Sekaten) yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Karya ini tidak hanya menantang norma tradisi, tapi juga memberikan inspirasi bagi generasi komponis dan musikus perempuan di masa mendatang, berekspresi tanpa batas. Sinjang menjadi simbol perjuangan dan emansipasi.

Karya ini menunjukkan bahwa pembaruan dalam seni bukan berarti menghapus yang lama, melainkan mengintegrasikan nilai-nilai tradisi dengan inovasi dan keberanian, untuk menciptakan sesuatu yang segar dan relevan. Dengan demikian, Sinjang akan terus menjadi manifestasi dari dinamika dan kompleksitas gender dalam budaya Jawa. Sebuah karya yang tidak hanya menggetarkan panggung, tapi juga hati dan pikiran, mengukuhkan posisi perempuan dalam peta seni pertunjukan Indonesia. Sinjang adalah perayaan keberanian, keindahan, dan ketekunan perempuan dalam menciptakan seni yang melampaui batas-batas patriarki tradisi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aris Setiawan

Aris Setiawan

Etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus