Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagaimana rasanya? Asin? Manis?"
"Ya."
"Anda minum darah itu?"
Lelaki 78 tahun bertubuh tinggi kurus dan bernama lengkap Inongsyah itu menceritakan bagaimana ia selalu meminum darah dari korban yang digoroknya. Meminum darah anggota Partai Komunis Indonesia adalah keharusan. Bila tidak dilakukan, itu akan membuat dia bakal dihantui terus. Ia bercerita tentang seorang temannya yang banyak memancung tapi tak mau meminum darah korban yang akhirnya menjadi gila. Sang teman pada subuh memanjat pohon sawit dan di ketinggian berteriak-teriak menyerukan azan.
Itulah sebuah adegan film dokumenter Senyap (The Look of Silence) karya Joshua Oppenheimer yang menggiriskan. Dengan tenang, dalam film itu Inongsyah memperagakan bagaimana pada 1965 ia menjagal mereka yang dianggap anggota PKI dan membuangnya ke Sungai Ular. Tubuh-tubuh itu hanyut tanpa kepala.
Film berlatar Deli Serdang dan Serdang Bedagai itu pada akhir Agustus lalu meraih lima piala Festival Film Internasional Venesia ke-71. Film ini merupakan kelanjutan film dokumenter Oppenheimer sebelumnya, The Act Killing. Sebagaimana The Act of Killing, film ini juga diproduseri sutradara legendaris dunia asal Jerman, Werner Herzog. Sementara pada Jagal (The Act of Killing) Oppenheimer memfokuskan penceritaan pada sosok Anwar Congo—preman pencatut karcis bioskop di Medan yang pada 1965 membantu tentara memburu dan membantai mereka yang dianggap PKI—kini ia bersama Adi Rukun, 44 tahun, mengitari Deli Serdang dan Serdang Bedagai untuk mewawancarai para pembunuh kakak Adi.
Seorang kakak Adi bernama Ramli pada 1965 dianggap terlibat PKI dan oleh tetangganya sendiri dibantai. Perutnya disobek, kemaluannya dipotong. Bersama Oppenheimer, Adi mendatangi satu per satu para pembunuh kakaknya. Film ini mungkin diberi judul Senyap karena, setelah para pelaku dengan bangga mengisahkan aksi "kepahlawanan" mereka, suasana tiba-tiba senyap tatkala Adi kemudian berterus terang bahwa yang mereka bunuh salah satunya adalah kakak kandungnya. Tatapan mata mereka kosong. Entah perasaan berdosa atau apa yang mereka rasakan. Film ini lebih menusuk daripada The Act of Killing.
Film ini terakhir, September lalu, ditayangkan di Festival Film Internasional Toronto, Kanada. Ketika film usai, satu per satu penonton berdiri sambil menyeka air mata. Tiga kali standing ovation diberikan penonton. Pertanyaan demi pertanyaan pun dilontarkan saat sesi tanya-jawab. Adi Rukun beberapa kali tercekat ketika harus menjawab pertanyaan dari mana ia mendapat kekuatan dan keberanian tampil terbuka dalam film.
Lima belas menit waktu untuk sesi tanya-jawab buat film Senyap di Toronto International Film Festival rasanya terlalu sebentar. Terlihat masih banyak sekali pertanyaan penonton yang hendak ditujukan kepada Adi Rukun. Satu per satu mereka antre menyalami Adi. Ada yang penasaran akan keselamatan Adi dan keluarganya. Joshua Oppenheimer lalu menjelaskan bahwa saat ini Adi dan keluarga sudah pindah dari Medan ke tempat yang lebih aman.
Tempo berusaha mencari makam Ramli. Setelah menyusuri jalan berbatu dengan mobil sejauh hampir tujuh kilometer, yang membelah perkebunan kelapa sawit di Afdeling Pelintahan, Matapao, Serdang Bedagai, akhirnya nisan itu ditemukan. Nisan itu terlihat dari jalan, kurang-lebih hanya 30 meter jaraknya menjorok ke dalam kebun sawit di Blok IV. Nisan putih itu diukir dengan nama Ramli dan tulisan Arab serta dipasangi keramik biru. Dua batang pohon suji ditautkan melengkung di atas pusara. Setengah botol minyak kasturi bermerek Putri Duyung tanpa tutup tergeletak di sudut nisan saat itu.
"Itu kuburan Ramli," ujar mandor Radiman, 47 tahun. Siang itu Radiman tengah mengawasi empat anak buahnya memetik dan mengumpulkan kelapa sawit. "Kabarnya dulu dia orang PKI. Dia dibabat tangannya, ususnya keluar, kelaminnya dipotong," ucap mandor keturunan Jawa itu. "Kata orang-orang tua dulu, dia merangkak dari Sungai Rampah sana, tapi tak kuat dan tewas di sini."
Rupanya, kuburan Ramli sudah diketahui masyarakat sekitar. Nama Ramli memang bukan nama yang asing bagi warga Matapao, Pasar Lama, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Nama Ramli masuk daftar korban yang tertoreh di buku stensil tulisan Amir Hasan, mantan kepala sekolah dasar di Matapao. Amir (sudah almarhum sekarang) pada 1965-1966 menjadi salah satu pemimpin Komando Aksi di Teluk Mengkudu dan sekitarnya yang melakukan "pembersihan". Stensilan berjudul Embun Berdarah itu mengisahkan "catatan heroik" operasinya. Dari stensilan itulah sutradara Joshua Oppenheimer membuat film Senyap.
Berdasarkan petunjuk stensilan itu, Tempo mencoba menapak tilas tempat-tempat Ramli dan korban lain ditahan dan disiksa Komando Aksi. Stensilan itu menyebutkan para korban pertama-tama diciduk dari rumah dan ditahan di sebuah gedung bioskop di Sialang Buah. Tatkala Tempo ke sana, di tempat itu kini hanya tersisa bongkahan bangunan yang dipenuhi rumput setinggi pinggang. Bioskop itu dulu terletak di samping sungai kecil. Letaknya kurang-lebih 200 meter dari kantor Komando Rayon Militer 09/TM dan masjid besar di Desa Sialang Buah. Desa ini tak jauh dari Pantai Sialang Buah, yang menjadi tujuan wisata. Untuk menuju ke sana, harus melewati permukiman penduduk yang banyak memiliki babi, yang dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan desa.
Bioskop Sialang berhenti beroperasi hampir dua dasawarsa lalu. Sebelum tutup, bioskop ini memutarkan film tiap malam. "Putar film porno juga kalau sudah malam ketika anak-anak telah tidur," ujar seorang penjual minuman yang tinggal di samping bangunan itu.
Setelah dari bioskop, Ramli dipindahkan ke tahanan Pos Polisi Firdaus di Desa Firdaus, Sei Rampah, kurang-lebih 13 kilometer dari Sialang Buah. Di situ ia ditahan beberapa minggu. Pos polisi itu kini menjadi kantor dinas perhubungan. Sedangkan kantor polisi berpindah lokasi, di Jalan Negara, tak jauh dari kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Serdang Bedagai. Dari Pos Polisi Firdaus, Ramli dipindahkan lagi ke bioskop Sialang Buah. Dari keterangan Amir Hasan di buku Embun Berdarah, mereka tak hanya menempatkan para tahanan di bioskop, tapi juga di Tanjung Kasau dan Gudang Hitam di Kabupaten Tebing Tinggi, yang berjarak 20-25 kilometer dari Sei Rampah atau lebih dari 80 kilometer dari Medan.
Di Tanjung Kasau, Tempo menjumpai sisa bangunan menara air bekas rumah sakit Belanda di tengah kebun sawit. Masuk sejauh 150 meteran, suasananya sepi, menyeramkan. Menurut Ngadiman, 78 tahun, tempat itu pada 1965 menjadi tempat penahanan dan pembantaian. Ngadiman adalah bekas anggota pasukan Cakrabirawa yang dipenjara lebih dari 12 tahun dan menghabiskan masa tahanan di sana. Tak jauh dari sisa bangunan menara air, Tempo menjumpai kuburan massal dari 122 korban.
Ngadiman mengatakan pernah menemukan 28 korban dimasukkan ke satu lubang berdiameter 1,5 meter. Dia pun menunjukkan lubang dan kuburan itu kepada Tempo. "Saya menguburkan mereka bersama Pak Tambo—dia dipenjara 13 tahun, jadi juru masak sekaligus tukang gali kubur tahanan," ucapnya. Dia juga memberi penanda dengan membangun sebuah tonggak semen setinggi 1,5 meter dan batu nisan.
Setelah dari Tanjung Kasau, Tempo menengok Gudang Hitam. Gudang berdinding seng itu berukuran kira-kira 10 x 20 meter. Ngadiman mengatakan kondisi gudang itu tak berubah jauh. "Sekarang menjadi tempat penyimpanan beras." Ngadiman sempat ditahan di situ empat hari bersama ratusan orang lain.
Dari stensilan Amir Hasan disebutkan bahwa Komando Aksi bergerak pada 21-22 Januari 1966. Dari bioskop Sialang Buah, mereka mencokok Lumban Gaol, Sukimin, Geger, M.S. Sipayung, dan Kustar. Berikutnya, pada Kamis malam Jumat Kliwon, 27 Januari 48 tahun silam, Komando Aksi bergerak lagi. Rombongan Amir Hasan dikawal Jumadi, Sinulingga, Samosir, dan Bahrum mengangkut Amat Juadi, Wasis, Kemat, Hasuim, Edy Sukirman, Pawit, Sarwan, dan Ramli menggunakan motor gerobak.
Sesampai di Pasar Baru, terjadi keributan. Ramli berteriak minta berhenti. Tindakan ini memprovokasi para tahanan lain. Amir Hasan membacok seorang tahanan bernama Ribut dengan golok, tapi tak mempan. Samosir, anggota Komando Aksi lain, melepaskan tembakan. Sarwan, Edy Sukirman, Wasis, serta bapak-anak, Hasyim dan Mursaik, langsung tergeletak di motor gerobak itu. Sedangkan Ribut, Pawit, Kemat, dan Ramli lari dalam keadaan terluka. Ramli terluka cukup parah.
Tawanan yang tersisa dan masih hidup, Edy Sukirman, dianiaya oleh Amir Hasan. Di atas motor yang masih berjalan, kepala Edy diletakkan di atas ban, lalu lehernya diletakkan besi. Dengan kejam Amir berjungkat-jungkit dengan leher Edy sebagai landasannya. Mayat Edy dan tahanan lain lalu dibuang ke Sungai Ular. Bila Anda ingin tahu lokasi penjagalan dan pembuangan Sungai Ular, tempatnya tak jauh dari jembatan Sungai Ular, yang menjadi tapal batas dengan Kabupaten Deli Serdang. Jika Anda dari arah Medan, sekitar 200 meter dari jembatan, Anda akan menemukan penambangan pasir liar. Di situlah lokasi penjagalan.
Sepulang dari Sungai Ular, Amir Hasan dan kawan-kawan melapor ke kantor Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Perbaungan. Di situ mereka mendapat informasi bahwa Ribut, yang kebal bacokan, telah tertangkap. Dia dititipkan ke Stasiun Kereta Api Teluk Mengkudu. Ribut diikat dengan kawat dan rantai di atas kereta. Mereka juga mendapat laporan bahwa mayat Pawit dengan usus terburai ditemukan di daerah Warung Atom. Kini yang disebut Warung Atom dikenal warga setempat sebagai warung esek-esek. Tak jauh dari warung itu kini terdapat sebuah menara telekomunikasi. Di dekat menara itulah Pawit dikuburkan.
Amir Hasan dan anak buahnya malam itu juga mendapat laporan bahwa Ramli pulang ke rumah orang tuanya di Pasar Lama. Tak mau kecolongan lagi, Amir lalu menyusul menggunakan jip. Mereka kemudian menjemput Ramli, yang terluka parah. Bahunya terbacok nyaris putus, perut kiri sobek, dan punggungnya kena tombak.
Seorang kakak Adi Rukun lain, yang demi alasan keselamatan tak ingin disebut namanya, mengatakan kepada Tempo, saat Ramli ditahan di bioskop Sialang Buah dan kantor polisi di Firdaus, Sei Rampah, biasanya ia yang sering diminta orang tuanya mengantarkan makanan untuk Ramli. Saat itu dia berumur 11 tahun. Hingga suatu ketika pada bulan Ramadan itu, Ramli datang ke rumah orang tuanya di Pasar Lama dengan usus hampir terburai.
"Waktu itu terdengar bunyi senapan. Ayah sudah berpikir Abang tewas. Ternyata beberapa lama kemudian Abang datang," ujarnya.
Ia menceritakan bagaimana saat itu mamaknya menjemput istri Ramli yang sedang mengandung. Setelah berkumpul, ia dan bapaknya berupaya pergi mencari pertolongan ke Lubuk Cengel melintasi semak dan rawa-rawa di depan rumah. Tapi di seberang sana rupanya sudah banyak orang.
Ia ingat, Ramli yang terluka parah minta dibuatkan kopi kesukaannya. Mamak lantas menjerang air. Kira-kira setelah subuh, baru saja air mendidih, rombongan Amir Hasan datang dengan jip. Beberapa orang masuk ke rumah dan mengatakan akan membawa Ramli ke rumah sakit. Orang tua Ramli (di film Oppenheimer, orang tua Ramli sekarang sudah amat tua) saat itu ingin menemani Ramli, tapi dilarang.
Keesokannya mereka mendengar kabar dari orang-orang kampung bahwa Ramli ditemukan di Sungai Pekong. Dari keterangan stensilan Amir Hasan, rupanya tubuh Ramli hendak dibawa ke Sungai Ular, tapi tak jadi. Jip lalu membawa tubuh itu ke arah Sei Rampah, ke arah Tebing Tinggi. Tapi, sesampai di jembatan Sungai Pekong, tubuh Ramli dilemparkan ke sungai. Ramli diceritakan menggapai-gapai meminta pertolongan.
Jembatan Sungai Pekong terletak di samping Pekong atau tempat sembahyang umat Cina di Jalan Protokol Dusun VI Sei Rampah, Serdang Bedagai. Ketika Tempo ke sana, sungainya tak terlalu lebar, boleh juga disebut parit. Lebarnya kurang-lebih hanya tiga meter. Saat Ramli dibuang ke Sungai Pekong itu, rupanya pada keesokan hari penduduk setempat menemukan tubuhnya. Dia masih hidup. Mendengar Ramli masih hidup, Komando Aksi Sei Rampah mengambil tubuh pria itu. Amir Hasan meminta Komando Aksi Sei Rampah mengamankan Ramli. Di Afdeling Pelintahan, Ramli lalu dihabisi nyawanya dengan keji.
DAN akhirnya Tempo bertemu dengan Inongsyah, salah satu pelaku pembantaian yang menjadi sorotan di film Joshua Oppenheimer. Tempo mengunjungi rumahnya di Desa Pergulaan Dusun V, Sei Rampah. Lokasi rumahnya sekitar 15 kilometer dari Sei Rampah atau kurang-lebih 77 kilometer dari Medan ke arah Kecamatan Dolok Masihul. Melewati perkampungan di tengah perkebunan sawit dan singkong, rumahnya sederhana bercat putih. Di samping kiri rumah terdapat kebun singkong dan di depan terdapat warung yang sudah ditutup.
Memakai baju koko krem, sarung kotak-kotak hijau, dan kopiah cokelat tua, Inongsyah siang itu mengucap salam. Dia baru pulang dari masjid, sekitar 100 meter dari rumahnya. Tempo berbincang di ruang tamu berukuran 6,5 x 3 meter. Dinding ruang tamunya dihiasi foto-foto keluarga dan hiasan kaligrafi. Tampak tertempel foto Inong muda dengan ukuran A4.
"Ya, begini saja. Sebelum subuh ke masjid, siang juga begitu. Pulang sebentar, nanti sore ke masjid lagi," ujarnya. Inongsyah menjelaskan bahwa ia sudah 16 tahun menjadi pengurus masjid.
Tanpa ditutup-tutupi, Inong menceritakan masa mudanya ketika terlibat aksi pengganyangan. Waktu itu dia menjadi anggota Pemuda Marhaen. Anggota kelompok itu, kata Inong, adalah pemuda dari unsur Marhaen dan Ansor-Nahdlatul Ulama. "Semuanya ada delapan orang," ucapnya.
Mereka bergerak setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI. Mereka menangkap anggota PKI yang sudah dilepaskan dari tahanan. Menurut Inong, mereka bergerak jika ada instruksi dari komandan mereka. Sang komandan mendapat informasi siapa saja yang harus "dijagal" berdasarkan daftar dari tentara. "Malam ini si A dilepaskan, ya, sudah kami ambil," ujarnya. Biasanya mereka bergerak mengambil korban di daerah setelah pukul 19.00. Mereka beroperasi hingga pukul 01.00-02.00.
Inong menampik jika disebut memancung korban dari luar daerahnya, termasuk mereka yang berasal dari Simpang Matapao dan Sialang Buah. "Enggak sampai ke sana. Sudah ada kelompok lain itu," ujarnya. Menurut Inong, hampir tiap malam ia tak tidur dan tiap minggu ada perintah menghabisi korban. Dia bercerita, sesudah menangkap "mangsa", kelompoknya akan membawa korban ke Sungai Ular. Biasanya mereka akan mencegat motor gerobak atau mobil yang lewat untuk membawa korbannya sampai Sungai Ular. "Mereka kemudian kami pancung," katanya dengan santai.
Sebagaimana dikatakannya dalam film Senyap, Inong juga menceritakan kepada Tempo bahwa banyak jagal yang tak sanggup melakukan pemancungan lantas menjadi gila. Di daerahnya, Namo Sialang dan di Dolok Masihul—saat itu masih masuk Kabupaten Deli Serdang—banyak jagal yang gila karena tak sanggup menghadapi kenyataan membunuh banyak orang. Tapi, tak seperti pengakuannya di film Senyap, Inong membantah jika disebut ikut meminum darah korban. "Tidak ada itu. Di kelompok kami tidak ada seperti itu. Darah itu kotor, haram," ujarnya.
Dia juga mengatakan kelompoknya enggan menghabisi para perempuan yang menjadi anggota PKI atau afiliasinya. "Kami masih menghargai karena kami lahir dari perempuan."
Ketika Tempo menanyakan mengapa ia tega membunuh, sikap Inongsyah berubah. Kedua lututnya bergerak ke kiri-kanan. Nada bicaranya agak meninggi. Menurut kakek ini, para anggota PKI dan afiliasinya di desa sewenang-wenang merampas tanah. Menurut Inong, mereka juga mengatakan tak perlu ada agama. "Menurut kami, suasana waktu itu tak keruan. Jika mereka menang, tak tahu apa yang terjadi. Kami pasti diciduk, jadi tumbal. Daripada didahului, kami habisi dulu mereka."
Saat disinggung tentang keinginan keluarga korban agar ia meminta maaf atas perbuatannya, Inongsyah hanya menjawab ringan. "Mana buktinya? Kalau memang ada bukti kami membunuh keluarganya, saya minta maaf," ujarnya sambil mengatupkan dua tangannya seperti menyembah meminta maaf.
Seno Joko Suyono (Jakarta), Dian Yuliastuti, Soetana Monang (Deli Serdang dan Serdang Bedagai), Farah Dompas (Toronto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo