Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Politik' di Dunia Kriya

Jakarta Contemporary Ceramics Biennale ketiga berlangsung di Galeri Nasional. Makna penciptaan keramik makin luas.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah situs kuno telah ditemukan di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Dari tempat itu, muncul sejumlah temuan barang tembikar dan alat musik berbahan keramik yang bisa menerangkan asal-usul sejarah desa. Benda-benda purbakala itu diyakini sebagai bagian dari peninggalan Kerajaan Wanayasa, cikal-bakal terbentuknya Desa Jatiwangi—desa penghasil genting—dari abad ke-18.

Kliping koran setempat, benda-benda temuan di lokasi perkara, foto lokasi situs, dan surat edaran dari aparat desa digelar di atas meja oleh kelompok Jatiwangi Art Factory (JAF) pada pameran Jakarta Contemporary Ceramics Biennale ketiga di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 23 September- 13 Oktober 2014. "Hubungan antara penduduk Jatiwangi dan tanahnya semakin merosot. Kami membuat simulasi penemuan situs itu untuk memperkuat lagi hubungan antara manusia dan tanahnya," ujar salah seorang seniman JAF.

Di lantai, teronggok obyek-obyek tembikar yang seakan-akan baru muncul dari dalam bumi, dengan garis polisi. Pasalnya, tak lama setelah "penemuan" situs itu, dua artefak berbentuk umbi yang diduga "seruling kuno" raib dari tempatnya. Itulah "politik" representasi dari komunitas Jatiwangi—didirikan pada 2005—yang dikelola dari hasil penjualan genting oleh para seniman pendirinya.

Ranah seni keramik terasa memperoleh lingkungan pergaulan baru pada pameran ini. Wilayah itu diberi makna ekspansi atau perluasan penciptaan keramik, dukungan kesertaan sejumlah seniman kontemporer (dari dalam dan luar negeri), dan pemilihan karya yang lebih menarik. Sejak awal 1990-an, relasi antara seni dan kekriyaan memperoleh perhatian di lingkungan seni rupa kita. Muncul istilah kriya seni (art craft), yang menarik sumbu di antara karya lukisan, patung, dan tapestri dalam wacana seni dekoratif. Tradisi panjang kriya (kerja menghias, tampilan rupa keindahan) tidak sungguh-sungguh dinegasikan, di sana-sini bahkan mewarnai modernitas seni rupa kita.

Asmudjo J. Irianto (dan Rifky Effendi, kurator pameran ini) gencar mewacanakan gagasan persilangan seni dan nonseni di ranah ini. Asmudjo, pengajar seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, sejak awal 2000-an memperkenalkan istilah kriya kontemporer melalui trikotomi seni murni, desain, dan kerajinan (craft). Dalam pembedaan itu, terutama di dunia Barat, kriya didefinisikan sebagai "bukan seni" dan "bukan desain". Kerja keterampilan tangan, penguasaan medium yang dekat dengan alam (kayu, bambu, tanah liat, kertas, kulit, gelas, serat), dan berinduk pada tradisi bentuk wadah (pottery) merupakan determinasi wilayah kriya.

Adalah filsafat seni pada abad ke-19 yang mengganjar seni sebagai representasi ide, tempat "kebudayaan reflektif" dianggap menemukan bentuk idealnya. Dengan konsep demikian, kerja seni kian melupakan kecendekiaan tangan dan kriya yang lekat dengan kerja tangan terpinggirkan dalam "politik" penjenjangan antara seni dan nonseni.

Kriya kontemporer pada pameran ini menyerap gagasan-gagasan (seni) kontemporer, misalnya tradisi kritik, kejamakan medium, citra budaya konsumen, penggunaan media baru, pemanfaatan benda temuan, dan citra performatif tentang tubuh. Semua itu mengguncang kerja tangan, seolah-olah melampauinya, tapi tidak tanpa kecendekiaan tangan.

Kita sudah menyinggung tentang Jatiwangi Art Factory di atas yang memperlakukan seni sebagai peristiwa simulasi—melalui produk tembikar bikinan lokal—untuk penguatan identitas masyarakat setempat. Ada Eldwin Pradipta, seniman video dari Bandung, yang menggunakan proyeksi video untuk "melabur" jambangannya dengan warna-warni pop seperti iklan produk cat. Citra menggantikan bentuk nyata, mengesankan pseudo-kriya. Karya ini mensimulasikan karya seniman kontemporer Ai Weiwei, yang gemar mengecat guci kuno yang banyak ditemukan di daratan Cina dengan bahan cat murahan.

Antonio S. Sinaga, seniman muda lulusan Jurusan Seni Keramik ITB, menggabungkan karya fotografi, obyek buku, dan pecahan keramik. Pada foto-foto itu, tampak model-model perempuannya menggunakan topeng wajah Yesus dalam ade­gan pesiar di taman atau tengah bersulang. Pada alusi-alusi religius karya Sinaga, kita tidak serta-merta melihat identitas sebuah medium seperti pada tradisi kriya.

Aghya Dhyaksa, juga dari Bandung, menggubah teks-teks verbal, berdesakan di antara bentuk keramiknya yang beraneka, menjauhi citra halus dan mendekatkan kita pada sifat ekspresif kerja tangan. Dadang Christanto dan Yuli Prayitno, keduanya dari Yogyakarta, lebih dikenal sebagai seniman instalasi. Representasi karya-karya Dadang bersifat kritik, menggunakan medium gerabah sebagai pernyataan seniman tentang korban peristiwa politik. Adapun Yuli menggubah bahan karet silikon untuk membentuk tipuan citra keramik antik berupa piring porselen putih-biru dan mangkuk kuno. Dua karyanya mengesankan sesuatu yang tidak biasa untuk pemajangan karya keramik, yakni melayang atau dibentangkan di dinding.

Perhatikan karya Yee Sook-yung, seniman ternama dari Korea. Konfigurasi pecahan jambangan yang direkat-susun menjadi bentuk baru sangat memikat. Dia melampaui tradisi bentuk wadah dengan cara yang radikal. Ia mengumpulkan pecahan produksi keramik dari desa-desa perajin di berbagai pelosok Korea, lalu merangkainya dengan sambungan bersepuh emas 24 karat. Inilah penciptaan seni yang dekat dengan tradisi kritis (kritik diri dan kritik ideologis) yang lazim digunakan para seniman di masa kini. Karya Yee Sook-yung setidaknya menyiratkan sebuah pandangan mengenai trauma, kegetasan, tapi juga keliatan dan ketangguhan.

Wan Li Ya dari Cina menampilkan karya berbahan porselen berwujud benda-benda konsumen (kaleng minuman, botol sabun, dan kosmetik) yang dibubuhi citra lukisan Cina klasik yang sangat halus. Kekontemporeran karya Li Ya terletak pada penjajarannya di antara dua jenis budaya yang melahirkan konfigurasi baru. Keindahan lukisan lanskap itu seperti sebuah lapisan baru yang subversif pada benda konsumen dan bentuk pabrikan yang makin bersifat global. Dan, kita tahu, tidak ada ragam seni di mana pun yang lebih licin dan sekaligus bertahan dibanding tradisi lukisan lanskap.

Wasinburee Supranichvoraparch, seniman Thailand, menggubah bentuk durian emas yang mencuatkan makna ganda: mimesis dan citra kemasan, antara yang artifisial dan yang real.

Barangkali tidak ada pameran yang menyertakan lebih banyak peserta perempuan dibandingkan dengan pameran keramik, kriya, atau tapestri, misalnya. Pada pameran ini, tak kurang studio keramik yang dikelola seniman keramik perempuan, seperti Boneca (Bandung), Keramiku, Kolekkan (Jakarta), dan Clei Pottery (Ubud, Bali), serta belasan seniman keramik perempuan terlibat. Bukankah ini seakan-akan menunjukkan bahwa ranah kriya kontemporer tampaknya sebuah peluang bagi tampilnya seniman nonlaki-laki?

Perkembangan (seni) keramik—kontemporer atau bukan—memperoleh kesempatan lebih besar pula dalam satu dekade terakhir ini. Selain bienial keramik, ada Pameran Seniman Muda Keramik Indonesia, Pameran Kriya Indonesia, dan pameran tapestri atau seni serat, yang cukup gencar dalam beberapa tahun terakhir ini. Belum lama ini diselenggarakan Biennale Desain dan Kriya (2013) serta Biennale Bambu di Solo (September 2014), yang sedang berlangsung untuk pertama kali.

Hendro Wiyanto, Pengamat Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus