Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Werner Herzog adalah salah satu tokoh terbesar perfilman Jerman masa kini yang mendunia. Francois Truffaut, sineas terkenal Prancis, pernah menyebut Herzog sebagai "sutradara film terpenting yang masih hidup". Lelaki kelahiran Muenchen, Jerman, 5 September 1942, ini telah membuat puluhan film cerita, seperti The Enigma of Kaspar Hauser dan Aguirre, The Wrath of God. Dari tangannya juga lahir sejumlah film dokumenter, seperti The Flying Doctors of East Africa, Grizzly Man, dan On Death Row.
Herzog dan film-filmnya berkali-kali diunggulkan dan menang di berbagai festival film. Dia pertama kali meraih Silver Bear Extraordinary Prize of the Jury untuk Signs of Life pada 1979. Setelah itu, berbagai penghargaan ia terima, seperti Sutradara Terbaik untuk Fitzcarraldo pada Festival Film Cannes 1982, The Special Jury Prize untuk The Enigma of Kaspar Hauser pada Festival Film Cannes 1975, Alfred P. Sloan Prize untuk Grizzly Man di Festival Film Sundance 2005, dan Film Dokumenter Terbaik untuk Encounters at the End of the World di Festival Film International Edinburgh 2008.
Setelah namanya menjadi bagian dari legenda perfilman dunia, Herzog mulai mendorong lahirnya sutradara muda dengan mendirikan Rogue Film School. Salah satu yang didukungnya adalah Joshua Oppenheimer. Dia menjadi produser eksekutif untuk dua film Oppenheimer, The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap).
Tempo berusaha menghubungi Herzog untuk mewawancarainya mengenai perannya di kedua film Joshua Oppenheimer. Setelah berkomunikasi intens melalui surat elektronik, akhirnya Herzog, yang awal September lalu berada di San Francisco, bersedia diwawancarai wartawan Tempo Kurniawan dan Amanda Siddharta melalui telepon.
Bagaimana mulanya Anda mengenal Joshua Oppenheimer?
Saya pernah sekali bertemu dengan dia di Telluride Film Festival bertahun-tahun yang lalu. Saya bertemu dengan dia lagi di London saat saya akan mengejar pesawat. Ketika sarapan, Andre Singer, produser Jagal, mengatakan ada anak muda yang sangat ingin berbicara dengan saya. Joshua kemudian datang tergesa-gesa dan mengeluarkan laptopnya. Dia menunjukkan potongan delapan menit dari filmnya, Jagal, saat Anwar Congo, sang jagal, berdiri di bawah air terjun dan ada gadis-gadis cantik menari. Sesuatu yang benar-benar surealistik. Saya langsung berkata bahwa saya tak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
Apakah Anda kaget melihat isi potongan film itu?
Saya melihat potongan film itu memiliki sisi politik yang mendalam. Ada sesuatu yang sangat humanis di sana, tentang manusia serta penderitaan dan delusi mereka. Ini film yang sangat humanis. Karena itu, ini bukan film mengenai Indonesia. Ini film mengenai jiwa manusia yang terdalam. Itu sebabnya mengapa film seperti ini bisa dibuat di Eropa, Brasil, Amerika, atau Italia. Kualitas dari dua karya Joshua sudah melampaui politik. Meskipun belum pernah ke Indonesia, saya menyukai negara Anda karena saya telah menonton film Joshua.
Bagaimana kerja sama Anda dengan Joshua Oppenheimer kemudian?
Joshua meminta saran. Saya menjadi lebih terlibat. Joshua menanyakan apakah saya keberatan jika nama saya ada di kredit filmnya dengan ucapan terima kasih khusus. Saya tidak ada masalah. Kemudian, di tahap terakhir penyelesaian film, saat saya memberi beberapa masukan, dia bertanya apakah saya mau menerima sebutan sebagai produser eksekutif. Saya bilang, jika itu bisa membantu filmnya, ya, saya bisa menerima itu.
Jadi Anda lebih banyak membantu konsultasi?
Saya mencoba tidak terlalu mempengaruhi Joshua agar dia berubah menjadi seorang Herzog. Saya selalu mengatakan, "Kamu harus mempunyai gaya sendiri, wawasan sendiri, perspektif sendiri, visi sendiri." Dan dia melakukannya.
Bagaimana Anda berkomunikasi dengan Joshua?
Kami banyak berbicara melalui Skype. Dia selalu mengirimkan bagian-bagian film yang sudah disunting dan menanyakan saran saya, juga mengirimkan versi awal dan beberapa versi lain. Saya menambahkan komentar dan saran. Produksi film Joshua dilakukan di Skandinavia.
Anda kenal Anonymous, sutradara pendamping Joshua?
Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tahu siapa dia. Dan Joshua tidak akan pernah mengungkapkan namanya kepada saya. Lebih baik seperti itu.
Demi keamanan orang tersebut?
Joshua tidak akan membuka namanya, meski katakanlah saya berkeras kepada Joshua, "Berikan namanya karena saya ingin mengontak orang tersebut."
Anda setuju dengan judul The Look of Silence?
Itu judul yang indah dan mengacu pada sesuatu yang terkait dengan senyap. Seluruh film penuh dengan kesunyian. Ini bukan hanya politik. Ini kesunyian. Kesunyian itu penuh harga diri dan penuh puisi. Itu yang memberi saya kesan yang baik tentang Indonesia.
Bagaimana Anda menyebut film Senyap dalam satu kata?
Sesuatu yang paling menakjubkan yang saya lihat dalam seperempat abad.
Apa yang Anda lihat pada diri Joshua?
Sebuah bakat hebat yang muncul, paling tidak dalam dekade terakhir. Saya memiliki mata untuk itu. Saya memulai Rogue Film School, sekolah film bergaya gerilya. Pembuat film muda datang dari seluruh dunia. Tapi mereka harus mengirimi saya film sebelum saya mengundang mereka. Saya memiliki mata yang bagus untuk melihat bakat mereka. Saya tidak ingin membuat mereka menjadi klon dari saya. Saya tidak ingin memberikan DNA saya kepada orang lain. Mereka harus mengembangkan visi mereka sendiri. Joshua adalah salah satunya.
Apakah Anda pikir Joshua itu orisinal?
Satu hal yang penting untuk saya tegaskan: film yang dibuat Joshua tidak membuat Indonesia terlihat buruk. Dia hanya telah memulai sebuah kesadaran dan sebuah wacana. Negara Anda sangat indah, penuh puisi dan harga diri. Akan bagus sekali jika dari usaha ini, suatu hari, akan ada proses kesadaran dan semacam rekonsiliasi. Itu yang harus Anda harapkan. Indonesia negara yang hebat, memiliki masa lalu kelam, tapi juga kejayaan.
Bagaimana Anda melihat pentingnya dokumenter di dunia perfilman?
Saya rasa dokumenter menjadi semakin penting karena, saat penonton melihat film cerita sekarang, mereka melihat begitu banyak efek digital dan visual. Bahkan anak umur 6 tahun pun, saat mereka menonton Transformers atau The Lord of the Rings, bisa mengatakan, "Ah, ini efek visual, itu efek visual." Film dokumenter sedikit-banyak menempatkan Anda pada posisi Anda bisa mempercayai mata Anda kembali. Banyak sekali versi dari realitas di televisi dan Internet. Dan, tiba-tiba, dokumenter menarik perhatian. Jika Anda melihat film saya, misalnya Grizzly Man atau Cave of Forgotten Dreams, jumlah penontonnya lebih banyak daripada penonton film cerita.
Apakah Anda melihat bangkitnya film dokumenter?
Saya menyaksikannya sendiri. Saya tinggal di Amerika bukan karena Hollywood, melainkan karena saya telah menikah. Tapi saya pikir apa yang tidak dilihat negara-negara di Asia, ada gerakan besar dalam film dokumenter di Amerika, Eropa, dan di berbagai belahan dunia. Kalau Anda melihat, misalnya, Festival Film Sundance, tahun lalu, ada 6.000 dokumenter berusaha masuk ke festival. Enam ribu!
Jerman juga mempunyai masa lalu yang kelam. Bisakah Jagal dan Senyap dibandingkan dengan film-film Jerman, yang banyak mengkritik masa lalunya?
Indonesia dan Jerman tidak bisa dibandingkan. Saya mengatakan ini sebagai orang Jerman. Saya besar di era pascaperang di Jerman. Negeri saya memulai dua bencana besar, Perang Dunia I dan II, dan itu berakhir dengan kerusakan besar. Semua kota besar di Jerman benar-benar hancur. Saya besar di reruntuhan. Tidak ada sebuah batu di atas batu lainnya. Karena besarnya kejadian tersebut, Jerman mulai melakukan refleksi atas masa lalunya lebih cepat. Sekali lagi, situasi di Jerman tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Satu-satunya hal yang sama adalah sebuah diskusi dimulai, kesadaran dimulai.
Ada pembunuh di dua film itu. Menurut Anda, apa yang terjadi pada mereka?
Saya bukan hakim dan bukan juri. Saya bukan orang Indonesia. Semua itu terserah kepada negara Anda. Saya hanya ingin mengatakan satu hal. Saya telah membuat film seri Death Row di Amerika, kebanyakan di Texas. Di situ ada sejumlah pria dan dua wanita yang menunggu dieksekusi. Saya menjadi dekat dengan mereka. Dari observasi saya, yang luar biasa mengejutkan adalah bahwa mereka bukan monster, mereka manusia. Dan, saat saya melihat orang seperti Anwar Congo di Jagal, ia bukanlah monster. Pembunuhan dan kejahatannya memang mengerikan, tapi pelakunya masih manusia.
Tapi orang di Death Row tahu bahwa mereka akan diadili atas perbuatan mereka, sementara Anwar tidak.
Ya, situasinya berbeda dan kita tidak bisa membandingkannya. Tapi perspektif yang mengejutkan juga jelas di Jagal. Kejahatannya memang mengerikan, tapi pelakunya bukan monster. Mereka manusia.
Adi Rukun, yang muncul di Senyap, mungkin akan menghadapi bahaya. Apakah Anda sadar akan konsekuensi ini?
Ketika memulai berbicara tentang hal itu, suatu risiko harus ditempuh tersendiri. Tapi itu hal yang harus diterima.
Beberapa orang menilai film seperti ini membuka luka lama....
Saya rasa sejarah akan mengejar Anda. Apakah itu film dari Joshua atau majalah Anda menulis tentang itu, itu adalah sejarah dan akan tetap ada. Jika Anda berusaha menutupinya, lalu Anda mengangkat penutupnya, api mungkin akan menyala lebih hebat. Saya pikir ini pertanyaan filosofis: bagaimana menghadapi ingatan Anda, bagaimana menangani masa lalu Anda. Sedikit-banyak, beberapa negara yang memiliki masa lalu yang bermasalah telah memulai proses rekonsiliasi. Saya rasa luka lama bisa ditutup kembali. Afrika Selatan, misalnya, telah menjalani proses rekonsiliasi. Memang lukanya akan jadi terlihat, tapi luka itu diatasi dengan cara yang bertanggung jawab.
Rekonsiliasi yang Anda maksud itu antara korban dan pelaku?
Iya. Carilah cara untuk rekonsiliasi, dan saya rasa Indonesia adalah negara yang hebat. Indonesia tentu punya budaya yang hebat untuk berekonsiliasi.
Apa kerja sama selanjutnya antara Anda dan Joshua? Apakah akan ada trilogi?
Saya coba menyarankan, tapi trilogi… saya rasa itu terserah Joshua. Saya melihat potongan film lain milik Joshua yang benar-benar tanpa unsur politik. Materi tentang puisi, keindahan, dan misteri yang belum pernah ada sebelumnya. Saya katakan, "Kamu harus membuat film lagi dari potongan ini." Di dalam Senyap, Anda melihat, misalnya, ada potongan langit malam dan kelelawar beterbangan dan tiba-tiba ada perasaan: ini adalah negara yang memiliki kemungkinan besar untuk menunjukkan puisi yang hebat.
Apakah Anda akan mengunjungi Indonesia?
Ada kemungkinan iya karena saya ingin memfilmkan gunung berapi. Entah itu akan terjadi entah tidak. Ini adalah negara tempat adanya ancaman dari gunung berapi setiap saat. Sisi kemanusiaannya menarik minat saya, bagaimana Anda bisa hidup di antara bahaya. Bukan hanya gunung berapi, ada sesuatu mengenai manusia dan penderitaan, ketakutan, harapan, serta mimpi di negara Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo