Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 Mei 1964, sebuah keputusan kontroversial bagi dunia kebudayaan Indonesia. Presiden Sukarno pada saat itu dengan tegas melarang Manifesto Kebudayaan atau manifes kebudayaan, sebuah pernyataan sikap yang diumumkan oleh sekelompok seniman dan intelektual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan tersebut memicu perdebatan luas tentang kebebasan berekspresi dan peran seniman dalam masyarakat. Dalam konteks politik saat itu, larangan Soekarno terhadap Manifesto Kebudayaan dianggap sebagai langkah untuk mempertahankan stabilitas politik yang tengah diuji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan ini menimbulkan pro dan kontra, mengundang pertanyaan tentang batasan kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia.
Apa Itu Manifesto Kebudayaan?
Manifesto Kebudayaan atau disingkat Manikebu merupakan pernyataan sikap yang dipimpin oleh Goenawan Mohamad, seorang budayawan, jurnalis, sastrawan, dan merupakan salah satu pendiri Majalah Tempo. Bersama sejumlah seniman dan intelektual lainnya, ia mengumumkan manifesto ini pada 1964 dengan tujuan memajukan kehidupan budaya Indonesia.
Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, meskipun tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu, Manikebu dianggap netral dan mewakili pandangan filosofis tentang nilai kemanusiaan dalam kehidupan dunia.
Kelompok Manikebu mengadopsi senjata Pancasila sebagai landasan kebudayaan dan mengembangkannya sebagai filsafat kebudayaan. Mereka memperjuangkan paham humanisme universal yang meyakini bahwa kebudayaan dan kesenian tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal yang abadi.
Ideologi ini berkembang seiring dengan perang dingin di bidang kebudayaan, di mana para seniman kiri yang tergabung dalam Lekra dan para pendukung ideologi universal saling bersaing mempromosikan pandangan mereka.
Dilarang Sukarno pada Mei 1964
Walaupun memiliki tujuan yang mulia, Manikebu dilarang oleh Presiden Soekarno pada Mei 1964. Larangan ini disebabkan oleh pandangan bahwa Manikebu dinilai ingin menyaingi Manifesto Politik 1964 dan dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan politik saat itu.
Dampak larangan tersebut membuat Goenawan Mohamad dan rekan-rekannya yang terlibat dalam Manikebu mengalami larangan menulis di media umum.
Setelah pembubaran PKI dan organisasi afiliasinya, ideologi humanisme universal menjadi pandangan dominan dalam membangun kebudayaan kontemporer Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Dikutip dari esi.kemdikbud.go.id, ideologi ini berfungsi sebagai alat afirmasi terhadap pembentukan wacana anti-komunis dengan mempromosikan semangat liberalisme Barat.
Di masa Orde Baru, narasi-narasi yang dikembangkan untuk menormalisasi dan melegitimasi kekerasan pada 1965-1966, serta karya sastra dan film yang mendukung ideologi anti-komunis, menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat narasi tersebut.
Manifesto Kebudayaan menggambarkan sebuah perjuangan intelektual dan seni yang berjuang untuk menciptakan budaya yang maju dan berpuncak pada nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun dilarang dan mengalami tantangan, warisan Manikebu tetap menjadi bagian penting dalam sejarah budaya Indonesia.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA
Pilihan Editor: 82 Tahun Goenawan Mohaman, Ini Sekilas Perjalanan Hidupnya