Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sulitnya Mencari Aktor

Kelemahan kelompok teater realis masa kini adalah tidak dipunyainya pemain andal. Tapi STB punya Sugiyati dan Mohamad Sunjaya. Bagaimana kalau diadakan festival teater realisme?

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Donna Laura Liorento lalu menggerutu kepada penonton, "Diakah orangnya?" yang disambut Don Gonzalo dengan desahan yang sama, "Diakah orangnya?"

Itulah adegan akhir lakon komedi yang disutradarai Ari Nurtanio yang berjudul Pagi yang Cerah, sebuah kisah yang mengambil lokasi di taman penuh burung merpati di sebuah kota di Spanyol. Lakon pendek yang memikat ini ditulis kakak beradik Serafin Alfarez Quintero dan Joaquin Alfarez Quintero, yang hidup sekitar 1871-1944. Pertemuan Laura dengan Gonzalo adalah sebuah kebetulan. Mereka duduk di sebuah bangku taman, Gonzalo yang tua bercerita tentang kisah cinta sahabatnya. Laura yang tua menimpali cerita itu dan mengoreksinya berdasarkan kisah temannya pula. Ketika keduanya sebentar-sebentar berbisik ke arah penonton, nah, ketahuan, kisah cinta itu sebenarnya adalah sebuah love story yang nyata dari keduanya.

Akting kedua pemain itu sederhana sekali, justru itulah yang memikat. Gestur Sunjaya (Gonzalo) dapat mengungkapkan gejolak hatinya sehingga penonton tersenyum dan tertawa. Sementara itu, Sugiyati (Laura) dapat membawakan peran Donna itu dengan cukup anggun sehingga layaklah kalau Gonzalo jatuh cinta kepadanya. Sugiyati dan Sunjaya ini modal Studiklub Teater Bandung (STB) dan merupakan pasangan yang pas yang bisa dikelilingkan ke mana-mana. Dipentaskan di panggung Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, tanggal 11 dan 12 Desember 1998, dua lakon lainnya menyertainya, Norma (karya Alun Owen) dan Nyanyian Angsa (karya Anton Chekhov), yang disatukan dalam drama keliling Konser Waktu, dari Bandung, ke Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Denpasar, dan Mataram.

Norma, disutradarai Wawan Sofwan, menampilkan Alit, berpasangan dengan Arya Sanjaya, yang bercerita tentang percintaan dan perpisahan di sebuah gazebo. Alit, dengan mata yang berbinar-binar dan bicaranya yang cadel, menyajikan sebuah "gestur alam" yang menjadi kekuatannya (Bukankah yang merak ati dari Niniek L. Karim karena cadelnya?). Sedangkan Nyanyian Angsa, yang disutradarai Yusef Muldiyana, menampilkan Suyatna Anirun (pendiri STB bersama Jim Adilimas) sebagai Vassili Vassilitch, yang tua renta, bekas aktor, dan penjaga gedung pertunjukan. Vassili mencoba menelusuri kembali masa jayanya ketika memainkan beberapa lakon berat, kali ini hanya di ruang rias yang sempit, bersama Igor (Agus Safari). Anirun, yang pada 1965 pernah mementaskan Djoko Tumbal, telah berusaha mengindonesiakan lakon Hamlet Shakespeare. Yang terjadi kemudian adalah sebuah jarak yang keras dalam memainkan peran asing; juga perasaan gagah tapi menantang. Agaknya, Anirun lebih suka mementaskan naskah aslinya, semisal Raja Lear maupun Vassili itu, dan bukannya Baginda Lekar maupun Warsito (setelah diindonesiakan), misalnya.

Sebagai pengemban teater realis—sebagaimana Teater Populer Teguh Karya—STB, yang berulang tahun ke-40 (1958-1998), sudah menjelajahi berbagai lakon realis. Mereka sudah mementaskan karya Utuy Tatang Sontani, Misbach Jusa Biran, Kirdjomuljo, Saini K.M., Ajip Rosidi, Kadarusman Achlil, Multatuli, Bakdi Sumanto, hingga Shakespeare, Moliere, Goethe, Ionesco, Chekhov, Tennessee Williams, Brecht, Sophocles, Schiller, dan Heinrich von Kleist. Alangkah sulitnya mencari aktor dan aktris itu, kecuali boleh jadi Teater Populer yang memiliki Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan Alex Komang. Sebenarnya, aktor dan aktris itu—sebagaimana pemimpin bangsa—dilahirkan, bukan diciptakan. Teater (atau kesenian), yang memang rumit, memiliki dimensi spiritual yang luas dan dalam, yang bisa membimbing masyarakat menuju kehidupannya yang lebih baik.

Grup-grup teater realis dengan gigih dan terseok-seok selalu memiliki keinginan melahirkan aktor-aktris, yang memperkuat ideologi "teater pemain", bukannya "teater sutradara" (yang dalam dua dasawarsa ini bersimaharajalela). Mungkinkah keinginan ini sedikit banyak terjawab, seandainya Komunitas Utan Kayu menyelenggarakan festival teater realis?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus