Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus Trisakti, kerusuhan Mei, Banyuwangi, Semanggi, Ketapang..., benarkah itu semua simbol dari kegagalan ABRI? Dalam sejarah Indonesia, tampaknya tak pernah ABRI mendapat sorotan sedemikan tajamnya seperti saat setelah reformasi bulan Mei, meski sebelumnya langkah ABRI di Aceh, Timtim, atau Irianjaya sempat juga dikritik. Dan selain Soeharto dan kroninya, ABRI-lah yang kini cukup kenyang menerima kritik dan hujatan, baik yang menyangkut peran sosial politik ABRI maupun kedekatannya dengan penguasa terdahulu.
Menjawab keinginan publik tersebut, satu langkah penting yang dilakukan ABRI adalah mengganti kelembagaan Kepala Staf Sosial Politik menjadi Kepala Staf Teritorial. Memang, pemegang jabatan itu adalah orang yang tetap sama dengan pemegang jabatan sebelumnya, yaitu Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, menurut Yudhoyono, peran yang dimainkannya sangat berbeda. ''Kami meninggalkan politik praktis, seperti turut campur dalam penentuan kepengurusan partai politik," ujar Yudhoyono. Karena konsep itu masih baru, muncul hal kecil yang cukup menggelitik, misalnya ketika Hamzah Haz terpilih sebagai ketua PPP, Yudhoyono mengaku tidak berani mengucapkan selamat karena khawatir diterjemahkan sebagai dukungan.
Lahir di Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, karir militer dan latar belakang pendidikan perwira lulusan Akabri Darat 1973 ini terbilang lengkap. Ia pernah bertugas dalam pasukan tempur, di lingkungan staf, pendidikan, dan teritorial. Dalam bidang teritorial, Yudhoyono pernah bertugas di Kodam IX/Udayana, Kodam Jaya, Kodam IV/Diponegoro, dan Kodam II/Sriwijaya. Tak mengherankan bila tahun 1995 ia dipercaya sebagai chief military observer oleh PBB saat bertugas di Bosnia. Sejak turunnya Soeharto sebagai presiden, dan seiring dengan perubahan yang terjadi?termasuk permintaan masyarakat atas posisi ABRI?sosok Yudhoyono lebih dikenal sebagai penyampai pesan tentang peran baru yang ingin dimainkan ABRI. ''Saat ini saya harus meyakinkan banyak pihak, baik ke luar maupun ke dalam, bahwa ABRI tidak ragu-ragu menempuh agenda reformasi," ujar Yudhoyono.
Namun, sebagamana lazimnya anggota ABRI yang masih aktif dan loyal pada sumpahnya, Yudhoyono menepis isu tentang perpecahan di dalam ABRI. Dia juga menepis perkiraan bahwa dalam waktu dekat akan ada pergantian kepemimpinan di lingkungan ABRI. ''ABRI masih berkonsentrasi pada tugas yang banyak Anda kritik tadi."
Dalam tutur kata yang runtut dan komprehensif?sebuah keistimewaan yang memang dimilikinya?Yudhoyono menjelaskan pemikirannya kepada Yusi A. Pareanom, Darmawan Sepriyossa, dan Hani Pudjiarti dari TEMPO, pada pertengahan Desember dalam sebuah wawancara yang berlangsung di ruang kerjanya di Markas Besar ABRI di Cilangkap, Jakarta. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat ABRI yang saat ini menjadi sasaran kritik dan hujatan?
Penghujatan terhadap ABRI itu menurut saya tak lepas dari format politik Orde Baru dan peran ABRI pada waktu itu. Dengan paradigma dan cara pandang yang kita gunakan sekarang, tentu akan terlihat beberapa kelemahan. Saya bisa memahaminya. Pendekatan ABRI yang dulu dikesankan amat menekankan pada security approach, kedekatan ABRI dengan kekuatan politik tertentu, lantas sikap dan perilaku politik ABRI yang dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, menurut saya wajar saja bila diangkat kembali.
Apakah Anda menilai kritik itu masih proporsional?
Ada, beberapa. Misalnya kritik agar ABRI mengurangi intensitas peran sosial-politiknya, agar ABRI tak lagi bermain politik praktis, agar ABRI memiliki jarak yang adil dan pantas dengan kekuatan politik yang lain, agar kekaryaan ABRI dikurangi sebanyak mungkin, itu adalah kritik yang positif.
Kritik yang menurut Anda tidak proporsional?
(Kritik) yang berlebihan dan harus diluruskan misalnya adalah pernyataan hapus dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI ini di dalamnya termasuk peran ABRI dalam pertahanan dan keamanan negara. Kalau kami tidak melakukan itu, kan berarti tak ada angkatan bersenjata di Indonesia? Jadi, tolong dimaknakan kembali. Kalau orang berteriak, misalnya, hapus peran sospol ABRI, itu masih kena. Meskipun kita harus berdiskusi bahwa untuk peran itu perlu pengurangan secara bertahap dan itu sangat bisa dilakukan. Kritik lain yang tidak proporsional adalah agar ABRI kembali ke barak sekarang juga. Kalau hal itu dimaknakan agar ABRI lebih mengedepankan peran pertahanan dan keamanannya, bagus. Tapi, kalau yang dimaksud back to barrack itu ABRI betul-betul masuk tangsi, tak harus ikut campur persoalan kemasyarakatan, ya itu salah. Masa, ada bencana alam atau kelaparan, kita tidak boleh turun? Apakah ABRI masuk desa juga tidak boleh?
Jadi, menurut Anda, tuntutan hapus dwifungsi itu sama artinya dengan tuntutan meniadakan ABRI?
Ya, ha-ha-ha.... Menghapus dwifungsi ABRI itu ekuivalen dengan menghapus peran ABRI secara utuh, termasuk peran dalam mempertahankan dan mengamankan negara dan bangsa ini.
Tetapi perumusan peran ABRI itu tidak harus datang dari ABRI semata, bukan?
Ya, peran ABRI mesti berangkat dari kesepakatan bangsa. Tetapi sebuah kelompok atau kekuatan politik juga tak boleh terburu-buru menyatakan, ''Pokoknya ABRI harus begini." Nah, soal ini harus kita bicarakan baik-baik. Secara struktural ada DPR, ada MPR. Secara informal, nonstruktural, kita kan bisa mendengar saran, bagaimana bangsa ini menginginkan ABRI berperan di masa depan.
Bagaimana sosok masa depan yang diinginkan oleh ABRI sendiri?
Untuk di masa depan, ABRI ingin menjadi kekuatan pertahanan dan keamanan yang profesional, efektif, efisien, dan modern, yang mampu mengemban tugas menghadapi ancaman dari luar maupun dari dalam. Artinya, sebuah perubahan?bukan hanya reformasi ABRI, tetapi juga reformasi nasional?harus dilakukan secara bertahap. Perubahan mendadak, yang kita sebut dengan revolusi, pasti meninggalkan dampak samping yang kadang justru mengancam perubahan itu sendiri.
Apakah karena sedang dalam proses perubahan ini ABRI justru sering terlihat kikuk di lapangan?
Itu harus dilihat dalam konteks yang luas. Saya sering mendengar, kok ABRI ragu-ragu dalam menegakkan hukum, kan sudah ada Undang-Undang No. 9? Padahal tidakkah kita melihat bahwa euforia dalam suasana reformasi masih seperti ini? Kepatuhan rakyat pada undang-undang di negeri kita belum mengakar. Anda bisa bayangkan kalau ABRI benar-benar menegakkan hukum yang berlaku dengan pendekatan hitam-putih. Kalau ABRI melakukan itu, menggunakan ''kacamata kuda"?yang penting undang-undang harus dilaksanakan?dampak sosialnya bisa lebih luas. Dan saya tak yakin semua rakyat akan mendukung ABRI yang menegakkan undang-undang secara strict seperti itu. Masyarakat kan juga meminta, mbok ABRI pahamlah situasinya.
Tetapi dengan sikap itu, korban toh jatuh juga?
Saya senang sekali Anda menanyakan itu. Itulah tipologi bagaimana ABRI ingin menegakkan aturan, ingin mencegah suatu tindakan pemaksaan kehendak dengan kekerasan. Anda tahu, kalau kegiatan sudah begitu chaotic, kemudian satu pihak mencegah sedangkan di pihak lain mendorong, mau tak mau akan terjadi insiden, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena itu, di beberapa tempat, saat adik-adik mahasiswa ingin mendorong masuk Istana dan suasana sudah tidak bagus, aparat mundur beberapa jengkal untuk mencari posisi agar tidak terjadi tabrakan langsung. Apakah itu dikesankan ABRI ragu-ragu? Apakah dikesankan ABRI tidak profesional? Kalau di Semanggi saya kira sudah jelas. Ada kesalahan-kesalahan, dan ini akan segera diadakan penindakan-penindakan. Tapi Anda lihatlah secara utuh, mengapa terjadi insiden Semanggi? Bagaimana proses sebelumnya, itu semua mata rantai: mengapa unjuk rasa yang seharusnya dilakukan dengan damai terjadi pelemparan bom molotov dan tindakan yang menurut saya tidak menggambarkan peaceful demonstration.
Apakah penanganan di lapangan itu bukannya cerminan cara berpikir ABRI yang masih membuat pemetaan ekstrem kiri dan ekstrem kanan?
Tidak ada penyederhanaan seperti itu. Itu kan kesan orang luar yang selalu menuduh ABRI. ABRI melihatnya ekstrem kanan, ekstrem kiri. Analisis yang dikembangkan ABRI itu jauh lebih lengkap. Anatomi ancaman dan bagaimana perkiraan strategis itu sangat kompleks dan senantiasa kita mutakhirkan. Jangan pula disederhanakan. ABRI kan tidak pernah mengatakan: ini ekstrem kanan, ini ekstrem kiri. Paling tidak untuk sekarang dan ke depan. Kami melihat kompleksitas masalah.
Namun ada yang melihat polarisasi di tubuh ABRI dengan ''kutub Kristen" di bawah L.B. Moerdani dan ''kutub Islam" di bawah Prabowo atau Hartono yang menyebabkan kesan cara berpikir ABRI seperti itu.
Tidak benar. Justru saya sering membaca masyarakat luas yang membikin pengkotakan, anatomi, ataupun posisi seperti itu. Kami justru mendapat penilaian, bahkan penghakiman oleh pihak-pihak tertentu (bahwa) ABRI pecah, terkotak-kotak, dan berkelompok.
Bagaimana Anda melihat ABRI berbisnis?
Yang ideal kalau tentara mendapatkan anggaran yang cukup. Secara universal, kalau saya banding-bandingkan, anggaran pertahanan dan keamanan sebuah negara itu besarnya 3 hingga 5 persen dari GNP. Kadang lebih dari 5 persen, bahkan sampai 10 persen, mungkin karena adanya ancaman. Nah, negara kita ini punya anggaran pertahanan 1,8 persen dari GNP. Secara standar universal pun rendah sekali. Tetapi kami tidak menuntut terlalu banyak karena memang kesulitan pemerintah untuk mendistribusikan dan mengalokasikan anggaran. Apa akibatnya? ABRI membentuk yayasan koperasi dan badan usaha yang sebenarnya tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan menangani beberapa kebutuhan ABRI yang tak mungkin didukung oleh anggaran pertahanan. Saya pribadi berpendapat, di masa depan, sebaiknya kita mengharapkan anggaran ini meningkat, sehingga ABRI tak lagi harus merepotkan diri dengan masuk pada bidang-bidang itu. Kami lebih senang mengkhususkan diri pada tugas-tugas pokok, keamanan, operasi, teritorial layaknya tentara.
Bagaimana dengan personel ABRI yang sudah telanjur keenakan berbisnis?
Saya tak ingin memberikan komentar terlalu panjang, tetapi kita ingin benar-benar konsentrasi pada tugas pokok, dan kita ingin menertibkan hal-hal yang tidak tertib.
Bagaimana dengan komentar Hasnan Habib bahwa ABRI saat ini seperti traders in uniform?
Dalam hal ini saya setuju dengan Pak Sayidiman, yang menganggap Pak Hasnan itu berlebihan. Itu bisa dikesankan tentara ini barisan businessmen.... Dan sebetulnya, apa yang kami lakukan ini juga kelanjutan warisan para ''beliau" ini. Bahkan banyak sekali blueprint yang juga ditentukan oleh mereka. Kami tidak menyalahkan beliau (Hasnan Habib) karena barangkali kondisinya seperti itu. Tetapi pada keadaan yang berubah ini menjadi tidak kena kalau yang dituding justru generasi penerus yang ingin melaksanakan pembenahan.
Berkaitan dengan bisnis ABRI, muncul anggapan ABRI tidak tegas dalam persoalan pengusutan Soeharto karena melindungi kepentingan bisnisnya?
Tidak, saya harus berkali-kali menolak vonis ABRI ragu-ragu, termasuk soal Pak Harto itu. Namun Ketetapan MPR telah keluar, cukup jelas. Secara fungsional dan struktural sudah ada lembaga yang melakukan tugas ini, yaitu Kejaksaan Agung. Pemerintah, dalam hal ini presiden, juga sudah mengeluarkan instruksi. ABRI akan menghormati proses hukum itu. Jadi sangat jelas bahwa ABRI tak pernah menjadi bagian, apalagi bagian yang merintangi dalam proses ini semua. Ini kita hormati, kita kawal. Kalau ada ABRI mengawal Cendana yang sering diributkan orang, itu kan komitmen ABRI untuk mengamankan pemimpin, mantan pemimpin, instalasi, dan siapa saja yang mendapatkan ancaman. Saya kira cukup jelas, citra bangsa ini akan terpuruk kalau kita tak mampu mengamankan siapa saja yang harus kita amankan. Sikap ini tak ada hubungan sama sekali dengan masalah bisnis yang Anda katakan.
Bagaimana dengan kelanjutan kasus penculikan yang melibatkan nama Letjen (Purn.) Prabowo? Apakah nanti ia akan dibawa ke mahkamah militer atau cukup dengan Dewan Kehormatan Perwira?
Organisasi memiliki aparatus, sistem, dan tata cara bagaimana mengatasi persoalan internal. Di lingkungan ABRI, dan juga banyak terdapat di negara lain, itu ada ethic commission (komisi etika) yang pernah kita sebut dengan Dewan Kehormatan Militer (DKM) dan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Mereka bertugas menyelesaikan, menangani jika terjadi pelanggaran etika, menyangkut tabiat, perilaku yang tidak terpuji, yang tidak mencerminkan sikap dan perilaku seorang prajurit. Itu adalah hak organisasi. Nah, konteks pemeriksaan DKP terhadap Pak Prabowo memang demikian. Tapi, sebagaimana yang dinyatakan Pangab Jenderal Wiranto berulang kali, yang dilakukan DKP tidak menutup kemungkinan untuk yang bersangkutan bisa di bawa ke Mahmil, jika terbukti melakukan kejahatan atau pelanggaran yang bisa dibawa ke pengadilan. Saya tak berkompeten, dan keliru besar kalau mengatakan pasti Pak Prabowo nanti ke pengadilan atau sebaliknya.
Mengapa ABRI merasa perlu ada Rakyat Terlatih (Ratih)?
Kondisi sosial kita masih rentan kerusuhan dan jumlah polisi kita tak cukup untuk mengamankan. Jumlah nonpolisi, ABRI lain, tak cukup. Rasionya tak kena. Di negara lain, rasio polisi itu 1: 300. Di negara kita rasio polisi mungkin 1:1.000, polisi kita kurang dari 70.000 orang. Untuk mendidik polisi dalam waktu dekat, masih merupakan persoalan karena faktor pendidikannya, latihannya, serta anggarannya. Karena itu ada keinginan membentuk Rakyat Terlatih, yang nanti menjadi komponen untuk membantu kepolisian. Kalau sudah di bawah polisi, berarti di bawah pemerintah, bukan angkatan kelima, bukan rakyat tertentu yang dikendalikan oleh kelompok tertentu.
Dipersenjatai?
Tidak, nanti Kapolri yang mengatur.
Kalau Anda sudah jadi orang sipil, Anda akan tetap di jalur politik? Ikut parpol?
Saya kurang tertarik. Saya memilih berkontribusi tanpa harus masuk parpol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo