Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tafsir Hujan Ugo

Bertema Silent Text, Ugo Untoro menggelar pameran di Edwin's Gallery, Jakarta. Lukisannya disebut-sebut banyak dipengaruhi sajak-sajak hujan Sapardi Djoko Damono.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerimis. Renyai. Rintik. Rinai. Jarum-jarum air. Semua ini adalah perbendaharaan bahasa Indonesia untuk menangkap fenomena hujan. Namun makna hujan selalu tak seutuhnya dapat diringkus dalam bahasa. Setidaknya di mata penyair liris Sapardi Djoko Damono. Berulang-ulang?selama lebih dari 30 tahun?ia menulis puisi tentang hujan. Hujan seperti menyimpan isyarat-isyarat rahasia yang tak pernah terungkap.

Puisi hujannya yang awal dipersembahkan kepada Arifin C. Noer. Di Madiun, 1967, ia menulis: Gerimis jatuh kau dengar suara pintu/bayang-bayang angin berdiri di depanmu/tak usah kau ucapkan apa-apa; seribu kata/menjelma malam, tak ada yang di sana/tak usah; kata membeku, detik?.

Dan sore itu di Galeri Edwin, Kemang, Jakarta, penyair kelahiran Solo ini membaca kembali puisi yang dibuatnya tatkala muda itu. "Menyaksikan lukisan-lukisan Ugo, suasana sunyi yang saya alami saat menulis Gerimis Jatuh terasa muncul," katanya. Mungkin berlebihan. Tapi sore itu sang penyair memang tercenung di depan seri 2004 lukisan Ugo tentang hujan: Hujan Setengah Badan, Hujan Tunggal, Rain, Hujan Sebentar. Kanvas begitu minimalis. Hujan yang ditampilkan hanya seleret garis putih atau baris titik-titik yang melengkung berarak. Ugo bukan menggambar hujan, melainkan irama batin hujan.

Jarang ada pelukis Indonesia yang terpesona pada hujan. Bayangkan suasana ini. Hujan deras baru saja reda, dari luar bau tanah menyergap ruangan, dan Ugo tercekat pada pertanyaan: siapa dirinya? Bahasa visual Ugo sangat personal. Selama menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia ia gelisah. Begitu banyak isme dalam seni rupa. Begitu banyak pengekornya. Ia tidak mau mengulang para seniornya memburu garis atau bentuk. Ia memiliki kebiasaan coret-coret di sembarang kertas, gerenjeng rokok, bungkus korek, halaman novel, buku tulis, bungkus kacang. Di situ ia menumpahkan segala?kilatan pikiran, imajinasinya yang liar.

Sebaliknya, ketika menyapukan cat minyak atau akrilik di atas kanvas, ia lebih suka bila suasana kosong yang tampil. Hemat akan figur. Mampu menahan diri untuk tak menambah pernik-pernik. Bobot "daya ganggunya" terletak pada lukisannya yang ingin menyajikan sebuah ruang yang mengambang dalam pikiran. Itu ditambah pada dasarnya ia seorang perenung tentang perspektif. Bidang-bidang lukisannya sering ditata pada keseimbangan yang aneh. Ia suka misalnya menempatkan figur di sudut?selebihnya kanvas kosong. Itu yang membuat kanvasnya terasa sepi.

Misalnya, baru-baru ini Ugo membeli dua ekor kuda. Yang seekor lokal yang dibelinya di Kota Gede. Seekor lain kuda turunan di Saman, selatan Yogya. Mengingatkan bahwa kakeknya di Purbalingga dulu punya banyak kuda andong. Ia memberi kudanya itu nama: Basuki Abdulah dan Mayang Sari. "Basuki saya beli 12 juta, Mayang 4 juta," kata Ugo. Keduanya dititipkan di rumah tetangganya di Desa Kersan, Yogya. Ia rutin latihan menunggang, sampai jatuh-bangun, terkilir. Namun yang muncul di kanvasnya seperti I am Falling Horse bukan kebinalan, kejantanan, keberingasan kuda, melainkan hanya dua tapak kaki kuda di sudut kanan?yang cenderung sunyi.

Yang agak berbeda dari puluhan lukisan di Galeri Edwin itu sebuah lukisan berjudul The Door?pintu dan jendela adalah imaji yang sudah lama "menghantui" Ugo. Lukisannya itu menampilkan sebuah lengkung pintu yang di dalamnya tampak beberapa manusia telanjang, seolah mengalami penyiksaan. Citra lukisan ini ramai berlawanan dengan lukisan-lukisan lain. Namun lamat-lamat?bila kita amati terus?menyuarakan atmosfer seperti penutup sajak Sapardi di atas: ?meruncing di ujung Sepi itu/menggelincir jatuh/waktu kau tutup pintu. Belum teduh dukamu?. Yang begini belum banyak digarapnya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus